"Aku benar-benar takut. Tanganku bergetar hebat dan kepalaku kosong, tapi aku tetap disana. Aku menunggumu di depan pintu rumah sakit. Aku menemanimu sampai kau pulang ke rumah orang tuamu. Aku disana saat kedua orangtuamu menangis dan kau menenangkan mereka. Bahkan aku ada disini waktu itu, saat kau pulang ke apartemen. Aku tidak pulang kerumah selama tiga hari. Aku khawatir karena kau belum bicara satu patah katapun,"
James menelan ludahnya seraya menatap Robin yang tetap bicara. Tenggorokannya begitu kering, seluruh tubuhnya seperti menegang dengan sendirinya. Insiden delapan bulan lalu selalu membuatnya begitu. Tapi hal ini lebih parah karena Robin menangis di depannya.
"Sampai akhirnya kau bicara... Kau mengatakan hal yang berulang kali otakku coba untuk sangkal. Bahwa aku tidak membunuhnya. Bahwa bukan aku yang membunuhnya. Tapi hari itu kau bilang begitu. Kau bilang aku yang membuat dia mati. Saat itulah aku tau memang aku yang menyebabkan dia mati."
Robin menangis sesenggukan, menguburkan kepalanya diantara kedua pahanya. Pundaknya berguncang hebat dan James ingin sekali meraihnya. Tapi dia tidak bisa. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Dia ingin menghentikan tangisan Robin, tapi dia tau jika dia meraih Robin, Robin akan berhenti bicara dan dia tidak mau itu. Dia masih butuh untuk tau dimana letak kesalahan dari semua ini.
"Aku tidak bilang begitu." James berbisik. Bahkan dia tidak bisa mengenali suaranya sendiri. Dia kembali menelan ludahnya dan mengulangi kalimat yang sama.
"Tapi begitu kan maksudmu? Aku tau kau sedih waktu itu, James, dan karena itulah aku selalu menemanimu. Aku benci melihatmu berusaha tegar di depan orang-orang padahal aku tau kau hancur. Kau tidak tau bagaimana rasanya melihat orang yang kau sayangi kehilangan orang yang dia sayangi. Aku ingin memelukmu. Aku ingin kau bicara padaku. Aku menunggumu berhari-hari untuk bicara. Dan kau malah mengatakan kalimat sialan itu."
James ingat. James ingat kalimat itu. Dia menyesal seumur hidup karena pernah mengatakan hal itu.
Kalau saja kau tidak mencetuskan ide sialan itu, mungkin dia masih hidup.
Kalimat sialan itu yang dia katakan.
James menekan rahangnya kuat. Dadanya sakit akibat kalimat yang dilontarkannya sendiri. Astaga. Bodohnya dia. Dia tidak pernah mengira bahwa kalimat itu begitu menusuk sampai dia melihat reaksi Robin terhadap kalimat itu.
"Aku tau kau sedih, tapi yang aku harapkan bukan kalimat itu. Mungkin ini terdengar egois, tapi kupikir kau akan menangis di depanku dan memelukku dan mungkin... mungkin membuatku berpikir bahwa aku tidak melakukannya. Aku tau kau sedih tapi aku butuh di yakinkan bahwa aku tidak melakukannya. Tapi kau malah—malah..." Tangisan Robin begitu memilukan sampai James harus memejamkan matanya dan mengetatkan rahangnya lebih dalam. Dia benci dengan dirinya sendiri.
Kalimat itu... bukan begitu yang dia maksud. Bukan begitu. Jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya James menyalahkan dirinya sendiri. Dia menyesal tidak berada di New York hari itu. Dia menyesal tidak melarang Hannah untuk pergi keluar rumah hari itu. Dia menyesal tidak meminta maaf setelah bertengkar dengan Hannah hari itu.
Sebenarnya James menyalahkan dirinya sendiri.
"Buku sialan itu tidak pernah selesai ku edit karena aku tidak pernah kembali ke kantor. Aku mengurung diri di kamar dan membuat diriku sendiri kelaparan. Ayahku sampai harus mendobrak pintu kamarku dan mendapatiku tidak sadarkan diri karena dehidrasi berat. Ayahku membopongku kerumah sakit. Aku tidak pernah merasa begitu merepotkan. Aku membuat seseorang terbunuh, jadi kupikir... mungkin aku pantas untuk mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Upside Down
RomanceMelupakan. Bukan hal yang mudah bagi siapapun. Tak terkecuali bagi Robin Calbert dan James Finnigan. Bagi Robin Calbert, untuk melupakan seseorang butuh waktu dua kali lipat dari waktu kau mengenalnya. Untuk melupakan kejadian butuh menjauh dari ora...