Part 3

3.4K 100 11
                                    


Di kelas jam 1 siang, aku masuk. Entah ada angin apa kok aku masuk kelas. Mungkin bosan juga kalo nongkrong di kantin terus. Di kelas ini, aku sekelas dengan Ronny dan Andhika. Akan tetapi mereka lebih suka duduk di belakang. Mungkin biar dikira mahasiswa berandal, padahal memang. Aku suka duduk di depan bukan karena biar tidak dikira berandal, aku hanya suka. Aku duduk di bagian tengah, duduk di antara dua mahasiswi, sudah kukenal mereka. Yang satu namanya Dinda, yang satu namanya Putri.

Dinda memakai jilbab, Putri tidak, tetapi keduanya beragama Islam. Menurutku, Dinda lebih cantik dari Putri. Bukan karena Putri tidak memakai jilbab, jadi tidak lebih cantik. Tetapi Dinda memang lebih cantik, jilbab bagiku tidak menyembunyikan kecantikan, melainkan melindunginya. Namun, Putri lebih pintar dari Dinda. Kukenal Putri sedari semester 1, memang pintar dia. Tetapi Dinda juga pintar sepertinya, namun aku baru kenal dia di kelas ini.

Di kelas ini, kami diajar oleh dosen yang bisa dikatakan kurang asyik, namanya Bu Latifa, anak-anak panggil dia Bu Lat. Kebetulan memang bulat (gendut). Aku tidak ikut-ikutan panggil begitu. Aku panggil lengkap saja, Bu Latifa. Kadang-kadang, Bunda. Biar akrab.

Waktu itu kami lagi belajar. Bu Latifa menerangkan, kami mendengar. Tidak semua mendengarkan sih. Mungkin di belakang Ronny dan Andhika lagi ngobrolin MU yang semalam menang lawan West Ham. Aku mendengarkan Bu Latifa menerangkan, sambil menahan kantuk. Aku kurang tidur karena menonton bola semalam. Liverpool kalah dan aku sedih.

Lagi kusimak Bu Latifa, aku merasa ada yang memanggil. "Josh, Josh!" Kucari sumber suara itu, suara perempuan. Sumber suara itu dari luar kelas. Kutengok, oh ya ampun itu Leona. Berdiri bersama Fajar dan Benny di dekat pintu kelas yang terbuka setengah. Pas aku menoleh, dia dadah-dadah. Apaan sih. Fajar dan Benny juga dadah-dadah, tetapi yang mengganggu lambaian tangannya cuma Leona. Habis dadah-dadah, Leona kecup tangannya, lalu ditiup ke arahku. Semacam norak. Apaan sih, dalam hatiku.

"Bang Ganteng, duduknya di depan banget?" Kata Fajar meledekiku dari balik pintu.
"Bu! Ronny sama Andhika ngobrol, Bu!" Jahil Benny juga.

Mendengar ketololan mereka, Bu Latifa langsung menutup pintu kelas rapat-rapat. Saat itu mereka malah cekikikan, bukannya malu.

Satu jam kami belajar, padahal semestinya 2 jam. Bu Latifa katanya ada perlu, jadi kelas berakhir dengan cepat. Harusnya mahasiswa protes, merasa rugi. Tetapi tidak justru, malah merasa senang. Begitulah mahasiswa di kampusku, dikorupsi waktu belajarnya, tetapi malah hore-hore. Di kampusmu begitu juga, nggak?

"Ke mana nih? Kantin?" Tanya aku ke Ronny dan Andhika.
"Bosen nggak sih, di kantin? Pengap di situ." Andhika berkomentar.
"Di lobby psikologi aja yuk, nongkrong sambil cuci mata." Ide Ronny.
"Anak-anak di mana?" Tanyaku.
"Mereka di situ, tadi BBM, suruh ke situ."
BBM itu maksudnya Blackberry Messenger. Zaman itu canggih sekali kalau HP-nya Blackberry. Aku belum punya, cuma aku yang belum. Sedih juga, tapi ya sudah.

Kami lalu beranjak ke lobby gedung Fakultas Psikologi. Kami yang anak Fikom, memang lebih suka nongkrong di Psikologi. Cewek-ceweknya lebih cantik katanya daripada cewek Fikom.

Sesampainya kami di lobby gedung Fakultas Psikologi, nampak sudah ada Fajar, Benny, Robbie, Leona, dan satu orang cewek yang aku lupa namanya, dia pacarnya Robbie. Aku, Ronny, Andhika menghampiri mereka, ikut ngedeprok.
Ngedeprok itu semacam duduk selonjoran bareng di lantai.

"Eh, Jar, Nicky katanya cemburu?" Kataku, langsung buka topik.
"Hahaha.. iya, katanya. Tapi udah gue bilangin kok." Jawab Fajar.
"Kenapa nih, kenapa nih?" Ronny mau tahu.
"Ih, Ronny kepo!" Kata Leona.
"Gue sama Leona balik bareng kemaren, Nicky cembokur." Jawabku.
"Cewek mana juga yang pulang sama lo, pacarnya cemburu, Brur!" Ledek Ronny.
"Iya sih." Kataku, PD. Percaya diri maksudnya.
"Terus Nicky bilang apa?" Andhika ikutan kepo.
"Udah kok, udah santai dia." Jawab Fajar.

Baguslah, nggak harus menjadi masalah memang. Aku rasa Fajar cukup baik dan netral menjelaskan apa yang terjadi. Tetapi ada yang belum Fajar jelaskan. Dia tidak akan menjelaskan karena dia tidak tahu. Yang tahu cuma aku dan Leona. Dan Tuhan. Dan setan barangkali, mana tahu nguping.

Fajar, Benny, Andhika, Robbie, Ronny, semua belum tahu kalau semalam Leona dan aku berbicara ditelepon berjam-jam, dan Leona membuat pengakuan kalau dia suka sama aku. Belum pada tahu mereka. Harus kukasih tahu? Tak usah kukasih tahu. Nanti juga mereka ngeh sendiri, secara Leona, mana dia jago pura-pura. Tadi saja, belum apa-apa sudah kiss-kiss dari jauh. Cewek lebay!

"Leona masih ada kelas?" Tanyaku.
"Nggak, udah nggak ada. Kenapa emang, Josh? Mau pulang bareng lagi?" Jawabnya.
"Zzzz...." Reaksiku, sebel.
"Ih Nana nggak mau pulang bareng lagi sama Josh." Ujar Leona, bikin tambah sebel.
"Idih." Kataku.
"Hahaha, emang kenapa?" Tanya Fajar, barangkali Leona punya punchline.
"Takut jatuh cinta." Kata Leona.
"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA... ADUIN NICKY AH.... HAHAHA..." Fajar tertawa.
"Ih, Fajar. Nana bercanda!" Leona panik.
"Nggak, itu jujur. Jatuh cinta sama gue itu hal mudah." Kataku, iseng.
"PRET, JOSH!" Leona semakin panik.
"HAHAHAHAHAHAHA..." Kami semua tertawa.

Aku punya satu jurus, ini semacam mengagalkan orang jatuh cinta kepada kita. Caranya, bersikaplah kepedean. Puji diri sebanyak-banyaknya, bikin orang kelihatan bodoh karena jatuh cinta kepadamu. Niscaya orang itu timbul rasa gengsi, dan menyesali dirinya yang jatuh cinta. Orang itu akan menjadi sebal kepada kita, ilfeel bahasa gaulnya. Dan kau tahu? Ke Leona itu tidak berhasil.

Malamnya, sepulang dari kampus, Leona telepon lagi.

"Halo? Josh?"
"Apa?"
"Ih, jawab kek, assalamualaikum gitu."
"Ada juga situ yang ngucap salam duluan."
"Oh, iya lupa. Yaudah ulang. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
"Hihihihihii....."
"........"
"Josh..."
"Apa?"
"Josh tuh nonmuslim, ya?"
"Iya."
"Kok mau jawab assalamualaikum?"
"Ya nggak apa."
"Emang nggak dosa?"
"Nggak sih, kayaknya."
"Oh gitu.."
"Iya.... ini nelepon ada apa, Le?"
"Ummm.. kangen ajah."
"PRET!"
"Ih, parah banget sih Josh, orang kangen di-pret-in."
"Zzzzz.... Belom udah-udah nih, suka sama guenya?"
"Belom."
"Zzzzzzz..."
"Kenapa, Sayang?"
"SAYAAAAANG???"
"HAHAHAHAHAHAHAHAHA.... GITU AMAT REAKSINYA!"
"Siapa elu, panggil-panggil Sayang?"
"Oh iya ya, bukan siapa-siapa. Hehehe..."
"Nah, tuh nyadar."
"Ih, galak banget sih, Josh."
"Bukan galak. Cuma ngebilangin."
"Iya, iya... Nana ngerti. Yaudah sih!"
"Dibilangin malah yaudah sih!"
"Iyaaaaaaaaaa....."
"Zzzzzzz..."
"Josh..."
"Hmm?"
"Josh nggak kangen Nana, ya?"
"........"
"Josh.."
"Apeeeeee??"
"Nggak kangen?"
"Nggak."
"Nggak apa, Josh. Kangen kan nggak harus dibales, ya."
"Nah, tuh nyadar."
"Iya, Nana nyadar kok."
"Nyadar apa?"
"Kalo denger suara Josh aja udah cukup. Kangen cuma butuh suara, ketemu, nggak butuh dibales kok."
"Emang gitu, ya?"
"Iya."
"Yaudah kalo udah tahu."
"Hehe..."
"Hehe..."
"Hehe..."
"Udahan ya, Le, teleponnya."
"Emang Josh mau ngapain?"
"Udah aja. Emang nggak boleh udah?"
"Boleh, boleh."
"Okaaay."

Aku tutup teleponnya.

Sehabis bicara ditelepon dengan Leona, aku masuk kamar. Aku baca buku, judulnya Dunia Sophie. Aku sudah baca sampai halaman 187, ini mau kulanjutkan.

Waktu berlalu, tidak terasa aku sudah selesai membaca buku itu sampai ending. Ternyata begitu ending-nya. Ending-nya aku belum ngantuk. Aku bingung mau ngapain. Aku tiduran sebentar, kulihat langit-langit kamar, lampu kamar, lalu aku bangkit lagi. Aku mau menulis puisi.

Kuambil buku tulis, buku coret-coretan sebenarnya. Di buku tulis ini aku biasa menulis apa saja, tetapi yang paling banyak itu puisi. Kuambil pulpen, kucari lembar yang kosong, kemudian aku memulai.

RINDU

Bagiku rindu tidak selalu sama dengan hujan
Hujan itu jatuh
Rindu juga jatuh
Hujan pasti berhenti
Rindu belum tentu

Bagiku rindu tidak selalu sama dengan air
Air itu mengalir
Rindu juga mengalir
Air mengalir sampai ke hilir
Rindu belum tentu

Bagiku rindu tidak selalu harus dibalas
Rindu hanya butuh suara
Bertemu
Aku baru tahu

-Joshua Zani-

LeonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang