Mega Mendung

99 0 0
                                    

Terisak dalam dinginnya sore. Rindu yang menguap. Sinar mentari senja yang tak menghangatkan.

Merintih kesakitan namun mencoba sekuat tenaga untuk tetap terlihat kuat. Lemah memang, diri yang terbalutkan rasa kecewa dan raga yang merindukan sesosok wanita yang menemani.

Kini, ia telah pergi.

Aku melihat ia berjalan meninggalkanku. Meninggalkan segenap rindu-cinta-pandangan-perhatian-kasih sayang.

Matanya yang sayu, basah dalam ingatan. Ia menangis menyesal, keadaan tak kembali, dan aku takut mengecewakan. Dalam bayang-bayangnya, hadir jiwanya yang mencoba merasuki semua pikiran. Akalku hilang. Tangisannya meledak dalam otak. Jiwa yang telah berhasil masuk, raga yang telah lenyap dalam pandangan.

Aku terdiam.

Aku berdiri diantara dua kubu yang berbeda, namun sama-sama mencintaiku. Ia adalah sosok orang tua dan kekasihku. Mereka berdua sangat ku cintai. Namun, semesta memang tak mengizinkan aku. "Aku harus memilih diantara kedua pilihan yang sulit aku tentukan." Kataku. Tatapannya, masih ingat betul. Ia menangis, memaksa menjawab "Aku memang sayang sama kamu, maafkan, memang kita harus jalan sendiri-sendiri." Dan ia mencoba menutup semuanya.

Aku hanya diam. Apakah aku salah? Apakah aku bisa memperbaiki semua ini? Apakah dia bisa diterima lagi? Kesalahan ini bisa diperbaiki kembali.

Hati ini terjerebab. Entah kepada siapa aku memihak.

"Aku mencintaimu, namun, aku tak mungkin menduakanmu." Kataku menjelaskan. Ia tahu; ia mau tidak mau harus pergi melupakan semua cinta-perhatian-kasih sayang-rindu-pandangan.

Ia tersedu sedan.

"Aku tetap milih untuk, alangkah baiknya kita berjalan sendiri-sendiri. Benar memang, aku yang selalu berbuat salah kepadamu." Ia mencoba mengingat penyesalannya.

"Aku cinta kamu." Kataku, dalam hati dan mulut ini.

Kami berpisah ketika senja sudah tak lagi terang. Ia menenggelamkan diri menuju malam, dan kami menenggelamkan diri menuju kegundahan hati.

"Maafkan aku." Kataku. "Aku berharap ini bisa di selesaikan. Namun," Ia menangis. Aku tak mampu meneruskan, namun, apakah ia akan kuat menerima ini semua?

"Aku menjelaskan kepadamu. Aku tidak sedang mencintai siapa pun. Ini bukan kejenuhan dalam diri. Ini memang benar adanya."

"Ucapkan maafku kepada orang tuamu."

"Kita memang salah paham. Aku sangat berharap untuk bisa memperbaiki ini semuanya."

"Aku tak tahu berada dimana posisi diriku ini. Menempatkan diri ini. Kepada siapa aku harus berdiri sendiri?" Katanya bertanya. Ia mengusap air matanya yang menetes perlahan. Matanya merah, kantung matanya membengkak. Suaranya terisak-isak. Ia mencoba menutup semuanya ini.

"Kita memang harus menentukan pilihan. Mungkin, perpisahan ini membuat kita semakin tahu," Katanya yang tak mampu menatapku. Aku menahan tangis sekuat-kuatnya. "Akan lebih baiknya, ada yang bisa menggantikanku. Membuatmu menjadi lebih dari ini. Menutup segala kekuranganmu."

"Kamu juga." Aku hanya diam.

Aku tahu betapa besarnya cintanya kepadaku. Aku masih teringat akan apa yang dia usahakan. Untuk membuat kembali rasa kepercayaanku sepenuhnya. Aku ingat ia sudah mulai meninggalkan semuanya.

Ia benar-benar mencintaiku.

"Aku telah berbuat kesalahan. Mengecewakan yang mempercayaiku. Bahkan yang mencintaiku," Katanya. "Bukti cintaku kepadamu. Benar. Aku harus memilih bukan? Kita akan jalan sendiri-sendiri."

Aku merasa ini seperti sinetron kebanyakan. Namun, bukan. Ini bukan drama.

Hingga malam ini, aku masih tak mempercayai itu semua; ia bukan lagi milikku. Sampai pada tujuan, yang dimana, aku mengkhawatirkan dia. Malam-malam yang panjang akan menghantuinya. Aku masih teringat ketika ia menangis. Aku masih teringat ketika ia meminta maaf berkali-kali, "Tak ada yang bisa aku lakukan, kecuali meminta maaf. Hanya itu." Dan itu ia ulang berkali-kali.

Sampai saat ini, malam yang panjang dan jiwanya yang merasuki pikiran. Rindu yang takkan ada lagi. Semua yang berawal berubah.

