Asap menghiasi ruangan. Ia duduk dengan santainya, di penghujung siang menuju malam. Ia tampak tak meresahkan apapun. Kakek tua yang duduk sendiri, dalam bayang-bayang masa lalu.
Wajahnya yang keriput, derasnya keringat yang mengucur, badannya yang kurus kering, kulitnya yang coklat kehitaman, rambutnya yang memutih. Ay, ay, ay. Alangkah sedihnya kita kelak akan seperti ia.
Ia hisap cangklong tua yang ia pegang teguh itu. Bermodal kan korek api dan tembakau yang ia masukan dalam cangklong itu, ia mulai menyalakan korek api. Pemantik yang pas untuk cangklong tuanya. Tak banyak yang menyadari bahwa ia tinggal sendirian. Kehidupan yang orang lihat, penuh kehampaan. Ia tak memiliki sanak saudara. Sama sekali. Ia anak tunggal. Istrinya anak tunggal. Tak punya anak. Umurnya yang mencapai kepala delapan. Namun, tampak santai ketika ia menikmati cangklong tua yang ia pegang itu. Ia mulai menghisap tembakau yang terbakar api. Sore yang tenang bagi kakek itu.
Tak banyak orang yang tahu apa tentang dirinya. Sekilas, kakek tua ini sangat misterius. Ia pula tak nampak bersahabat dengan lingkungannya. Rumah kayu yang ia tempati, sangat jauh dari kampung-kampung. Butuh jarak dua puluh lima kilometer untuk bisa bertemu perkampungan. Rumahnya yang terpelosok, seperti mengisolasikan diri terhadap lingkungan. Tak juga ia merasa resah dengan kesepiannya. Ia sangat menikmati kesendirian ini.
Cangklong tua tampak sebagai sahabat hidupnya. Dalam matanya yang sayu, ia mulai membuka semua masa lalunya. Bagaimana ia mengarungi kerasnya kehidupan bersama istri tercintanya. Bercocok tanam di halaman belakang, yang kini hanya berisikan rumput-rumput liar. Sudah lama ia tak mengurusi tanahnya. Ia hisap lagi cangklong tuanya.
Cangklong tua yang selalu menemaninya. Terlihat dari cara ia memegangnya. Penuh kecintaan yang ia turahkan kepada cangklong tua itu. Ia selalu terbawa, tak pernah sedikitpun kakek tua itu membiarkan cangklong tuanya terkoyak-koyak sepi. Ia bawa ketika ia pergi ke pasar bersama istrinya. Ia bawa ke sawah untuk bertani. Ia bawa bersantai ria di sore hari. Ia bawa ketika menjumpai orang-orang. Ia bawa ketika agresi militer Belanda kedua. Ia bawa berjuang bersama mengarungi kehidupan. Ia penuh makna.
Cangklong tua itu menjadi saksi atas kehidupan kakek tua itu. Cangklong itu menyaksikan ketika istrinya membuang mayat anak kecil di belakang sawahnya. Cangklong tua itu pun menjadi saksi ketika istrinya tewas terbunuh. Orang-orang kampung yang sampai sekarang tak pernah menemukan siapakah yang membunuh istri dari kakek tua yang malang itu.
Cangklong itu pun pernah menyaksikan betapa menyakitkannya ketika ia berjuang demi kemerdekaan. Cangklong tua oh cangklong tua. Kau takkan membuat kakek tua itu kesepian.
Kakek tua itu memandang cangklongnya, ia hisap dan tak melihat asap disana. Ia melihat ke lubang itu, tembakaunya habis terbakar. Hingga akhirnya, kakek tua itu meletakkan cangklong tua yang telah menemaninya menikmati sore yang indah. Ia meletakkan cangklong tua itu di atas meja, dan beranjak pergi untuk beristirahat. Kini, cangklong tua itu mulai kesepian. Malam-malam yang panjang akan menghampirinya. Terkoyak habis dalam kesepian.
Orang-orang kampung tahu betul, cangklong tua itu telah mengusir sepinya. Sunyinya kehidupan kakek tua tersebut. Cangklong tua itu tahu, orang-orang mempercayainya untuk bisa menemani kakek tua itu. Namun, ada sedikit ketakutan yang ia hadapi, yang orang lain takkan ada yang tahu. Hanya cangklong tua yang bisa merasakan. Terlalu banyak peristiwa yang ia hadapi bersama kakek tua. Banyak sekali kenangan yang manis serta menyakitkan yang ia lihat. Terlalu banyak, kalau seandainya cangklong tua itu bisa berbicara.
Hingga akhirnya, cangklong tua itu pun termakan sepi. Malam telah tiba. Gelap menyusul menghantui.
Pagi datang, sinar mentari yang menyinari gelapnya cangklong tua itu. Warnanya yang gelap dan penuh goresan, kini harus siap untuk di gigit dan di pakainya untuk membakar tembakau.
Kakek tua itu memandang cangklong tua. Pandangannya tak teralihkan. Terus ia memandangi cangklong tua yang mulai mengeluarkan asap. Ia melihat, seakan berucap terima kasih atas apa yang terjadi dalam hidup kakek tua itu. Ia melihat dengan pandangan penuh makna. Tak terlintas sedikitpun rasa kesepian. Cangklong tua itu pun seakan memandang kembali kakek tua itu. Ia tahu. Tahu betul apa yang akan kakek tua itu lakukan. Ia tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena, ia telah melihat kejadian yang orang lain tak tahu: kakek tua itu menusukkan pisau tepat di jantung anak kecil itu. Dan kakek tua itu juga telah menusukkan pisau tepat di jantung dan paru-paru istrinya. Kini, ia telah siap dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Hingga akhirnya, kakek tua itu berdiri dan mengambil beberapa alat. Di pukul lah cangklong tua itu hingga hancur remuk. Dan, itulah yang terjadi pada cangklong tua.
YOU ARE READING
Putih
Short StoryPandangannya kini telah berubah. Iya, akulah penyebabnya. Bibir manisnya kini telah hilang. Pelangi di matanya kini telah lenyap mentah-mentah. Aku melihat; hilangnya keceriaan dirinya di hadapanku. Dia adalah; Nadya ku