Flarissa's POV
"Pa, Flarissa takut," ucapku seraya bergelayut di lengan Papaku.
"Flarissa, jangan takut. Kan ada papa." Kata papa seraya mengelus- elus rambutku. Disinilah kita, sebuah ruangan yang mana merupakan ruang pribadi sang Dokter. Setelah aku diperiksa 15 menit lalu dengan sedemikian proses yang sangat menegangkan.
"Bagaimana, Dok? Semua baik-baik saja kan?" Tanya Papa.
"Keajaiban luar biasa, Pak. Flarissa dengan cepat dapat mengembalikan memory nya yang sempat hilang namun ia harus merasakan sakit kepala saat ia berusaha mengingatnya." Sang Dokter menjelaskan sedetail mungkin.
"Bagaimana caranya agar Flarissa dapat sembuh total, Dok? Berapapun biayanya, saya akan membayar." Kata Papaku. Aku semakin takut.
"Atau begini saja. Lebih baik Flarissa berobat ke Singapura jika menginginkan sembuh total dengan cepat," ucap Dokter tersebut.
"Baiklah, terima kasih Dok. Kami permisi." Pamit papaku lalu kami meninggalkan ruangan tersebut.
"Pah, haruskah Flarissa berobat ke dokter? Berarti penyakit Flarissa serius dong. Kenapa papa tidak bilang? Kata Papa itu hanya obat sakit kepala biasa," ucapku dengan raut muka sedih, kesal, dan bimbang beradu menjadi satu.
"Maafin papah. Kita ke Singapura yuk, biar cepet sembuhnya," tanya papa yang menatapku lekat.
"Emm.. Flarissa masih ingin disini. Kapan-kapan saja pah," jawabku.
"Loooh.. Berobat kok kapan-kapan sih."
Hening. Aku memandang wajah Papaku. Tak bisa mengartikan raut wajahnya sekarang. Aku menyayanginya lebih dari nyawaku sendiri. Hanya dia yang mengerti perasaanku. Aku bersyukur pada Tuhan, karena Dia telah mengirim malaikat yaitu sesosok Papa yang luar biasa sabarnya, mengerti perasaanku.
"Pah, kita jadi kan jalan-jalannya?" tanyaku dengan kedua mata melihat ke arah jendela.
"Jadi dong, ini udah sampai." Kata papa seraya melepas selt belt yang dipakainya.
"Ya ampun, Papa benar. Yeay! Kita ke Dufan," kataku setelah menengok ke kiri lalu turun dari mobil.
Kemudian kami memasuki area dufan. Belum terlalu ramai, tentu. Ini masih jam sekolah.
"Pokoknya kita harus nyoba satu per satu wahana yang ada disini ya Pah, titik!" Kataku dengan menekankan kata titik.
"Of Course, baby," jawabnya sumringah.
Ketika kami berjalan, aku menangkap dua makhluk sedang berpegangan tangan, remaja pitra dan putri sedang duduk dengan es krim di tangan masing-masing. Mereka adalah Bastian dan Ariska.
Ku amati mereka sampai mata ku berkaca-kaca. Mereka serasi, itulah yang ada di benakku. Mereka saling bercanda ria, tertawa lepas seolah dunia milik berdua. Aku harusnya senang, tapi entah kenapa hatiku sakit seolah ditusuk dengan besi lancip dan panas. Nafasku tercekat.
Oh Tuhan, hilangkan rasa yang ada di hatiku terhadap Bastian. Sekarang aku sadar dan aku janji akan membuat kalian bersatu.
"Pah, Flarissa capek. Kita pulang yuk," ajakku.
"Loh. Kita kan belum apa-apa, masak pulang sih?" jawab Papa cemberut.
"Pokoknya pulang ya pulang," katalu lalu menuju tempat parkir, papa hanya mengekoriku dari belakang.
Di dalam mobil air mataku tak dapat kusembunyikan. Beberapa kali Papa menengok ke arahku.
"Kamu kenapa sayang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kelabu
Teen FictionDetik demi detik telah berlalu. Fajar bergantikan senja, mentari muncul lalu bersembunyi lagi. Burung-burung berkicauan seolah saling bercengkrama satu sama lain. Aku hanyalah seorang gadis yang haus akan kasih sayang. Ketika seorang ibu adalah mala...