Jadi, mau sampai kapan kau akan bertahan?
Mau berapa kali kau mencoba?
Kau tak ingin mencobanya untuk pergi?
Setidaknya, ia bisa bahagia, walau bukan kau penyebab kebahagiaannya
Jangan, jangan bertahan jika kau membawa sesuatu yang buruk!
"Aku harus pergi. Takkan mungkin aku disini, bertahan lama." Pikirku.
Germelap lampu-lampu jalanan, bangunan, di berbagai sudut kota Mojokerto, menjadi penghias di malam ini. Jalanan yang basah, tak membawaku pergi juga. Ia tetap setia basah, menunggu pagi menuju siang. Aku tak tahu harus bagaimana lagi, ketika yang kurasakan ini semakin lama semakin membuatku tersiksa. Sebuah rasa yang takkan pernah ku dapatkan, dari seseorang yang ku cintai.
Orang-orang berlalu-lalang. Berputar-putar pada jalanan yang hampir berbentuk bulat. Orang-orang beraktifitas, siang-malam. Tanpa mengenal kata letih, ia terus beraktifitas dan berinteraksi. Semakin lama, aku tersadarkan oleh tamparan seseorang, dia terus mengatakan bahwa takkan ada gunanya aku terus-menerus bertahan pada kondisi seperti ini. Aku manusia, aku bukan robot. Aku bisa merasakan sakit hati yang entah bagaimana itu bisa terjadi. Tak nampak, namun cukup membuat perih tubuh ini.
Aku menarik setiap ucapan yang sudah terlanjur keluar. Kini, aku tahu, bahwa itu bukanlah hal yang baik. Memang, baiknya aku melangkah pergi daripada aku bertahan dan membuat situasi semakin memburuk.
Aku teringat ketika ia berkunjung ke tanah majapahit ini. Tatapan matanya, rambutnya, bentuk tubuhnya, ucapannya, cara berbicaranya, suaranya, tertawanya, kini redup. Ia hilang.
Dan kini, yang tersisa hanya kenangan-kenangan yang menghantui perasaan ini. Ada sedikit rasa bersalah yang muncul dalam hatiku. Kini, ada perasaan yang susah dijelaskan, bagaimanapun juga.
Syair demi syair yang ku buat, tak berarti. Hanya ungkapan hati yang takkan pernah sampai terucap kepadanya. Yang selalu ku baca di tiap malam yang dingin, yang selalu ku baca ketika aku mengingat kehadirannya di setiap malam-malam yang panjang.
Aku mencoba mempelajari arti dari kematian
Orang-orang menyebutnya; kematian yang tak dikehendaki
Tapi, apa itu 'mati'?
Yang ku ketahui adalah ketika aku merindukanmu
Aku telah mati dalam kesepian
Aku berdiri, mempersiapkan semuanya
Syair-syair untuk meluluhkan hatimu
Syair-syair untuk mengingat bahwa ku mencintaimu
Ku hapus, semua air mata ini yang mengalir
Ketika, kenangan itu mengingatkan kembali
"Lakukan itu semua demi kebaikannya. Hingga kalian berdua, bisa berteman kembali, tanpa takut lagi ada sesuatu yang kalian bawa." Kata kawanku.
***
Kini, aku juga semakin tahu, apa yang terbaik bagiku. Mungkin, jika saja ia tahu, ia akan meninggalkanku dengan alasan, "Aku tak mau menyakitimu lagi, maafkan aku." Namun, bukan, bukan dia yang salah. Bukan juga cinta yang salah. Akulah yang salah. Atas semua kondisi ini, aku hanya bisa berkata. Maaf.
Kini, aku mencoba melihat pada diriku sendiri. Aku sudah mulai pucat pasi. Terlalu banyak aku mendengar nama-namanya. Terlalu banyak aku lelah. Hingga aku hampir setiap malam, mencoba menggapai bulan purnama. Untuk ku simpan. Untuk menyinari hati yang gelap, walau siang hari melanda. Aku seorang lelaki pemalu. Malu untuk mengungkapkan perasaan. Malu untuk merasa bersalah. Malu untuk memulai. Malu untuk mengetahui jawaban dari setiap jawaban yang akan aku dengar.
Sekarang, aku tak perlu lagi berpura-pura.
"Aku akan pergi." Kataku kepada kawanku.
"Kau siap? Kau sudah merelakannya?"
"Sudah."
"Tanpa membawa harapan untuk ia akan menengokmu kembali?"
"Takkan. Aku takkan membawa harapan."
"Kau yakin dengan semua ini?"
"Iya. Aku akan pergi meninggalkannya, demi kebahagiaan. Aku takkan kuasa melihatnya bersedih hati. Biarkan ia tersenyum bahagia. Tertawa. Aku hanya ingin mengembalikan senyumannya yang kini sudah mulai redup."
"Kau akan bertahan dengan semua ini?"
"Iya. Aku akan bertahan. Takkan mencoba untuk kembali."
"Kau sudah pikirkan semuanya?"
"Sudah. Kini, aku takkan lagi mementingkan egosentrisme ku. Aku akan lebih menuruti akal daripada egosentrismeku."
"Kau tahu cinta takkan pernah yang berakal?"
"Iya, namun, sampai kapan aku akan menjadi orang yang dungu? Bodoh terhadap masalah ini. Tidak, aku harus pergi."
Dan malam-malam yang panjang nanti, kan ku siapkan semuanya. Untuk memulai sesuatu yang baru. Meninggalkan rumah kecil yang ku harap, ia adalah penghuni kedua setelah diriku. Ku tinggalkan rumah itu, untuk menjadi kosong, walau aku masih belum siap untuk menghancurkannya. Mungkin, jika masih ada waktu, aku akan mencoba kembali ke rumah itu. Bukan untuk singgah. Namun untuk melihat-lihat keadaan rumah itu.
Kulakukan semua ini demi dirinya. Untukmu, yang tak pernah ku miliki.
YOU ARE READING
Putih
Short StoryPandangannya kini telah berubah. Iya, akulah penyebabnya. Bibir manisnya kini telah hilang. Pelangi di matanya kini telah lenyap mentah-mentah. Aku melihat; hilangnya keceriaan dirinya di hadapanku. Dia adalah; Nadya ku