2

324 112 85
                                    

Setelah tiga bulan tinggal bersama Jimin dan Mama--sebelumnya aku tinggal bersana ayah, tapi karena ayah menikah lagi jadi aku tinggal bersama Mama--baru kali ini aku lari pagi keliling komplek.

Karena tidak ada yang bisa aku lakukan di rumah, jadi aku memilih untuk lari pagi. Inginnya sih mengajak Jimin, tapi lelaki itu masih enggan untuk membuka mata.

Mengajak Mama jelas tidak mungkin. Ia juga masih tidur. Wajar sih, mengingat tadi malam ia pulang larut. Heran. Padahal weekend, masih bisa-bisanya kerja lembur.

"Lo adeknya Jimin bukan?" Seseorang yang wajahnya mirip Jrackfost lari di sebelahku. Serius deh, dia itu mirip. Kalau kamu tidak tahu Jackfrost, silahkan ketik kata Jackfrost di mesin pencari.

Aku mengangguk.

"Gue nggak pernah lihat lo lari pagi." Dia berkomentar.

"Iya, kak. Baru kali ini," aku menyahut komentarnya. Beneran deh, aku tidak tahu harus bicara apa. Pasalnya, aku belum kenal dengan siapa aku berbicara.

"Nggak usah panggil kak elah, kita cuman beda setahun doang."

Aku menoleh ke arahnya. Menunggu kalimat selanjutnya.

"Taeyong."

Oh, jadi dia yang waktu itu memegang pundakku.

"Rain."

Taeyong terbatuk. Sepertinya ia menahan diri untuk tidak tertawa. Sekonyol itukah namaku? Padahal aku suka sekali. "Nama lo hujan?"

Aku menggeleng, "Bukan sih. Sebenernya Raina. Biasa dipanggil Ra."

Taeyong berhenti. Kedua tangannya menyentuh lutut. Napasnya tidak beraturan. Keringat mengucur dari pelipisnya. Oh, astaga, kaosnya bahkan sudah setengah basah.

"Berhenti dulu, Ra. Gue capek banget."

Loh? Bukankah tadi aku berlari sendiri, dia juga berlari sendiri? Mengapa aku harus menunggunya? Baiklah, karena aku adalah adik kelas yang baik hati. Maka aku berhenti.

"Beli minum dulu yuk, Ra."

Aku mengangguk. Entah kebetulan atau tidak, di kiri jalan ada minimarket yang buka dua puluh empat jam.

Taeyong sudah masuk ke dalam sana. Aku menyusulnya. Langsung menuju ke tempat minuman dingin. Kupandangi botol-botol berjejer rapi dari luar kaca lemari es.

Ketika aku akan membuka pintu lemari es, sebuah tangan yang lebih besar dariku mendarat di atas punggung tanganku.

"Habis olahraga nggak baik minum dingin."

Taeyong mengangkat tangan kirinya yang membawa kantong plastik putih, "Ini udah gue beliin."

"Eh? Thanks, kak--maksud gue--Taeyong."

"Yuk," Taeyong menggenggam tanganku. Kemudian menarikku keluar. Entah ini imajinasi atau nyata, tapi aku merasa tubuhku seperti tersengat listrik karena gerakan tiba-tiba yang dilakukan lelaki itu.

Lelaki itu mengajakku duduk di salah satu kursi di depan minimarket. Ia meletakkan kantong plastik itu di atas meja.

"Nih, Ra." Taeyong membuka tutup botol air mineral lalu memberikannya padaku.

Aku langsung menerimanya dan meneguk isinya.

"Ra, besok nonton, ya," ucapnya setelah meneguk air mineral.

Dahiku berkerut. Berusaha mencerna apa yang dia katakan. Ah, aku ingat sekarang. Besok ada berbagai macam lomba di sekolah sebagai perayaan dari anniversary sekolah.

"Lo main basket?" tebakku asal. Yah, habisnya Jimin main basket. Taeyong kan temannya Jimin. Siapa tahu dia main basket juga.

Yang ditanya menggeleng. "Emangnya gue kaya pemain basket?"

Aku mengangkat bahu. "Asal nebak sih. Soalnya Kak Jimin kan pemain basket."

"Gue emang ditawarin sih. Tapi gue gamau. Udah ada Taehyung, Jimin, Bobby. Jago-jago semua. Males. Gue nggak jago-jago amat juga."

"Kak Taehyung main basket?" Tanyaku antusias.

"Lo kenal Taehyung?"

Mampus. Aku harus mencari alasan. Lagipula pertanyaanku konyol. Sudah jelas Taehyung itu ikut ekskul basket bareng Jimin. Jelas dia ikut, lah.

"Yah, dia kan lumayan ngehitz, kak. Siapa yang nggak kenal?"

"Jangan panggil gue kak."

Aku nyengir, "Maap keceplosan."

Taeyong mengusap-usap kepalaku. Tiba-tiba. Astaga, bisa tidak sih tidak melakukan gerakan yang mengagetkan?

Tuh kan, sengatan listrik itu datang lagi.

"Rambut gue jadi berantakan." Aku membenarkan rambutku.

Taeyong tertawa renyah. Manis sekali. Suara tawanya berhasil membuatku tersenyum--hampir tertawa.

"Nggak lucu."

"Apaan, lo senyum tadi."

"Oiya, besok lo ikut lomba apa?"

"Masaklah jelas."

"Eh?" Serius, aku kaget setengah mati. Lelaki di hadapanku ini bisa masak? Aku jadi merasa gagal jadi perempuan. Aku tidak bisa masak. Sama sekali.

"Kenapa? Aneh ya cowok bisa masak?"

"Nggak kok, justru menurut gue, cowok bisa masak itu keren banget! Rencana mau masak apa?"

"Udah tonton aja besok."

Aku mengangguk, "Oke."

"Lo mau lari lagi? Apa pulang?"

"Pulang aja deh."

"Yaudah yuk, bareng. Kita searah kok."

Kami bicara banyak hal selama berjalan dari minimarket sampai rumahku. Mulai dari hobi, makanan kesukaan, sampai film favorit kami bahas.

Jimin sedang menyapu halaman ketika kami berdua sampai.

"Lo ke mana aja sih? Bukannya bantu-bantu malah jalan-jalan." Henti sejenak. Karena Jimin sepertinya baru menyadari ada Taeyong di sampingku.

"Lo jalan sama Taeyong?"

"Kita kebetulan ketemu aja. Terus bareng deh." Taeyong menjawab.

"Awas lo ya, kalau macem-macem sama adek gue."

"Selow kali Jim. Gue kan temen lo. Masa iya mau macem-macemin adek temen sendiri?"

"Ya kali aja. Oh iya, lo mau mampir nggak?"

Yah, dan mereka ngobrol seolah-olah tidak ada aku di sini.

"Nggak usah."

"Yakin nih?"

"Yoi. Gue duluan ya."

"Hati-hati, bro!"

Aku hendak masuk ke dalam rumah. Tapi Jimin mencegahnya. Ia langsung berdiri di hadapanku.

"Jangan bilang lo naksir Taeyong?"

"Apaan sih kak? Gue emang naksir temen lo. Tapi bukan Taeyong."

"Terus?"

"Kepo lo, kak!" Aku kemudian masuk ke dalam rumah. Tidak memedulikan Jimin yang masih memanggil namaku. Lagipula, apa manfaatnya bagiku untuk memberitahunya? Ia juga tidak akan membantu apa-apa.

Tbc

Ra's Guardian [Kim Taehyung] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang