Flashback

68 30 2
                                    

Flashback on

Author's prov

"Flarissaaa..." Aldi syok ketika melihat Flarissa tak berdaya.

Sumpah, Gue benar-benar cowok terbodoh se dunia yang membiarkan orang yang aku sayangi disakiti seperti ini, batin Aldi.

Aldi berlari ke arah Flarissa, menangkap Flarissa yang tiba-tiba jatuh pingsan.

"Maafin gue Fla. Gue ga bisa jagain lo. Please, buka mata lo." Aldi menepuk pelan pipi Flarissa berharap agar dia membuka mata. Sekarang wajahnya dipenuhi dengan darah. Begitupun tangan Aldi, berbalut darah segar yang terus mencucur.

"AAAAAAA! KENAPA KALIAN TEGA MELAKUKAN INI PADA FLARISSA! KALIAN SEMUA GA PUNYA HATI!! GUE GA AKAN BISA MEMAAFKAN KALIAN!! GA AKAN PERNAH! HAAAAAAA!!" Teriak Aldi pada semua orang disini.

"Ya! Kami memang tega. Dia sombong! Kami hanya memanfaatkan hartanya saja. Bukankah dia kaya? Dia pikir bisa berteman sama kita?" Kata Tata.

Plaaakkk.
Zahra menampar pipi Tata yang berbicara kurang ajar.

"Berani-beraninya kau..." Timpal Tata seraya memegang pipi yang merah akibat tamparan Zahra.

"LO PANTES NGE DAPETIN ITU. BAHKAN SEHARUSNYA LO YANG ADA DI POSISI FLARISSA! BUKAN DIA!" Suara Zahra menyentak.

"Aku nggak bisa melihat orang yang aku sayangi kesakitan seperti ini. Aku rela menggantikannya. Bodoh! Kenapa tadi aku hanya diam saja." Aldi terus merutuki dirinya sendiri. Air matanya menetes, seperti darah Flarissa yang terus mengucur.

"Haaa.. Flarissa. Lo kenapa," Bastian baru datang lalu dengan sigap dia mengambil alih posisi Aldi.

Bastian's prov

"Sialan!! Gue ga akan maafin orang yang udah bikin Flarissa kek gini," kataku lalu membopong nya. Tiba-tiba Bu Dewi dan Bu Ratna datang dan menghampiri kami.

"Astagaaa.. Ada apa ini. Ya Tuhan kenapa dia? Cepat ikut ibu Bas. Kita ke rumah Sakit. Bu Ratna, titip kelas ya, makasih." Bu Dewi berjalan sedikit lari menuju mobilnya. Aku yang menggendong Flarissa tak peduli dengan seragamku yang berubah warna menjadi merah lalu mengikuti Bu Dewi lalu masuk mobil.

Macet total. Itu yang menambah kekhawatiran gue. Bagaimana ini. Lo harus kuat Fla.

20 menit dalam perjalanan akhirnya kami tiba di Rumah Sakit Kartini.

"Sus, cepat tangani." Kata Bastian.

Flarissa dibawa ke ruang UGD dan sedang diobati. Aku mengintip dari jendela ini. Demi Tuhan Aku sangat menghawatirkannya.Sejenak terjadi perdebatan antara hati dengan pikiranku.

Lo harus kuat, Fla. Gue disini nunggu lo terus kok. Cepet sembuh Fla. Hati berbicara.

Ada apa Bas? Lo harusnya seneng ngliat Flarissa sengsara. Bukankah ini yang lo tunggu? Lalu apa ini?" pikiran berkata.

Tidak, gue masih sayang sama dia. Haruskah gue membencinya? Hati kecilku menjawab.

"Harus, lo membencinya Bas. Dia yang sudah membuat lo sengsara." suara kecil pikiranku menyeruak.

"Ya Tuhan, jangan sampai ada apa- apa dengan Flarissa. Bastian, titip Flarissa dulu ya. Ibu akan menghubungi orang tuanya dan mengurus administrasi. Kalau ada apa-apa nanti telfon ibu." Kata Bu Dewi.

"Pasti Bu. Bastian akan menjaga Flarissa." Jawabku seraya manggut manggut.

1 jam aku berdiri disini. Melihat Flarissa dari jendela. Hatiku terus saja mengucap do'a namun pikiranku terus saja menyuruhku agar aku berhenti mencemaskannya.

"Nak, Flarissa pasti baik-baik saja. Dia gadis yang tangguh." Kata Bu Dewi yang tiba-tiba di sampingku, melihat ke arah Flarissa dan tersenyum. Tapi hanyalah senyum imitasi karena kulihat air matanya tak berhenti menetes.

Dokter yang berpakaian serba hijau itu keluar dari ruangan Flarissa.

"Siapa yang bertanggung jawab atas Flarissa?" Kata dokter setelah menurunkan masker mulut yang dipakainya.

"Maaf, Dok. Saya Gurunya. Bagaimana keadaannya?" Jawab Bu Dewi sopan.

"Dia masih koma. Benturannya sangat keras. Dia kehabisan darah. Untung saja rumah sakit masih ada persediaan darah. Terlambat sedikit saja, hanya Tuhan yang bisa berkehendak. Dan maaf, saya tidak bisa memberi tahukan pada Anda. Ini sangat penting yang hanya boleh diketahui orang tuanya saja." Kata Dokter itu menjelaskan.

"Baiklah Dok. Saya sudah menghubungi ayahnya. Kemungkinan Ayahnya baru tiba disini besok pagi. Nanti saya akan memberitahukan pada Ayahnya supaya menemui Dokter. Lalu kapan dia sadar, Dok?" Kata Bu Dewi.

"Mungkin 2 atau 3 hari. Baiklah, kalau begitu saya permisi." pamit Dokter itu.

"Baik Dok." Pak Dokter lalu pergi.

"Nak, Bastian. Ibu minta tolong. Tolong jaga Flarissa. Ibu mau mengurus segalanya. Gapapa kan kalau ibu tinggal?" Kata Bu Dewi.

"I-iya Bu. Bastian akan jaga Flarissa kok sampai ayahnya datang." Kataku lalu tersenyum. Bu dewi hanya merespon dengan anggukan lalu melenggang pergi.

Suster pun keluar dari ruangan Flarissa. Ada sekitar 5 suster.

"Dek, kalau mau menjaga pasien itu duduk aja di sofa dalam ruangan. Tapi pakai baju sterril hijau ini ya." Kata salah satu suster kepadaku.

"Terima kasih banyak, Sus." jawabku seraya tersenyum lalu memakai baju sterril khusus dan masuk ke ruangan.

Sakit. Sakit sekali. Aku menatap Flarissa dengan detail. Apakah aku tega menyakitinya? Aku tidak tega.

Kini sudah pukul 9 malam. Tamu tamu jengukan Flarissa sudah pergi. Sebagian guru dan siswa tadi menjenguk ke sini dengan berbagai bingkisan yang mereka bawa.

Bahkan pada murid dan guru menangis dalam diam saat melihat kondisi seperti ini. Bahkan tadi aku juga melihat ada polisi dan berbincang dengan seorang laki-laki. Tapi,, bukankah itu kakak Flarissa? Ya. Dia bang Radit. Tapii,, kenapa dia tidak masuk dan menjenguk Flarissa tadi?

"Den, Aden temennya Flarissa? Aden sudah makan? Lebih baik makan dulu. Pasti belum makan dari tadi." Kata Bibi pelan lalu menyodorkan kotak makan ke arahku.

"Panggil saya Bastian aja, Bi. Tidak usah, nanti merepotkan." Jawabku pelan.

"Enggak kok. Daripada mubadzir. Non Flarissa juga pasti sedih kalau Aden eh Tuan Bastian tidak makan." Timpal bibi seraya tersenyum.

"Panggil Bastian aja, Bi. Nggak usah dikasih embel-embel apa-apa?" jawabku ragu.

"Santai aja. Nih, sok dimakan atuh," Bibi menyerahkan kotak biru itu dan aku pun menerimanya. Sebenernya aku tidak nafsu makan. Tapi bagaimana lagi, perutku tidak bisa diajak kompromi.

"Terima kasih, Bi."

Sekarang hanya ada Aku, Flarissa dan bibik Tina, pembantu Flarissa. Hanya suara detak jantung Flarissa dari alat yang dipasang Dokter.

Tak ada tanda-tanda Flarissa akan membuka mata. Tapi aku tak boleh lengah, aku harus menjaganya, 24 jam jika perlu.

Tapi payahnya Aku tidak bisa menahan kantukku. Dan akhirnya aku tertidur.

Tbc

VOTE DONG!! :)


Cinta KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang