Aku duduk di kursi ini setiap detik, menit, jam, sampai dua puluh empat jam hanya untuk menunggu dirimu. Aku percaya mereka semua berbohong padaku. Lihatlah, wajah mereka semua berwajah dua. Lembut di depanku, tapi nyinyir di belakangku.
Hari ini, aku duduk di tempat yang sama. Di temani secangkir teh, aku memandang lurus kedepan menanti kedatangan mu. Kau bilang, aku hanya harus menunggu dirimu selama tiga puluh hari. Tapi, lima hari lagi waktuku untuk menunggumu habis. Kau tak memberikan alasan yang jelas mengapa engkau pergi. Tapi aku yakin engkau akan kembali walaupun orang-orang berkata padaku kalau dirinya tak akan pernah kembali.
Peduli setan jika mereka menganggapku gila. Apa peduli ku? Mereka tak memberikanku jawaban yang jelas jika aku bertanya kemana perginya dirinya. Kau tahu? Aku menantikan kejutan saat kau pulang nanti. Ku harap ini akan membuatku menangis saking bahagianya. Berarti usahaku dan waktu ku selama ini ku lewati untuk menunggumu dan menepis bisikan orang-orang itu tidak sia-sia.
Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku ketakutan. Takut akan kehilangan mu. Aku tak bisa hidup tanpa mu. Melewati sisa hari ku tanpa dirimu di sampingku. Aku takut kau pergi meninggalkanku demi sesosok lain yang mungkin kau anggap dirinya lebih dariku. Mungkin banyak lelaki di luaran sana yang ingin bersanding bersamaku. Namun, dari sekian banyak lelaki itu aku hanya memilihmu.
Apa aku salah memilih mencintaimu dan memilih setia kepadamu? Aku harap tidak. Aku harap dirimu juga tidak lebih dari secangkir teh. Manis saat baru sampai di lidah tapi asam bahkan pahit setelah di telan.
Waktu ku habis. Jarum jam itu terus berputar mengurangi menit dalam hidupku. Kau tidak kembali. Ibu berkata dirimu tidak akan kembali. Aku menatap lurus kedepan. Kearah pepohonan yang ada di depan rumah.
Kilasan masa lalu berputar di kepalaku. Saat kau mengantar-jemputku, saat kau membawa banyak bungkusan plastik berisi makanan, saat kau tersenyum, saat kau marah karena ulahku, itu semua berputar terus. Oh tuhan, ku harap semua ini berhenti.
Tapi, kenapa sampai sekarang tidak ada juga yang memberitahukanku kemana dirinya pergi? Apa ketakutanku akan jadi kenyataan? Hey, cobalah berfikir positif dan percaya kepadanya bahwa dirinya akan benar-benar menepati perkataanya untuk kembali.
Sehari pun terlewati. Masih tak ada tanda-tanda dirinya akan datang. Ibu menyuruhku untuk pergi bersamanya. Memakai sebuah dress selutut berwarna hitam dan ibu mengepang rambutku. Selama di perjalanan yang aku lakukan hanya terbengong-bengong memikirkan semuanya sampai akhirnya ibu menyuruhku keluar. Tak ku sadari ini adalah sebuah pesta pernikahan.
Oh tuhan, jangan sampai. Jika benar, aku tak akan memaafkan semuanya. Aku terus menunduk melafalkan doa-doa yang aku anggap bisa menetralkan semuanya. Ibu menyuruhku mendongak. Pandanganku terpaku kearah depan sana. Sepasang pengantin tersenyum kearah para tamu.
Dan kalian tahu? Pengantin pria-nya adalah dia. Dia yang menyuruhku menunggunya dalam tiga puluh hari. Menyia-nyiakan waktuku menunggunya mempersiapkan pernikahan. Hatiku hancur lebur. Panas bagai besi yang akan di timpa. Aku hanya tak menyangka akan semuanya. Realita kehidupan yang memang tidak berpihak manis kepadaku.
Aku terus memandangnya sampai matanya terpaku menatapku. Senyum di wajahnya perlahan pudar. Dengan sedikit tergesa dia menghampiriku. Terdiam sebentar, lalu mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Tapi, hati ku sudah kaku terhadap apa yang dia ucapkan. Hatiku mati. Seribu alasan dia ucapkan dari mulutnya itu. Aku membentaknya. Dia terdiam. Menatapku dengan sorot mata tak terbaca.
Aku mencacimaki dirinya hingga kami menjadi pusat perhatian sekarang. Aku melihat ibu dan adiknya tersedu-sedu tak jauh dari kamu keberadaanya. Untuk apa mereka menangis? Dasar orang-orang tak tahu diri! Mereka semua akan menjadi alsanku kenapa aku membenci rasa seperti ini.
Mempelai wanita itu berjalan mengjampiri dirinya. Namun, dia tidak mengubris apapun yang mempelai wanita itu katakan. Ya sudah pasti, ada aku di sini.
Aku memandangnya dengan raut kebencian. Menatap dirinya yang juga menatapku. Aku menamparnya dengan satu tamparan telak. Membuat pipinya merah kesakitan. Dirinya juga tidak melawan. Dia pikir siapa dirinya berani-beraninya mempermainkanku. Aku mencacimakinya lagi. Berteriak, menangis, memaki, menunjuk-nunjuk dirinya dengan tangis yang mengiringi.
Apa dirinya tidak tahu seberapa hancurnya diriku sekarang? Aku rela mengacuhkan orang lain dan lebih membela dirinya. Namun sekarang hasil apa yang bisa ku petik? Kekecewaan? Sudah pasti! Aku menangis di sana. Semua orang memberikan tatapan sedih. Ada juga yang menatapku sebagai seorang pengganggu yang harusnya tak hadir dalam suasana kebahagiaan mereka.
Aku pergi dari tempat itu dalam keadaan kacau. Ibu selalu disampingku memeluku, menenangkanku. Aku yakin setelah ini ibu akan meningkatkan penjagaan terhadapku. Aku tidak peduli. Yang pasti kini hatiku sakit. Sejenis rasa patah hati kronis. Tapi aku mencoba mengiklaskan.
Aku tak akan peduli jika dia kembali mendatangiku. Aku akan mengusirnya. Oh tidak, aku akan memepersilahkanya masuk kedalam rumahku, mempersilahkanya diududk di atas sofa seperti biasanya, memberikanya senyumku seperti biasa lalu aku akan memberika selamat atas pernikahanya-- aku harap istrinya juga akan ikut-- setelahnya akan ku tendang mereka hingga ke pelosok sana.
Karya : nurecandy
KAMU SEDANG MEMBACA
Time - October
ContoApa yang kau pikirkan tentang waktu? Bungakan imajinasimu, rangkaikan ratusan kata dengan satu kunci yang diberikan: WAKTU. Lihatlah bagaimana cara The Rebels memaknai waktu lewat barisan aksara yang teruntai.