[7] - Kerkom

356 38 6
                                    

Ervan POV

Aku membaringkan tubuhku di atas kasur bergambar Chelsea yang empuk setelah mengguyur tubuhku dengan air hangat.

Elena.

Nama itu terlintas begitu saja di pikiranku, mengingatkanku akan kejadian di sekolah tadi, aku terkekeh mengingatnya. Entah perasaan apa ini, apa ini cinta? Saat mengingatnya aku selalu bisa tersenyum.

Aku membuka aplikasi line yang ada di ponselku lalu mencari kontak Elena yang sudah aku add seminggu lalu, tapi aku selalu bingung untuk memulai obrolan dengannya.

Ervan. : Lo udah pulang?

Aku membuka tutup aplikasi itu tapi sama saja belum ada jawaban.
Setelah menunggu kurang lebih 5 menit akhirnya ia menjawab.

Elena Anastasya : Udah.

Gimana ini? Gue harus ngomong apa lagi coba? Aku memikirkan jawaban yang harus aku berikan ke Elena, sambil membolak-balikkan tubuhku.

Ervan. : Ohh, gue juga.

Elena Anastasya : Ga nanya!

Judes amat dah, tapi gak apa-apa sih bikin dia tambah imut kalo ngebayangin mukanya.

Ervan. : Kerkom kuy.

Belum ada jawaban.

Ervan. : Oiii

Ervan. : Huuiii

Ervan. : Woiii

Ervan. : :*

Ervan. : salah emot :v

Kalian kira gue beneran salah emot? Mana pernah tuh gue typo, itu salah satu, tau kan apa? Kode.

Elena Anastasya : Berisik!

Ga peka dasar! Gapapa deh, pasti bakalan suka kok lama-lama.

Elena Anastasya : kerkom di rumah siapa?

Ervan. : Dirumah gue

Elena Anastasya : Gue kan gatau alamat rumah lo.

Ervan. : kan tadi di sekolah udh gw ksh tau.

Elena Anastasya : Tapi kan gue baru pindah jadi gatau perumahan di sekitar sini.

Ervan. : Oke! Gue kalah! Alamat lo?

Elena Anastasya : Perum Bumi Asri No.321 Blok B

Ervan. : otw.

Aku langsung mengambil kunci mobil ku dan memakai kaus hitam polos dengan flannel berwarna biru dan celana sedengkul, walaupun begitu penampilan tetep kece kan!

Author POV

Ervan mengetuk pintu rumah Elena sambil merapihkan baju dan rambutnya.
Pintu itu terbuka dan keluar wanita paruh baya, yang rambutnya berwarna putih.

"Eh, temennya Elena ya, silahkan masuk." Ervan menautkan kedua alisnya.
Apa mungkin ini mama nya Elena? Kok beda ya emak sama anak. Batin Ervan.

"Eh iya makasih Tan." Ervan tersenyum.

"Hah Tan? Saya Bi Aimah."
Ervan lagi-lagi kebingungan namun akhirnya mengangguk.

Mungkin orangtuanya lagi pergi. Batin Ervan.

"Non, nih ada temennya." Elena turun dari tangga nya ia di kuncir kuda dan memakai baju yang sopan, maksudnya celana tidak pendek.

"Ayo, kita kerjain di ruang atas." Elena mengajak Ervan naik menggunakan bahasa tubuhnya.

Sampai diatas, Ervan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, disana terdapat kamar mandi, dan di sebelahnya mungkin kamar Elena karena tadi dia masuk ke kamar itu, tapi matanya memicing ketika menangkap sebuah piano putih yang ada di tengah ruangan.

"Lo bisa main piano Len?" teriak Ervan, Elena sedang mencari bahan-bahan yang di perlukan untuk prakarya di dalam kamarnya.

Elena diam sejenak, "Nggak," jawabnya bohong.

"Lah terus yang bisa mainin ini siapa?"

Tidak ada jawaban, ia kira Elena tidak mendengarnya, "Len?"

Tidak ada jawaban lagi.

Ia khawatir dan tanpa mengetuk kamarnya ia segera masuk dan mendapatkan perempuan itu duduk di ujung kasurnya sambil terisak, tangannya sudah memegang lem, dan bahan prakarya lainnya.

Ervan menghampirinya dan segera duduk di sebelahnya, "Ikut gue."

Ia menarik tangan Elena dan memegangnya erat-erat seakan-akan memberinya kekuatan.

Ervan duduk di kursi yang ada di depan piano, lalu ia menepuk tempat kosong di sebelahnya agar Elena duduk, sebelumnya ia sempat ragu-ragu tapi akhirnya menurutinya.

Ervan menatap Elena sejenak sambil tersenyum, "Sekarang lo mainin."

Elena sempat kaget saat Ervan menyuruhnya untuk memainkan piano putih itu yang sudah menyimpan banyak kenangan bersama orang yang dulu sangat ia cintai, ibunya.

Elena mulai mengangkat jarinya ke atas piano tersebut, tapi sebelum ia menekannya, ia sempat memandang Ervan lalu tersenyum penuh arti.

Skies are crying

I'm watching

Catching teardrops in my hands

Only silence as it's ending

Like we never had a chance

Suara itu mengalun mengikuti irama piano, Ervan terkesiap melihat bakat Elena yang sebelumnya tidak ia sangka sebelumnya, Ervan semakin kagum saja terhadap perempuan yang satu ini, tapi setelah beberapa menit ia menyanyikan lagu itu. Elena mengeluarkan air matanya lagi.

"Lo hebat!" Ucap Ervan sambil mengacak pelan rambut Elena.

Setelah ia melihat air mata gadis itu terus-terusan berlinangan, ia segera membawa Elena jauh-jauh dari piano tersebut yang sebenarnya ia juga tidak tau alasan Elena menangis saat membahas tentang piano itu.

"Ayo kita mulai! Gue lagi semangat nih." Ujar Ervan dengan senyum.

Elena tertawa melihat wajah Ervan bagaikan anak kecil yang baru di belikan mainan, well walaupun air matanya masih terus bercucuran, "Thanks ya."

Sekali lagi Elena melihat sosok lain dari Ervan, kalau ia sangat mengerti perasaannya.

Maaf ya lama update nya hehe😁
Vote+commentnya ya.
Sejauh ini gimana menurut kalian?

Our TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang