MAAF

22 11 2
                                    


Gelap.

Tiada suatu penerangan yang mampu memberikan semburat cahaya untukku biar indra penglihatanku dapat menelisik sekitar. Entah mengapa aku merasa hanya seorang diri di sini. Kemana yang lainnya berada? Mama, Papa, kakak kalian dimana? Mengapa kalian tiada di sini menemaniku? Aku butuh teman agar aku tak kesepian. Aku ingin keluar.

Perlahan kulangkahkan kakiku dengan hati-hati karena cahaya disini yang tidak mendukung. Tak hanya itu, tanganku pun mencoba meraba-raba apa yang ada di sampingku. Keras tapi sedikit rapuh, itu yang dapat kurasakan oleh telapak tanganku. Oh Tuhan, ini sungguh sempit sekali! Mana mungkin rumahku yang megah penuh barang-barang mewah ternama menjadi sempit seperti ini.

"Man Robbuka" Suara itu terdengar seperti sambaran petir yang sangat keras. Menggelegar hingga tubuh menjadi gemetar olehnya. Apakah ini suara malaikat? Jika iya, berarti sekarang ini aku berada di alam barzah. Dan sekarang aku bertemu dengannya.

Dalam hatiku aku ingin mengucapkannya, namun bibir ini tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Susah sekali menjawab pertanyaannya, lebih susah dari ujian matematika. Lalu apa yang harus kuperbuat sekarang?

Mereka pun mendekatiku—Malaikat Mungkar dan Nakir—rasa takut pun menjalar ke seluruh tubuh. Tak pernah terbayang aku bisa bertemu dengannya. Di dunia aku memang pandai sekali lari jarak jauh, tetapi sekarang kaki ini seperti sudah tak ada tulang. Aku pun memejamkan mataku, aku takut melihatnya.

"Wa maa diinuka?" tanyanya. Jelas aku ini Islam. Lagi-lagi lisan tak bisa berfungsi semestinya. Tolong Tuhan, aku ingin bisa merampungkan semua pertanyaan ini!

Disahut kembali pertanyaan yang ke tiga darinya. "Wa maa hadzaar rujululladzi bu'itsa fiikum?" Mereka memandangku garang sebab dari tiga pertanyaan tersebut belum ada yang mampu bisa kujawab. Aku semakin bergidik ngeri. Tidak mungkin jika aku lari dari sini, ujung-ujungnaya aku pasti bertemu kembali.

Oh Tuhan! Aku tak ingin mendapat siksa kubur, aku ingin nikmat kubur.

"Arghhh... Tolong... tolong... to-long be-bas-kan a-ku..." aku mengaduh kesakitan. Bagaimana tidak, sebuah besi dihantamkan kepadaku berkali-kali, meskipun begitu aku tidak akan mati. Semua akan utuh kembali hingga aku merasakan setiap kesakitan di setiap bagian tubuhku. Jeritan ini terdengar cukup kencang sampai terdengar oleh seluruh makhluk Allah kecuali manusia dan jin.

Apa ini mungkin balasanku saat di dunia?

Aku sering menyalahgunakan lisan ini pada bentuk yang merugikan.Orang yang paling parah kujahati adalah Ghani. Sebenarnya ia orang baik dan taat beribadah. Namun, aku membicarakannya menyimpang dari fakta yang ada.

Waktu itu, aku sedang menghadapi ujian Matematika. Merepotkan sekali harus mencari nilai x lalu y, ditambahlah, dibagi, ditukar posisi, aku tidak suka. Semalam sebelum ujian, aku mendapat ide. Aku ingin mencatat semua rumus-rumus dalam selipan kertas kecil. Dan aku membuat dua, tentu tahu 'kan?

Hingga ujian datang, aku tak perlu bersusah payah menguras otak untuk menemukan jawabannya. Semua ada di dalam kertas itu. Setelah semua selesai, selipan itu kutaruh di meja Ghani.

Aku pun memanggil Pak Tata saat itu jika Ghani membuat contekan. Dengan sekejap guruku percaya padaku. Katanya ia kecewa pada Ghani, jika selama ini hanyalah kebohongannya, ia pintar karena mencontek.

Aku memfitnahnya habis-habisan hingga ia di keluarkan dari sekolah ini. Kau tahu bukan, ia di sini hanya mendapat beasiswa dan semua yang membayari itu ialah Pak Tata, guru sekaligus kepala sekolah. Alhasil, aku sangat senang melihatnya tersiksa seperti itu sebab ia selalu menjadi anak kesayangannya guru-guru dengan otak cerdasnya. Sedangkan aku?

Tidak hanya itu, aku pernah menggosipkan tetangga samping rumahku jika ia itu miskin tapi punya mobil mewah. Dari mana coba? Ya sudah aku mengakalinya jika mereka meminta pada dukun untuk menggandakan uang. Semua warga pun terlena akan bualanku.

Aku sadar akan hal yang pernah kuperbuat. Jika aku diidupkan kembali, aku akan memperbaiki semua. Namun, itu sungguh mustahil. Itu tak mungkin terjadi. Kesenanganku di dunia tak kudapat di alam barzah. Waktuku sudah berakhir dan aku tak menggunakannya dengan baik. Maafkan aku Tuhan.

Karya : FennyAmalia

Time - OctoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang