10 menit sepeninggalan cowok itu, Aurel kembali dengan nampan di tangannya yang berisikan 2 mangkok bakso dan 2 gelas lemon tea. Aurel meletakan nampan itu dengan hati-hati. Setelah nampan sudah berpindah dari tangan Aurel ke atas meja, barulah Aurel duduk dan mulai menyantap menu makanannya pagi ini. Bagitupun juga dengan Prilly.
Saat sedang asyik mengunyah bakso menjadi potongan kecil-kecil hingga mudah ditelan, Aurel baru menyadari ketidak samaan meja yang ia duduki sebelum ia memesan tadi. Dan ia baru sadar, jika lelaki yang tadi duduk di sampingnya, kini telah menghilang. Entah kemana.
"Eh, Pril!" seru Aurel. Prilly hanya bergumam saja menjawab panggilan Aurel. Mulutnya masih sibuk mengunyah bakso.
"Si cowok tadi kemana, dah?" tanya Aurel kepo. Mendengar pertanyaan Aurel, Prilly hanya mengangkat bahunya acuh menandakan jika ia tidak tahu kemana perginya cowok tadi. Karena memang benar, Prilly memang tidak tahu pria itu ada dimana sekarang. Dan Prilly sama sekali tidak perduli. Catat itu.
Melihat jawaban Prilly yang nampak acuh, Aurel hanya manggut-manggut saja. Enggan berbicara lebih banyak lagi.
Setelah perut mereka yang semula keroncongan sudah terisi penuh, baik Aurel maupun Prilly mulai beranjak dari duduknya untuk segera meninggalkan kantin karena bel tanda masuk jam pelajaran ke lima akan berbunyi sebentar lagi. Kantin yang tadinya terlihat sesak pun mulai terasa renggang.
Dengan santai, Prilly dan Aurel melangkah, sampai tiba di depan kamar mandi perempuan, Aurel tiba-tiba menghentikan langkahnya. Yang secara otomatis membuat Prilly juga ikut menghentikan langkahnya.
Prilly menatap Aurel dengan pandangan bertanya. Namun, dari air muka Aurel, Prilly paham apa yang Aurel inginkan.
"Duh, Pril, lo duluan aja deh. Ada panggilan alam nih," kata Aurel yang pada detik selanjutnya menghilang di balik pintu kamar mandi.
Prilly hanya mengangkat kedua bahunya acuh kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas XII-MIA1, kelasnya. Namun, belum sampai di kelas, langkahnya harus kembali terhenti karena Bu Wulan, guru IIS, lebih tepatnya guru yang mengajarkan tentang sejarah memanggil dirinya. Mau tidak mau, Prilly memutarkan tubuhnya 180 derajat untuk menghadap Bu Wulan.
"Kenapa, Bu?" tanya Prilly sopan.
"Pril, tolong kamu antarkan dia ke perpustakaan untuk meminjam buku yang dia perlukan. Maklum, dia anak baru. Jadi belum tau dimana itu letak perpustakaan. Tolongin Ibu, ya?" pinta Bu Wulan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap Prilly laksanakan.
Prilly menatap sekilas lelaki yang berdiri angkuh di samping Bu Wulan. Menurut Prilly, wajahnya yang tampan tidak membuatnya menjadi enak di pandang. Jelas saja. Bagaimana mau enak di pandang jika dasi serta sabuk saja tidak di pakai? Baju putih yang sudah keluar hampir seluruhnya dari dalam celana abu-abunya. Kantong yang seharusnya ada lambang OSIS berwarnakan cokelat benar-benar tak terlihat pada baju yang di kenakan lelaki itu. Kerahnya yang sengaja dibuka, serta 2 kancing atas yang sengaja di lepas hingga memperlihatkan dalaman kaos hitam yang digunakan olehnya di balik seragam putihnya. Dan lihat saja, celana abu-abu yang seharusnya sedikit longgar dibagian bawahnya kini terlihat mengetat alias ngepas. Istilah gaulnya, celana itu berbentuk pensil. Benar-benar urakan, begitulah pikiran Prilly saat melihat penampilan cowok dihadapannya. Cowok yang sama yang dilihatnya beberapa menit lalu di kantin. Ya, Prilly masih hapal sekali dengan muka cowok ini.
Bu Wulan yang tahu kemana mata Prilly memandang hanya menghembuskan napas kasar. Ia sudah tahu bagaimana tabiat anak murid di sampingnya ini, jadi sudah tidak terlalu heran, lah.
"Yasudah, Pril, tolong temani Ali, ya? Ali, kamu ikuti saja Prilly. Ibu tinggal dulu, Ibu masih harus mengajar. Asalamu'alaikum." pamit Bu Wulan yang kemudian menghilang di balik pilar penyangga gedung bertingkat 4 yang di lapisi cat hijau ini.
"Ya udah, cepet ikutin gue." seru Prilly ketus. Cowok itu hanya diam namun kakinya tetap berjalan mengekori kemana Prilly melangkah.
"Ini perpustakaannya. Lo bisa masuk sendiri, 'kan?" kata Prilly saat mereka sampai di depan pintu ruangan yang di atasnya tertera jelas tulisan 'perpustakaan'. Di akhir kalimatnya, terselip pertanyaan yang memang sengaja Prilly lontarkan untuk sedikit memberi sentilan pada cowok itu. Dari awal melihat cowok itu di kantin, Prilly memang sudah kurang suka. Walaupun Prilly tak bisa mengelak jika cowok itu memiliki wajah yang bisa di katakan sangat tampan.
Cowok itu mengangkat sebelah alisnya meremehkan. Seolah keberatan dengan kata-kata Prilly. Namun, kepalanya tetap mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Prilly.
Setelah mendapatkan sedikit respon dari pria yang ia ketahui bernama Ali, Prilly kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Ali yang pada detik selanjutnya menghilang dibalik pintu perpustakaan yang mulai tertutup rapat.
***
Ali sedikit mengeluh saat membawa tumpukan buku yang tebalnya minta ampun. Ah, kalau saja ia tidak mengingat predikat yang kini di sandangnya yaitu murid baru, maka Ali tidak akan mau membawa-bawa buku sebanyak dan seberat ini.
Dan hal yang membuat Ali makin geram adalah... saat Cherry dan kedua anteknya menghalangi jalannya. Ga tau kalo gue lagi kesusahan apa ya?! Batin Ali sebal.
Masih ingat kejadian tadi pagi saat di parkiran? Kejadian dimana Ali di hadang oleh 3 cewek bermake up tebal? Ya, itu adalah Cherry berserta kedua anak buahnya; Liona dan Fanny.
Dan lagi-lagi, mereka tak bosan-bosannya mengganggu Ali yang notabenenya adalah murid baru. Kalau saja Ali tidak mengingat bahwa Cherry adalah perempuan dan sekarang ia sedang berada di lingkungan sekolah, sudah dapat di pastikan kalau detik ini juga Cherry pasti sedang terbaring dalam kondisi kritis di rumah sakit.
"Mau lo apa?" kata Ali tak santai.
"Gampang. Cukup sebutkan nama kamu dan urusan kita hari ini, aku anggap selesai. Mudah, bukan?" ucap Cherry santai yang diangguki oleh Liona dan Fanny.
Ali menghembuskan napas kasar. Kalau saja ia tidak mengingat tangannya yang pegal karena terlalu lama menopang buku-buku, ia enggan memberi tahukan namanya kepada Cherry. Jangankan nama panjang, nama pendekpun saja enggan. Namun, ia sudah malas berdebat dengan wanita semacam Cherry. Jadi, Ali memutuskan untuk memberi tahukan nama singkatnya. Setelah mendapatkan apa yang ia ingin, Cherry dan kedua temannya pergi meninggalkan Ali yang kini menatap mereka dengan pandangan jijik. Iya, Ali jijik dengan mereka. Ali heran, masih ada aja ya wanita yang macamnya seperti mereka? Namun, enggan memikirkan hal itu, Ali kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas XII-IIS2, kelasnya.
Ali hanya dapat berharap, semoga hari-hari berikutnya tidak seperti hari ini. Hari pertama yang sungguh... sangat tidak mengesankan. Begitulah pikirnya.
***
a/n
Hai! Ketemu lagi di MBB part 5. Smoga suka y,jangan lupa vote commentnya. Makasih.
-Aya
Jakarta,
12 Oktober 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
My [Bad] Boyfriend
FanfictionBagaimana rasanya mempunyai pacar yang sangat acuh terhadap kita? Rasanya ingin segera mengakhiri saja bukan? Tapi, bagaimana jika kita benar-benar telah jatuh hati padanya? Lalu apa yang akan Prilly lakukan terhadap Ali yang seakan tak pernah menga...