"Aku mencintaimu, namun aku takut menyakitimu." Kataku untuk menjelaskan.

Aku tak mau. Tak mau membuatnya kecewa lebih dalam. Ketika ia tahu aku harus mencari yang lain. Namun, aku juga tak mau berpisah. Kami masih saling mencintai-merindu-mengasihi.

"Tenang. Ini hanya sesaat. Takkan lagi kau merasakan kekecewaan. Takkan lagi kau merasakan kesedihan. Setiap perpisahan memang menyakitkan." Kataku dalam hati.

"Hingga suatu saat nanti, kamu akan menemukan diriku. Diriku yang lain. Yang akan lebih mengerti keadaanmu. Yang lebih mengerti tentang apa yang kamu rasakan. Yang akan lebih memperhatikan dirimu. Aku terlalu menghiraukanmu." Namun, ia tak tahu bahwa ketidak-peduliaanku adalah caraku memberikan perhatian yang lebih besar dari apapun.

"Dan mungkin, kamu juga akan menemukan apa yang kamu cari selama ini. Kita tidak diizinkan untuk meneruskan ini. Aku tahu. Aku mencintaimu, aku harus merelakan mu pergi. Maafkan aku." Dan kata maaf itu selalu menghiasi setiap perkataannya.

"Jangan pernah menyerah." Kataku mengingatkan.

"Kamu tahu bukan, aku bukan orang yang gampang menyerah? Namun, untuk hal ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku pasrah. Aku mencintaimu. Maafkan aku." Ia menangis.

Aku diam.

"Jangan pernah lupakan sholat. Mengaji juga. Ingat, setelah peristiwa ini, jangan menjadi lebih buruk. Jadilah lebih baik. Mungkin, ini adalah salah satu caramu untuk menjadi dewasa. Untuk mengembangkan diri. Belajar dari kesalahan yang terdahulu. Jangan di ulangi lagi. Jangan biarkan masalah ini terulang kembali di orang yang berbeda. Cukup kita saja yang mengalami hal ini."

Dan kami berpisah.

Dan pula disaat itu, aku melihat senyuman terakhirnya. Senyuman palsu, namun cukup memberikan bekas pada hati ini; aku takkan pernah melihat senyuman yang sama untuk kedua kalinya.

Ia berjalan meninggalkanku, ia berusaha tersenyum.

Hingga akhirnya aku melihat ia memacu motornya perlahan. Meninggalkan ku dalam sore yang indah. Ia pergi. Pergi dari pandanganku. Pergi dari kehidupanku. Pergi dari bayang-bayangku. Ia memberikanku bekas-bekas cintanya-setianya-kasih sayangnya-rindunya-perhatiannya. Ia pergi merelakanku. Aku masih menatapnya. Raganya yang pergi. Hanya raganya saja. Jiwanya tetap berada dalam diri ini. Dan tiba-tiba, gelap.

Aku seperti terhisap dalam lubang hitam. Gelap, tak ada apapun didalamnya.

Aku berjalan kembali. Kembali menatap tempat perpisahan kami berdua. "Tak seharusnya tempat seindah ini menjadi tempat perpisahan. Tempat seindah ini tak seharusnya membuat salah satu atau keduanya mengalami kekecewaan yang terdalam. Dan tempat seindah ini tak seharusnya membuat kami tenggelam dalam kesedihan. Aku sadar. Aku mencintainya dan merelakan apapun pilihannya.

Kita akan tumbuh. Tumbuh bersama dalam kesendirian. Tumbuh menjadi lebih baik, kataku dalam hati. Ini akan membuat kita berdua menjadi lebih dewasa. Lebih menghargai kehadiran seseorang dalam diri. Perjalanan kita masih panjang. Cinta takkan datang membawa batu, karna ia adalah kasih sayang yang tumbuh dengan kebiasaan.

Hingga akhirnya, aku harus merelakan. Mau tidak mau, aku harus tahu; ia sudah bukan lagi milikku, rindu ini bukan miliknya dan milikku, cinta ini bukan milik kita berdua. Perpisahan ini milik kita. Dan semoga, disuatu saat nanti. Kau akan menemukan seseorang yang bisa melebihi ku, yang lebih mencintaimu dan mengerti keadaanmu, yang akan memberikan perhatian yang lebih dari aku. Kita akan tetap tumbuh bersama dalam kesendirian. Kita tetap menjadi kita yang berjalan dalam bayang-bayang masa lalu. Kita akan tetap memiliki rasa cinta. Kita akan tetap saling mencintai. Kita akan tetap menyisakan sunyi. Kita akan tetap menyisakan perih. Kita akan menyisakan duri. Kita akan tetap lelah berpura-pura dalam sandiwara.

"Kau akan menemukan diriku yang lebih baik, suatu saat nanti." Dan aku tersenyum memandang kepergiannya dalam keramaian. Dan.

Kau tetap yang terbaik yang pernah aku miliki dalam hidupku. 

PutihWhere stories live. Discover now