Kami duduk di sebuah bangku di depan kantor Walikota Mojokerto. Di bawah pohon yang entah apa itu namanya. Pemandangan ruas jalan yang menghiasi situasi kami. Kami tidak sedang duduk berhadapan selayaknya anak pacaran. Kami duduk dengan masing-masing memandang jalanan yang ramai.
Dia, wanita yang kucintai. Ia duduk disampingku, dengan wajahnya yang tak lagi cerah. Kusam. Bukan debu jalanan penyebabnya. Aku penyebabnya.
Wanita itu diam. Bukan karena kita tak saling kenal, namun ia sulit untuk memulai percakapan ini. Ia bingung harus berawal dari mana.
"Jadi," Katanya membuka perbincangan.
"Jadi, bagaimana?" Jawabku. Bukan. Lebih tepatnya aku mempertanyakan apa yang dimaksudkan ini.
"Kau masih tetap mencintaiku?" Katanya. Ia mempertanyakan cinta kepadaku.
Dia adalah wanita yang kucintai. Mungkin, cinta yang terlarang, menurut lagu-lagu yang beredar di kebanyakan masyarakat. Atau, bahasa melankolisnya seperti itu.
"Iya. Kenapa?"
"Kau tahu kan? Bagaimananya aku saat ini?"
"Kenapa?" Lalu dia diam. Aku pun demikian. Ia menghela nafasnya. "Kau masih tetap mencintaiku? Dengan apa yang sedang aku jalani saat ini?"
"Karena mencintaimu adalah hak ku."
"Memang benar adanya." Dia pasrah. Dia diam. Aku juga diam.
"Apapun itu, bagaimana situasi dan apa yang sedang kau jalani saat ini, aku tetap mencintaimu."
"Kau siap dengan konsekuensinya?" Dia mulai merubah posisinya. Ia menghadapku dan menatapku. Aku menggangguk dan tersenyum pasti. "Iya!" Ia kembali diam, kembali ke posisi semula, dan menghela nafasnya.
"Keras kepala ya?" Tanyanya. Aku hanya tersenyum. Kami berada dalam keheningan yang cukup panjang. Cukup membosankan dan cukup membuatku takut akan situasi ini berubah.
"Relativitas. Iya. Aku hidup dan mencintaimu dengan probabilitas."
"Sudah kau perhitungkan setiap kemungkinan-kemungkinan yang sedang terjadi saat ini?"
"Sudah." Ia menghela nafasnya kembali. Ia pasrah dengan apa yang sedang dia hadapi. Dengan kemauan kuatku akan memilikinya.
"Tapi kau tahu kan, bahwa aku sudah memiliki seorang kekasih?"
"Apakah kekasihmu menafkahi lahir batin? Menafkahi segala kebutuhanmu?"
"Kau siap menafkahiku?"
"Karena itulah aku mencintaimu," Kini aku menatapnya. "Kau orang yang beragama bukan? Bukannya agama melarangmu untuk berpacaran?" Dia diam. Aku melanjutkan kembali "Aku mencintaimu, namun aku tak ingin menjadikan mu sebagai kekasihku." Aku mencoba menjelaskannya.
"Lantas? Untuk apa kau mencintaiku jika kau tak ingin aku menjadi kekasihmu?"
"Apakah mencintaimu harus menjadi kekasihmu? Aku hanya ingin menjadi pasangan halalmu." Jawabku.
Dia semakin diam.
"Apapun itu," Aku diam. Dia menatapku. Aku tak yakin melanjutkan kembali.
"Aku mencintaimu. Biarkan itu menjadi urusanku. Kau mencintaiku atau tidak, itu urusanmu."
"Karena aku terlalu takut membuatmu kecewa."
"Kau tak mencintaiku pun, itu menjadi hakmu. Biarkan kita mengurusi hak kita masing-masing."
"Aku juga tak pernah tak memperjuangkanmu. Mungkin aku ada juga rasa yang sama. Namun aku kembali mengingat. Aku kekasih orang."
"Biarkan itu berjalan apa adanya. Biarkan apa yang sedang kau jalani." Aku mencoba meyakinkan dia.
"Namun aku takut membuatmu kecewa terlalu dalam."
"Siap mencintai, siap pula kecewa." Dan kami berdua diam.
"Kita adalah sesuatu yang belum menjadi 'kita'."
Dia diam. Dalam keramaian di ujung jalan. Semakin lama, jalanan ramai, namun kita masih sunyi. Kendaraan melewati kita begitu saja. Melewati bagian-bagian dan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Selama ini, aku memang mencintai dia dalam bayang-bayang. Dalam diam. Dan dalam ketakutan.
"Aku tak ingin, ketika kau tahu akan hal ini, merusak segalanya. Merusak yang sudah kita jalani saat ini. Aku teman dekatmu. Aku temanmu yang juga terjerebab dalam cinta."
"Itu tulus?"
"Karena aku tak ingin menjadikan mu sebagai kekasih."
"Lalu, untuk." Dan aku memotong perkataannya. "Dan aku memilih ini, membiarkanmu bebas berkelana, kemana saja dan apapun yang ingin kau lakukan. Seperti itu, aku tidak menganggapmu dan menjadikanmu kekasih ataupun pacar. Aku akan memberikan mu janur kuning yang akan kupasang di jari manismu."
"Tapi, apakah kau yakin aku mau melakukan hal itu? Akankah kau yakin bahwa aku mengizinkanmu untuk melakukan itu?"
"Sudah ku bilang sejak awal. Biarkan itu menjadi urusanmu. Kau punya hak yang dimana aku tidak punya otoritas untuk memaksa. Cinta bukan suatu paksaan."
"Perkaranya adalah," Dia menghela nafas kembali. Benar-benar pasrah akan keadaan.
"Kau kekasih orang. Lantas? Akankah itu menjadi perkara? Aku tahu, kau lebih mencintainya daripada aku. Mungkin, aku tidak juga kau cintai. Lalu, dimana kah perkaranya? Selama kekasihmu tidak menutupmu, memasangkan sebuah cincin emas yang indah di jari manismu, kau masih belum sepenuhnya dimilikinya. Dalam hal ini, dia hanya dua puluh lima persen memiliki mu. Tujuh puluh lima persen aku masih bisa memilikimu."
"Kau benar-benar keras kepala ya? Kepala batu lebih tepatnya."
Dan kami diam.
Kami diam bukan karena tidak ada yang akan dibahas. Namun, lebih tepatnya kami terjebak dalam suatu perkara.
Aku diam dan teringat akan yang sudah terjadi sebelum ini terjadi. Kami berdua sering berjalan bersama. Bertukar pikiran. Bercanda dan tertawa sepanjang hari. Hari demi hari kami habiskan bersama, dalam keceriaan, tangisan, emosional. Bersama juga telah kami habiskan untuk belajar, membicarakan orang yang terkadang itu konyol. Hal konyol yang sering kami lewati bersama, kini tak lagi kita lewati. Tatapan manisnya hilang. Ia tahu itu, sejak aku mengungkapkan rasa ini kepadanya. Candanya musnah, sejak ia tahu bahwa aku mencintainya. Kini, yang aku hadapi hanyalah seorang wanita yang pasrah dan bingung akan keadaan. Aku pun demikian, Nad.
"Akulah Entang Kosasih yang sedang mencari O." Kataku dengan wajah melamun.
"Eka Kurniawan," Jawabnya. Ia juga berekspresi melamun. "Semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing, dimakannya semua daging." Katanya. Aku tersenyum.
"Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia." Jawabku.
"Iya," Ia memandangiku. "Tapi. Kau lebih mirip gamelan. Gamelan tidak pernah bersorak-sorai; sekalipun di dalam pesta yang paling gila pun, dia terdengar sayu dalam nyanyiannya."
"Panggil Aku Kartini Saja." Dan kami tersenyum.
"Kau menyamakan aku dengan gamelan?" Tanyaku. Dia hanya tersenyum, "Karena kau orangnya kalem dan tenang." Jawabnya malu.
"Kita akan tetap menjadi kita. Sebagaimananya yang terdahulu pernah terjadi. Kita akan tetap menjadi kita yang saat ini, walaupun kau telah mengerti apa yang sudah terjadi; aku mencintaimu. Bukan menjadi halangan untuk kita merubah kita. Tidak. Tetap akan menjadi kita, walau kau sedang menjalani sesuatu. Seperti halnya relativitas. Ditemukan untuk menjawab semua misteri semesta, relativitas tetap menjadi relativitas walaupun rumusan E = M.c2 digunakan untuk menyempurnakan atom nuklir. Tidak masalah bagiku, aku bisa melewati hal-hal seperti ini. Hakmu adalah menghargai hakku, sebagaimana sebaliknya," Kataku. "A true relationship is having someone who accepts your past, support your present, loves you and encourages your future." Dia terdiam. Aku menatapnya dan tersenyum, "The best thing in life is finding someone who knows all your flaws, mistakes, and weakness and still thinks you're completely amazing." Kataku. Dia tersenyum, aku juga tersenyum.
Dan kami berdua tersenyum bahagia.
YOU ARE READING
Putih
Short StoryPandangannya kini telah berubah. Iya, akulah penyebabnya. Bibir manisnya kini telah hilang. Pelangi di matanya kini telah lenyap mentah-mentah. Aku melihat; hilangnya keceriaan dirinya di hadapanku. Dia adalah; Nadya ku