14 - Everything Has Changed

61 10 1
                                    


Aku masih tidak bisa mempercayai apa yang terjadi kemarin, bagiku semua seperti mimpi. Aku tidak menyangka Justin dapat berubah begitu cepat, dan aku benar benar tidak menyangka sikapnya padaku pun jauh lebih baik. Annabelle dan anak-anak di Home For Children telah mengubah Justin. Aku tidak pernah melihat senyuman Justin yang sebahagia kemarin, ah ya itu memang karena Justin tidak pernah tersenyum, selama ini yang dia tunjukkan padaku adalah sebuah senyum mengejek dan merendahkan. Tapi kemarin, sebuah senyum tulus, sebuah senyum kebahagiaan yang aku lihat pada dirinya. Bahkan jantungku berdegup jauh lebih cepat saat dia meletakkan kedua tangannya di atas tanganku, menatapku dengan dalam dan tersenyum tulus sembari berkata 'Thank you so much, Claire that mean so much to me. You're like an angel that God's send to me.' Aku bahkan tidak bisa mempercayai yang mengatakan itu adalah seorang Justin Bieber.

Saat ini aku tengah berjalan menuju ke kampus, seperti biasa. Hari ini aku mengenakan dress putih di atas lutut dengan lengan yang terbuka, lengkap dengan flatshoes berwarna coklat muda. Entah kenapa aku berjalan dengan pikiran yang begitu tidak fokus. Pikiranku terus tertuju kepada satu orang, Justin. Aku sungguh tidak sabar untuk bertemu dengannya hari ini. Namun saat aku melangkah memasuki gerbang New York University, sebuah Ferrari merah memasuki gerbang dengan kecepatan tinggi. Aku mengernyit melihat Ferrari itu, yang aku tahu hanya satu orang di New York University yang menaiki Ferrari. "Mario?"

Aku masih mengamati mobil sport berwarna merah itu, melaju begitu cepat melewati jalanan di dalam kampus menuju lapangan parkir. Beberapa mahasiswa berteriak kepada Ferrari itu saat melewati mereka dengan kecepatan tinggi. "Dia tidak mungkin Mario, mungkin ada mahasiswa yang memakai Ferrari yang sama persis." ujarku pada diriku sendiri. Tidak mungkin Mario menancap gas saat memasuki lingkungan Universitas, yang aku tahu dia selalu memperhatikan segalanya dengan baik, dan Mario adalah pengemudi yang baik.

Aku melewati lapangan parkir saat menuju gedung fakultasku. Dan ternyata firasat pertamaku benar, Mario keluar dari mobil sport Ferrari berwarna merah itu. Aku tidak menyangka ternyata yang mengemudi Ferrari itu dia. Aku masih berjalan perlahan, Mario terlihat seperti banyak masalah, dia terlihat begitu murung dan berjalan dengan sangat tidak bersemangat. Aku berlari menyusulnya dan menyentuh bahunya. "Hei ada apa?" tanyaku pada Mario. Dia terlihat sangat tidak sehat bibirnya pucat, dengan mata yang terlihat sayu. "Tidak ada apa-apa." ujarnya dingin sembari terus berjalan dan tidak mempedulikanku.

Ada apa dengannya, apa sekarang jiwa dingin Justin terdapat pada Mario, dan sekarang sikap ramah Mario ada pada Justin? Itu tentu hanya pemikiran bodoh yang tidak mungkin, tapi yang kulihat adalah jiwa mereka seperti benar benar tertukar. Kenapa sahabat yang sangat kusayangi lebih dari apapun, bersikap dingin padaku? "Mario kau kenapa?" tanyaku dengan lirih. Mario masih berjalan tanpa mempedulikanku sedikitpun, aku masih mengekor dibelakangnya. Lalu saat berada di lorong, sudah cukup aku melihatnya seperti ini. "Mario?! Kau dengar aku? Ada apa denganmu, kenapa kau mengacuhkanku?" tanyaku sembari menggenggam pergelangan tangannya.

Mario berhenti melangkah dan menatapku dengan tajam. "Kau tanyakan saja pada dirimu sendiri. Apa yang kau lakukan kemarin? Apa kau benar benar kembali untuk menemui senior Josh?" ujarnya dengan sangat kasar. Ya Tuhan apa yang kulakukan? Tidak semestinya aku berbohong pada Mario. Aku benar benar sudah mengecewakannya. Tapi aku berbohong padanya, hanya karena aku tidak ingin menyakitinya. Aku merasa sudah seharusnya aku merahasiakan kepergianku dengan Justin.

"Lihat. Kau tidak bisa menjawabnya bukan?" ujar Mario yang membuatku menunduk sedih. Mataku terasa begitu perih, tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku menatap Mario dengan air mata yang masih mengalir dikedua pipiku. "Aku tahu aku salah. Tidak semestinya aku berbohong padamu. Maafkan aku." ujarku pada Mario. Aku benar benar merasa bersalah padanya, aku tidak pantas menjadi sahabatnya lagi. "Aku tidak pantas menjadi sahabatmu Mario. Maafkan aku, aku sungguh menyesal." sambungku lalu aku menghapus air mata dipipiku dengan punggung tanganku lantas aku mulai melangkah pergi meninggalkan Mario.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang