Part 4

3.3K 81 13
                                    


Ronny:
Brur, malam ini campus night.

Me:
Berangkat?

Ronny:
Berangkat.

Me:
Siapa aja yang ikut?

Ronny:
Semua ikut.

Me:
Lo jemput gue.

Ronny:
Oke.

Me:
Bawain gue kemeja.

Ronny:
Yaelah. Oke.

Kamis malam, ada campus night. Kampus kami yang bikin. Bukan kampus kami sih, tapi salah seorang mahasiswa, namanya Bang Bernard, dia memang biasa bikin event disko-disko begitu. Salah satu DJ-nya juga aku tahu, DJ Diaz, anak Fikom juga, angkatan 2004. Aku kenal Diaz. Aku kan eksis.

Nggak mungkin acara disko begini yang bikin lembaga kampus resmi. Ini acara mabuk-mabukan, bukan cerdas cermat. Ini cuma inisiatif mahasiswa yang doyan party aja, terus punya link untuk bikin acara di kelab malam, punya teman DJ yang bisa dibayar profit sharing, dan yaudah, bikin. Apa ini sudah dapat persetujuan pihak kampus? Ya enggak, lah.

Jam 10 malam, kudengar telepon genggamku berdering, dari Ronny. Katanya dia sudah di luar rumahku. Aku keluar, dan langsung membuka pintu bagian tengah mobil Ronny. Bukan mobil mewah, tapi ini tetap kendaraan roda empat. Di dalam mobil Ronny sudah ada Andhika.

"Ron, baju buat gue mana?"
"Tuh, gue bawain 3 kemeja, pilih aja."
"Oke."

Kami meluncur ke club malam. Di mobil, Ronny sudah memutar lagu, kata Ronny ini bergenre Chicago House Music. Musik disko yang berkelas katanya, bukan yang mainstream. Nggak paham juga aku. Tetap aja beat-nya bikin joged. Suatu hari dia akan nge-DJ di campus night, begitu mimpinya. Cetek sekali. Akan tetapi Ronny sudah ikut DJ School segala. Kalau dia belajar DJ, aku diajak. Kenal banyak anak gaul Jakarta dari situ. Padahal aku anak Bekasi. Tetapi anak Bekasi sejati memang biasanya yang kayak aku dan Ronny begini, yang sok paling eksis di Jakarta.

Sampai di suatu gedung, club itu berada di lantai paling atas pada gedung itu. Kemudian kami langsung masuk ke dalam lift, bersamaan dengan 2 pria lain. Sepertinya anak kampus kami juga, tetapi kami tidak kenal. Lalu pintu lift itu terbuka, kami yang ada di dalam lift itu keluar, dan aku melihat antre yang panjang. Itu namanya antre guestlist, yaitu orang-orang yang ingin masuk ke dalam club, tapi nggak mau bayar, makanya pakai guestlist. Kalau mau masuk pakai guestlist, itu harus datang awal, sebelum jam 12 malam. Lewat dari itu, guestlist tidak berlaku lagi. Kalau tetap mau masuk, ya harus bayar. Bayarnya 100 ribu rupiah, tidak rela aku bayar segitu untuk masuk club. Tidak ada uang juga sebenarnya. Dan guestlist itu ada limitnya. Satu nama biasanya berlaku untuk 10 orang. Kalau sudah 10 orang masuk pakai nama itu, maka guestlist itu dinyatakan tidak berlaku lagi. Kami juga pakai guestlist masuknya. Kami dapat guestlist atas nama Vanny, dari Kak Vanny.

"Maaf. Guestlist-nya sudah full." Kata seorang pegawai club yang bertugas mengurusi guestlist.
"Coba dicek lagi, atas nama Vanny." Ronny memaksa.
"Sudah, Bro. Full. Sorry." Jawab pegawai club itu, dia cewek yang rambutnya Mohawk.
"Atas nama Icha." Aku nyamber.
"Wait..... oh, ada atas nama Icha. Silakan."

Jujur, aku hanya asal bicara. Icha itu nama cewek yang pasaran. Pemilik nama itu sudah pasti gaul, meski aku tidak tahu seperti apa wujudnya.

Kami masuk ke dalam club. Ini bukan yang pertama kalinya, tetapi kami seperti selalu saja norak mendengar musik di dalam sana, kami norak melihat lampu sorot berwarna-warni, kami norak melihat cewek-cewek berpakaian seksi, kami norak melihat orang mabuk-mabukan. Kami berjingkrak-jingkrak, mata kami menjelajah seisi tempat itu mencari orang yang dikenal.

LeonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang