Waktu beranjak pagi. Namun aku masih seperti semalam. Aku belum benar-benar tidur sejak beberapa hari lalu. Kamarku berantakan, mataku persis seperti panda, dan aku masih belum juga mandi. Hanya movie marathon yang kulakukan seraya memakan snack ringan, juga minuman bersoda. Rutinitasku tiga hari terakhir persis seperti ini.
Aku bahkan lupa dimana sebelumnya meletakkan ponsel. Tiga hari terakhir, aku tak menyentuh benda itu. Peduli amat dengan e-mail kerjaan yang masuk, toh aku sedang cuti minggu ini.
Aku selalu hidup dengan baik, teratur, dan penuh perencanaan. Tapi hal itu menghantam telak. Menggoreskan luka. Aku tak pernah sekacau ini sebelumnya.
Lelaki brengsek.
Dia lah penyebabnya. Lelaki yang delapan tahun belakangan telah menjadi bagian erat dari hari-hariku.
Aku dan dia adalah sahabat dekat. Kami kenal di bangku pertama Sekolah Menengah Atas. Sejak itu, ia tak pernah jauh dari hidupku. Kami tak terpisahkan sejak saat itu.
Peduli amat dengan status kami yang abu-abu, pikir jiwa remajaku kala itu.
Kami tumbuh dewasa bersama. Aku yang ambisius. Penuh perencanaan. Dia yang lurus-lurus saja. Namun pekerja keras.
Sejak SMA, aku menjadi siswi yang aktif di sekolah dengan berbagai kegiatan. Sedangkan dia disibukkan dengan satu-satunya hobi, olahraga.
Beranjak ke tahun terakhir masa abu-abu kami, hal buruk terjadi. Kedua orang tuanya bercerai. Dia menjadi sedikit tak terkendali. Pergaulannya mulai liar, emosinya tidak stabil, dan dia merokok. Aku paling benci itu.
Tetapi, aku membuatnya tetap dalam jangkauan. Aku lulus dengan gemilang. Sedangkan dia berhasil lulus dengan selamat. Dia tak lagi sehangat dulu. Namun, aku tetap bertahan.
Di dunia perkuliahan, kami memasuki fakultas yang berbeda. Pergaulan kami mulai meluas. Dan itu membuatku cemas. Takut genggaman itu lepas. Namun, dia selalu bersikap santai.
Aku sedikit tenang, mengetahui aku satu-satunya perempuan yang dia perlakukan dengan sebegitunya. Tak ada yang lain, hanya aku seorang.
Aku dan dia. Kami seperti sepaket. Begitu yang orang-orang tahu. Hanya ada dia untukku. Entah bagaimana dengannya.
"Bar, cewek lu mana?"
Dia hanya tertawa, lantas menjawab dengan lurus. Tidak membenarkan namun tidak juga menyangkalnya. Abu-abu. Aku tak pernah bisa benar-benar memahaminya.
Dia bagai labirin. Semakin aku mencoba memahami, maka dia semakin sulit dimengerti. Maka yang kulakukan adalah bertahan dengannya. Hanya itu.
Sekali dua kali, godaan datang menghampiri. Menawarkan atatus yang jelas. Namun, ini hati. Aku tak bisa bernegosiasi untuk memutuskan rasa ini.
Bel apartemen menyadarkanku. Siapa tamu tak tahu diri yang memencet bel seperti kiamat esok hari? Dengan langkah gontai, aku beranjak dari kamar.
Dan sebelum aku sempat memaki, tamu itu memelukku erat. Erat sekali. Membuat sesak. Aku tahu apa maksudnya ini.
"Ngapain sih lo?"tanyaku berusaha bersikap santai, seraya melepaskan diri.
"Gue datang pingin lihat, lo udah mati atau belum," Tasya menjawab dengan jengkel. Berjalan melewatiku, menyandarkan tubuhnya di sofa.
Dia, Tasya, sahabat karibku. Saksi hidupku. Dia tahu segalanya, juga soal lelaki itu. Aku lantas tertawa. Hambar.
"Kalian itu tololnya luar biasa ya. Heran gue."
Aku hanya memijat pelipis. Kepalaku berdenyut nyeri. Ditambah dengan kedatangan Tasya, yang pasti mengungkit hal yang kuhindari.
Delapan tahun. Delapan tahun kami bersama. Tanpa status yang pasti. Delapan tahun berjalan mengiringi kisah kami. Aku bukan lagi cewek yang akan merengek manja, saat sekitar meledek kami yang sebatas friendzone semata. Tapi, dia tetap orang yang sama, yang tak membenarkan ataupun menyangkal hal itu. Setidaknya sampai beberapa waktu lalu.
Nyatanya, delapan tahun kebersamaan kami, tak membuatnya memilihku untuk bersanding dengannya.
Lantas, apa arti kami selama ini? Apa arti segala cerita kami? Apa arti segala yang pernah terjadi?
Tuhan, ini menyakitkan. Tak akan ada lagi kami. Bagaimana aku bisa bertahan di atas luka ini?
Delapan tahun, aku terbiasa dengan dirinya. Dengan semua hal tentangnya. Lantas, dalam sekejap dia pergi. Membuat aku sendiri disini.
Delapan tahun. Demi Tuhan, delapan tahun. Lantas, pagi ini aku harus mulai membiasakan diri tanpa lelaki itu. Merelakannya pergi. Mengikhlaskan segala minpi yang pernah kami rancang bersama. Mengikhlaskan janji masa depan bersamanya.
Air mata itu akhirnya menetes juga. Jebol sudah pertahananku beberapa minggu terakhir ini. Aku tak menangis, bahkan saat kata-katanya menghantam telak hatiku.
"Aku akan menikah dengan perempuan lain."
Aku tak bereaksi saat itu. Hanya menatapnya kosong. Dan minggu-minggu setelah itu, aku setengah mampus menguburkan diri dalam pekerjaan.
Aku kalap. Bahkan tak mampu untuk sekadar memakinya. Aku jatuh terlalu dalam.
"Kamu seperti segelas teh. Hangat, saat aku sedang dingin. Dingin, saat aku sedang panas. Pas."
Bohong. Bagaimana aku bisa mengenang hal itu tanpa amarah? Mengingatnya membuatku marah.
Delapan tahun. Banyak yang telah terjadi. Bagaimana aku bisa bertahan di atas luka yang menganga?
Aku melihat jam dinding. Pukul 08.00 tepat. Lelaki itu resmi menjadi imam untuk wanita yang bukan aku.
Musnah. Habis sudah delapan tahun kami. Tuhan, ini sungguh menyakitkan.
Jika waktu yang membuatku begitu mencintamu karena terbiasa bersama. Maka satu harapku, waktu, sembuhkan aku. Bebaskan aku dari luka yang mendera. Bebaskan aku dari delapan tahun milik kami.
Karya : girlandsky
KAMU SEDANG MEMBACA
Time - October
Short StoryApa yang kau pikirkan tentang waktu? Bungakan imajinasimu, rangkaikan ratusan kata dengan satu kunci yang diberikan: WAKTU. Lihatlah bagaimana cara The Rebels memaknai waktu lewat barisan aksara yang teruntai.