Jingga

21 0 0
                                    


Kata siapa setiap kali kita mencintai akan terasa indah?

Bagiku, tidak sama sekali

Aku yang hanya bisa merasakan setiap kali merindu

Merasakan kejenuhan tiada akhir

Hingga aku takkan mau lagi merindu


"Dan kau akan tahu, bahwa takkan ada yang tersisa lagi hingga aku berhenti untuk merindukan yang tak nyata." Kata Butang Kebo dengan meminum sebotol teh yang dingin yang ia beli di supermarket.

Siti duduk, dengan pandangan sayu, menatap pura yang berdiri kokoh yang sedang diterjang ombak lautan. Kini, pandangannya tak sekokoh pura yang berdiri itu.

"Indah ya?" Katanya.

"Iya. Memang indah." Balas Butang Kebo.

Mereka berdua terdiam sangat lama. Butang Kebo tak tahu harus memulai ini semua bagaimana. Ia, yang selalu setia menantinya itu, kini memilih untuk pergi. Mana mungkin akan ku katakan kepadanya, kata Butang Kebo.

"Tanah Lot. Iya, ia memberikan kepada kita keindahan tanpa batas. Surga dunia, mungkin. Takkan terlupakan, bisa jadi." Kata Siti. Siti yang terdiam kembali, bisa merasakan bahwa situasi yang ia hadapi takkan pernah membaik. Diantara Siti dan Butang Kebo dan Anggoro Angin, kekasih Siti.

"Indah. Namun takkan membuat cintaku ini indah. Seindah-indahnya Tanah Lot, takkan bisa merubah kondisi yang aku alami." Kata Butang Kebo.

"Kau percaya keajaiban?" Tanya Siti. Rambut Siti yang sedikit berwarna merah itu, terhempas tak berdaya di dera angin lautan. Mata Siti yang cokelat itu, yang selalu di puja oleh Butang Kebo bahwa itu mata terbaik dan terindah yang pernah ia lihat seumur hidupnya, terus menatap pura itu dari ketinggian. Kosong, begitulah yang di lihat oleh Butang Kebo. Butang Kebo tak percaya, ia akan segera memisahkan kehidupannya terhadap Siti. Berjalan dan mencari kembali orang yang mau menerima cintanya. Yang mau mencintai setulus mungkin. Air mata Butang Kebo ingin keluar, namun ia menahannya sekuat mungkin. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Siti, wanita yang ia cintai itu. Namun, Siti juga tak mampu menahan air mata itu, matanya terlihat meneteskan air mata.

Siti menangis dan Butang Kebo menyesal.

"Aku tak pernah mengharapkan ini akan terjadi. Sebuah tangisan di tempat yang indah."

"Namun ia keluar dengan sendirinya."

"Aku tahu."

"Inilah yang kurasakan."

"Apa yang kau rasakan?"

"Aku merasa bersalah atas apa yang aku lakukan."

"Kau tak salah.

"Aku telah membuatmu nyaman." Dan Butang Kebo berhenti berkata. Seketika, ia merasakan tubuhnya musnah. Yang ia sesali adalah, mengapa ada perasaan di antara hubungan persahabatannya dengan Siti. Hanya itu, dan itu bukan salah Siti. Bukan salah Siti.

"Kata orang, Tanah Lot menjanjikan keindahan? Tapi mengapa aku menangis di tempat ini?" Kata Siti.

Butang Kebo hanya diam. Ia tahu, ia salah. Ia harus memperbaiki ini semua. Hubungannya dengan Siti, dan hubungan Siti dengan Anggoro Angin.

"Aku akan pergi."

"Kemana?"

"Pergi dari kehidupanmu."

"Setelah apa yang terjadi?"

"Iya. Aku pergi."

"Dan semuanya yang telah hancur?"

"Iya, itulah alasannya aku mengajakmu kesini. Aku akan pergi."

"Dan kau pergi ketika semuanya sudah hancur? Percuma." Butang Kebo terdiam. Benar kata Siti. Semuanya sudah hancur, dan terlambat ia untuk melangkah pergi.

"Lantas? Apa yang kau inginkan saat ini?" Kata Butang Kebo. Rupanya, pertanyaan itu membuat Siti semakin menangis.

Rasa bersalah Butang Kebo kini semakin bertambah.

"Aku tetap pergi."

"Masih seperti dulu."

"Apa maksudmu?"

"Keras kepala." Kata Siti dengan tersenyum. Raut wajahnya berubah.

"Lantas?" Tanya Butang Kebo terhadap Siti. Rupanya, Butang Kebo tak paham apa yang dimaksudkan oleh Siti kepadanya. Siti, wanita yang dicintainya itu, suka akan keras kepalanya Butang Kebo. Butang Kebo yang merasa, bahwa keras kepalanya ini banyak membuat orang lain tak suka kepadanya, namun, berbeda dengan Siti. Siti suka akan keras kepalanya, ia suka akan watak yang dimiliki oleh si Butang Kebo.

Hingga akhirnya, angin berhembus perlahan itu, matahari sudah mulai meredupkan diri. Menandakan bahwa akan berganti hari. Tanah Lot mulai sepi. Orang-orang berpergian, pulang entah untuk berwisata di tempat lain atau kembali ke tempat istirahat. Butang Kebo dan Siti mulai menyadari itu. Siti tak kuasa mendengarkan apa yang akan di katakan oleh Butang Kebo. Butang Kebo pun tak siap untuk mengatakan hal itu. Namun, Butang Kebo tahu betul. Kehadirannya akan mengganggu kehidupan Siti dan Anggoro Angin. Ia tak ingin merusak hubungan orang lain. Ia takkan melakukan itu dan ia akan pergi, walau Siti melarangnya, ia tetap akan pergi.

Orang-orang datang dan pergi. Sili berganti. Seperti itulah yang dirasakan oleh Butang Kebo. Akan ada cinta dan rindu. Akan ada hati yang terluka. Akan ada senang. Akan ada sedih dan itulah yang Butang Kebo maksudkan. Dua hal ini seperti hukum sosial; orang-orang berdatangan dan pergi. Seperti Tanah Lot ini, orang-orang datang berkunjung dan pergi untuk melanjutkan perjalanannya.

Akhirnya, Butang Kebo mengatakan bahwa ia harus pergi. Walau situasi sudah hancur remuk, walau akan ada hati yang terluka, ia tetap pergi. Walau ia merelakan hatinya remuk dan hancur, ia tetap harus pergi. Walau Siti menangis dalam keindahan Tanah Lot, ia tetap harus pergi. Takkan ada alasan baginya untuk bertahan. Bahkan untuk tinggal sekaligus. Ia tetap akan pergi. Takkan ada alasan yang cukup kuat untuk membuatnya takkan pergi.

Siti menangis, dalam tangisannya, dalam desiran ombak lautan, dalam buih-buih lautan, dalam keheningan di senja terakhir itu. Butang Kebo takkan meninggalkan Siti menangis sendirian. Ia akan terus menemani Siti, hingga tetes terakhir dari air matanya. Hingga pipinya kering. Hingga matanya tak lagi mengeluarkan air.

Siti berdiri, meninggalkan Butang Kebo sendirian di Tanah Lot. Butang Kebo takkan mengejar Siti. Ia tahu, ia sudah mengatakan bahwa ia pergi. Meninggalkan Siti. Meninggalkan demi kebahagiaan Siti dan Anggoro Angin.

Kini, Butang Kebo hanya berkawan dengan sebatang Gudang Garamnya di langit yang berwarna jingga. 

PutihWhere stories live. Discover now