Secangkir Kenangan

41 10 6
                                    


Hai, kamu ... kisah yang tak usai.

Apa kabarmu? Masihkah rindu adalah penyatu nadiku dan nadimu? Masihkah kau menatap cangkirmu saat petang mulai menyapa?

Cangkir kenangan.

Aku menyimpanmu di sana.

Bercerita pada kepulan kopi yang menyisakan ampas; kenangan tentangmu.

Cangkir kenangan.

Ada jejak-jejak bibirmu di sini.

Kuhirup bersama aroma candu hadirmu.

"Bagaimana bila segala tentang kita telah usai?" tanyamu di suatu malam yang sendu.

Aku memilin rindu, merangkai senyum di wajah. Lalu berkata, "Tak perlu kau risau, Sayang. Aku, menyimpanmu di dalam cangkir kenangan."

Memori itu merajut kisah yang tak usai.

Pahit yang tercecap adalah satu yang tak mampu menahanku untuk bertahan; menunggumu.

Orang bilang, aku bisa saja menjadi bodoh.

Tapi, mereka tak tau kalau kita ditakdirkan menjadi jodoh.

Cangkir kenangan.

Aku mengukir aksaraku dalam ramu rindu untukmu.

Tak mengapa kau menghilang, karena hadirmu di jiwa, bukan raga.

Cangkir kenangan.

Malam ini aku memelukmu.

Membungkusmu dengan telapak tanganku yang dingin.

Adakah kau merasa hangat?

Cangkir kenangan.

Kepulan asapmu kian menghilang.

Berganti sepi yang menyongsong.

Adakah kau merasa rindu?

Cangkir kenangan.

Padamu kuceritakan satu kisah,

tentangnya, tentangku, tentang ... kita.

***

Tak ada yang memulai kata.

Kamu terdiam dan aku tergagu.

Kita sama-sama menjadi bisu.

Menggantung prakara.

Kamu tau, ini saatnya.

Tapi kau tak ingin mengawalinya.

Aku tau, ini memang saatnya.

Namun, aku tak ingin mengakhirinya.

Cangkir-cangkir beradu,

menciptakan denting yang menyaru.

"Apa kabarmu?" tanyamu memecah hening.

Apa kabar? Seolah kau tidak baru bertanya hal ini padaku kemarin.

"Aku baik," jawabku.

Aku baik, setelah berusaha mematikan rasaku untuk segala hal. Bukankah memang harusnya seperti itu? Saat aku tak memiliki rasa apa pun, aku akan menjadi baik.

Senyummu tertarik kaku. Matamu menyorot tajam sekaligus teduh saat menatapku. Sayang, aku tak lagi temukan hangat di dalamnya.

"Ada apa dengan kopi hitam? Kau bukan penikmat pahit," katamu. Isi cangkirku menarik perhatianmu.

Aku ingin tertawa keras. Iya, menertawakanmu.

Bukan penikmat pahit?

Kamu, Sayang ... kamulah alasanku menjadi candu pahit yang pekat. Itu 'kan yang kau lakukan padaku? Pada hatiku. Dulu. Setidaknya, kukatakan sekali lagi, aku ... tak lagi perasa, Sayang.

Aku menatap cangkirku, dan aroma itu mulai mengabur.

"Aku menikmatinya sekarang." Kuraih cangkir di hadapanku. Perlahan, bibirku bercumbu dengan pahit di dalam cangkir.

Matamu bersipandang dengan tatapanku. Tak lagi kutemukan desir yang memukau. Hanya kosong yang mengompong.

Kau mengikuti gerakanku; bercumbu dengan cangkirmu. Pahit dan manis, cokelat dan kopi, sekarang kita tak menyatu.

Dulu, kau ajakku mengenal cokelat di dalam cangkir. Kau bilang, "Ini manis. Cobalah."

Dan kau benar! Cokelat itu terlalu manis, hingga aku lupa kalau hidup tak selamanya manis, Sayang.

Aku terus terlena dengan cokelat yang kau tawarkan. Aku ... candu pada manis yang kau perlihatkan.

Sampai semua berubah.

Kau berulah.

Dan kita berpisah.

Cokelatku tak lagi manis.

Cangkirku selalu kosong.

"Kau mau mencicipinya?" Pertanyaanmu membungkam khayalanku. Aku menatap cangkir yang kau sodorkan di hadapanku.

Ini seperti waktu itu, tetapi di tempat dan suasana yang berbeda. Dan ... perasaan yang berbeda.

"Datanglah, cicipi aku," bisik cangkir itu padaku.

"Tidak," putusku, "aku tak lagi terbiasa dengan manis."

"Ini bukan manis," katamu, memberi alasan.

Aku menatap cangkirmu ragu-ragu. Kau mendorongnya lebih dekat denganku. "Percayalah," janjimu.

Aku luluh.

Meski jiwaku tak berpenghuni, kau tetaplah tamu yang memegang kendali di sana.

Dengan perlahan, aroma cokelat yang tak asing terendus hidungku. Aku memejamkan mataku dan mencatat memori yang lama tak singgah ini di sudut hatiku, yang menyimpan kenangan tentangmu. Kusesap perlahan, rasanya gurih, manis dan ... tunggu ... pahit? Kenapa bisa ada rasa pahit? Kau adalah penikmat manis tanpa pahit.

Mataku mencari tatapanmu. Kau tersenyum. Kali ini, aku tau rasa hangat mulai merambat di relung-relung sukmaku.

"Cokelat, kita salah menilainya dulu. Ternyata, dia adalah pahit yang diramu manis," bisikmu.

END.


Karya : sesiiya

Time - OctoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang