"Sakit gak rasanya?" Cherry bertanya dengan sinis pada Prilly yang masih larut pada tangisannya.
Saat ini, Cherry dan Prilly tengah berada di taman dekat SMA Garuda. Prilly sedang menenangkan dirinya yang sangat kecewa pada Ali. Dan tanpa di sengaja, Cherry melihat Prilly di taman itu dengan keadaan sedih. Tentu saja ini peluang bagi Cherry untuk semakin membuat Prilly jatuh.
"Gimana rasanya ngelihat Ali sama cewek lain? Sakit? Uh, kasian. Tapi, gue rasa, rasa sakit lo belom seberapa di banding gue."
Cherry memang sudah di keluarkan dari SMA Garuda. Dan ia semakin menyalahkan Prilly atas di drop out dirinya dari sekolah. Tapi, bukan berarti dengan keluarnya Cherry, Cherry jadi tidak tahu kabar terupdate di sekolah lamanya itu. Dia masih punya 2 antek yang siap memberi kabar apapun tentang SMA Garuda.
"Mau apa lagi lo?" Prilly tersenyum kecut.
"Mau gue? Mau gue gampang, cuma satu. Yaitu; ngelihat lo hancur." Cherry tertawa kecil, memandang Prilly dengan tatapan penuh kebencian.
"Lo masih benci sama gue?"
Cherry merangkul bahu Prilly. "Lo masih tanya hal itu? Lo pikir apa yang gue rasain ke lo setelah lo ancurin semuanya?" Cherry tersenyum kecut mengingat kejadian itu.
"Maaf."
Cherry mengangkat sebelah alisnya seolah tak percaya. "Maaf? Maaf lo udah basi, Pril. Maaf lo udah gak berguna lagi. Maaf lo gak bakal buat Rendi hidup lagi! Maaf lo gak bakal buat keluarga gue utuh dan harmonis lagi! Dan yang pasti... maaf lo gak akan buat gue ngurangin sedikitpun rasa benci gue ke lo! Gue akan tetep bales dendam. Gue sakit hati, Pril. Lo buat semuanya berantakan."
Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Air mata Cherry berhasil jatuh. Cherry masih tak bisa melupakan kejadian itu. Kejadian di mana Kakak kesayangannya merenggang nyawa. Dan itu... hanya karena Prilly. Dan karena perginya Rendi, Kakak Cherry, Ibu Cherry jadi gila. Sedangkan Ayahnya, menjadi sosok yang kasar. Itu membuat Cherry benar-benar benci pada Prilly. Prilly gak lebih dari sampah yang mampu menghancurkan semuanya bagi Cherry. Karena Prilly, keluarga Cherry hancur.
"Lo ngebuat Rendi pergi, Pril!"
"Maaf."
"Cuma karena mau nyelamatin lo dari kecelakaan itu, Rendi jadi pergi buat selama-lamanya! Harusnya lo yang mati, Pril! Harusnya lo, bukan Rendi!" tangan Cherry terulur untuk mencekik leher Prilly. Rasa marah dan sakit hati menguasai pikirannya.
"Kalo itu ngebuat lo bisa maafin gue, lakukan, Cher! Lakukan!" mata Prilly memanas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian 3 tahun lalu. Kejadian dimana Rendi pergi untuk selama-lamanya hanya karena menyelamatkan dirinya yang ingin tertabrak Bus besar dari arah Bandung menuju Jakarta. Rendi tak bisa di selamatkan. Pada saat perjalanan menuju rumah sakit, Rendi menghembuskan napas terakhirnya. Dan itu... berhasil memukul lubuk hati Prilly. Selain Prilly masih sangat mencintai Rendi, ia merasa sangat bersalah. Karena dirinya Rendi tiada. Wajar saja jika Cherry membenci dirinya. Ya, itu sangat wajar. Siapa yang tidak benci pada seseorang yang telah melenyapkan Kakak kandungnya? Prilly bisa memaklumi itu. Tapi, tidak bisakah kesalahannya di maafkan? Bukankah ini semua bukan 100% salahnya?
"M-ma-maaf."
"Lo harus mati, Pril! Mamah gue juga jadi gila, Pril. Jadi gila. Itu karena Rendi pergi! Ayah gue jadi kasar, Pril. Lo bangsat, Pril! Lo bangsat!" Cherry semakin memperkuat cekik-annya pada leher Prilly. Sampai suara seseorang membuat Cherry menoleh.
"Cherry! Berhenti!"
"Gak usah jadi pahlawan kesiangan, deh, Rel!"
"Sadar, Cher, sadar. Prilly masih temen lo!" Aurel tersenyum kecut melihat sikap Cherry 3 tahun belakangan ini terhadap Prilly.
Dulu, waktu SMP, Prilly, Cherry, dan Aurel sahabat dekat. Sangat dekat. Kemana-mana selalu bertiga. Sampai ke kamar mandipun bertiga. Sampai akhirnya, Rendi, Kakak kelas mereka di SMP, naksir pada Prilly. Selidik punya selidik, Rendi itu Kakak kandung Cherry.
Sampai pada suatu hari, Prilly melangkah tanpa melihat kanan-kiri, tiba-tiba Bus besar melintas. Nyaris saja Prilly tertabrak kalau saja ia tidak di dorong ke pinggir oleh seseorang. Setelah tahu siapa orang itu, Prilly menangis sedih. Prilly cinta Rendi saat itu. Sangat cinta. Siapa yang gak sedih, sih, di tinggal oleh orang yang di cinta untuk selama-lamanya? Terlebih, itu karena kesalahan kita sendiri?
Bukan hanya sakit hati karena kehilangan pacar yang harus Prilly terima. Namun, sakit hati karena kehilangan sahabat pun harus Prilly dapatkan. Semenjak perginya Rendi, Cherry jadi benci dengannya. Walaupun sudah berulang kali Prilly dan Aurel menjelaskan pada Cherry kalau ini semua bukan sepenuhnya salah Prilly. Tetap saja, Cherry tak menghiraukan itu. Ia tetap menganggap Prilly penghancur keluarganya.
Dan dari situlah semuanya mulai berubah. Persahabatan mereka, sikap Cherry, dan suasana hatinya. Semua berubah. Untung saja, Aurel terus ada di sampingnya. Setidaknya, ia tak benar-benar merasa sendirian.
"Lo gak bisa nyalahin Prilly terus, Cher! Ini semua gak murni salah Prilly. Ini takdir, Cher. Lo harus bisa terima itu."
"Banyak bacot lo! Pokoknya lo harus mati, Pril! Lo udah ngerebut semuanya! Termasuk, Ali."
"Lo mau Ali? Silahkan, Cher, ambil. Gue juga gak cinta sama dia. Selagi lo bahagia, gue rela ngelakuin apapun." suara Prilly bergetar menahan tangis. Aurel sedikit kaget mendengar pengakuan Prilly. Benarkah Prilly tidak mencintai Ali? Lalu, mengapa Prilly menerima Ali?
"Ja-jadi selama ini lo gak pernah cinta sama gue?"
Deg!
Ketiga perempuan yang sedari tadi masih asyik berargumen, menoleh mendengar suara seseorang yang mereka kenali. Cengkraman tangan Cherry pada Prilly terlepas. Cherry kaget. Aurel juga. Apalagi... Prilly. Napas Prilly tercekat.
"A-ali?"
Ali melangkah mundur menjauhi Prilly yang ingin mendekatinya. "Gue suka cara main lo." setelah mengucapkan itu, Ali berlari pergi. Meninggalkan Prilly yang terus menyerukan namanya.
"Ali! Ali, tunggu! Ini semua gak seperti yang lo denger, Li! Ali, please!"
Tubuh Prilly terjatuh. Ia duduk dengan memeluk kedua kakinya yang di tekuk. Ia merutuki kebodohannya untuk kesekian kalinya. Ia... argh! Sudahlah.
"Pril?" Aurel melangkah mendekat kemudian memeluk tubuh mungil Prilly yang terlihat rapuh. Sedangkan Cherry, dia berlalu meninggalkan Aurel dan Prilly. Sekarang, dendamnya sudah tak sebesar dulu. Dia memang benci Prilly. Tapi, sakit hati Prilly karena hal barusan, sepertinya cukup untuk mengobati dendam di hati Cherry untuk Prilly.
"Rel, Ali, Rel!" Prilly memeluk Aurel erat.
Aurel mengusap lembut rambut panjang Prilly. "Gue tau. Yaudah, nanti kita selesaikan semuanya, ya? Sekarang, lo harus tenangin diri lo dulu. Buat masalah Cherry, gak usah di pikirin lagi. Kalo dia macem-macem sama lo, nanti gue yang urus. Udah, ya, jangan nangis lagi."
"Makasih, Rel!" Prilly semakin mempererat pelukannya pada Aurel. Aurel tersenyum sedih, ia benar-benar gak tega melihat Prilly seperti ini.
"Emang itu, 'kan, gunanya sahabat?"
***
a/n
Ternyata ide aku lg ada hehe. Dan kuota masih cukup buat nge publish! So gmn sama chapter ini? Masalah Cherry sama Prilly clear y hehe. Buat part berikutnya,tunggu aku ada kuota y hehe. Jangan lupa vote comment! Smoga suka,makasih.
-Aya
Jakarta,
24 Desember 2016.
KAMU SEDANG MEMBACA
My [Bad] Boyfriend
FanfictionBagaimana rasanya mempunyai pacar yang sangat acuh terhadap kita? Rasanya ingin segera mengakhiri saja bukan? Tapi, bagaimana jika kita benar-benar telah jatuh hati padanya? Lalu apa yang akan Prilly lakukan terhadap Ali yang seakan tak pernah menga...