revin benar tentang ucapannya. ia mencari tukang balon dipinggir jalan dan membelikan lima belas balon untukku dengan warna hitam, putih dan biru muda.
aku memukul bahunya saat revin berbicara kepada tukang balon itu. begini katanya, "bang pacar saya ngambek. saya bagusnya beli balon abang berapa?"
udah dua kali dia bilang kalo aku pacarnya. jangan kalian pikir aku deg-degan atau merasa gerakan orang-orang disekitarku tiba-tiba melambat. gak! nafasku malah yang terdengar cepat. emosi, tau gak?!
kalo dia bilang sama babang balon sih aku gak terlalu peduli. tapi tadi bilang ke bagas sama reza.
etapi kesel deng dibilang ke tukang balon kayak gitu. soalnya tukang balon menjawab perkataan revin yang lebih mengejek menurutku. dia bilang, "aduh aduh anak jaman sekarang ini kalo mau bikin pacarnya luluh harus dikasih balon ya. gak nyesel deh saya jualan balon."
revin menepuk lengan tukang balon itu sok akrab, "lagi ngetren, bang. kalo gak dikasih balon malah nangis pacar saya mah."
"ada-ada aja mas ini. saya dulu muda gak pernah ngasih balon ke pacar saya. dulu saya ngasihnya sate kambing dua puluh tusuk biar dia gak ngambek lagi," balas tukang balon itu sambil terkekeh pelan.
revin mengeluarkan dompetnya saat itu sambil tertawa pelan mendengar jawaban tukang balom dihadapannya. "berapaan bang balonnya?"
"untuk mas sama mbak saya kasih sepuluh ribu aja satu balonnya."
"yah bang kemahalan kalo saya beli lima belas,"
"hmm..." tukang balon dihadapanku dan revin tampak berfikir, "yaudah saya kasih diskon deh. kalo beli lima belas harganya seratus ribu aja."
revin mengangguk lalu menyodorkan dua lembar kertas berwarna merah muda. "nih bang. saya mau warna item, biru, putih ya bang. warna favorit pacar saya."
aku disamping revin hanya mendengus sebal. ingin rasanya mengikat tubuh revin diatas rel kereta api dan membiarkan tubuh revin dilindas oleh kendaraan yang paling panjang yang ada di dunia ini.
tukang balon itu bukannya mengambil uang yang disodorkan revin, ia malah menatap revin dan uangnya bergantian. "yah si mas, ngapain nawar kalo ngasih uangnya dua ratus ribu?"
revin tertawa pelan sambil memperhatikan abang balon yang sedang memisahkan balon-balon sesuai warna yang dipinta revin.
revin sengaja gak menoleh kearahku. padahal sedari ia mengobrol dengan tukang balon, aku menatapnya dari samping. kata orang-orang kan kalo orang ditatap lama, pasti orang itu bakalan noleh karna sadar diperhatikan. tapi ternyata itu gak berlaku untuk revin.
dan saat lima belas tali bening berpindah ketangan revin, abang balon itu mengambil uang yang disodorkan revin sedari tadi dan tak lupa juga beliau mengucapkan terimakasih saat revin mengatakan bahwa penjual itu tak perlu mengembalikan kembaliannya.
revin memutar tubuhnya menghadapku. dengan cengiran khasnya, ia mengamit tanganku—memindahkan kelimabelas tali yang terikat dengan balon yang berada diudara.
aku tersenyum sembari mengucapkan terimakasih sebelum pergi dari hadapan babang balon itu. dan sebelum aku menjauh, babang balon itu tersenyum dan mengucapkan, "eneng jangan marah lagi sama masnya."
aku tersenyum lebar sebelum menjitak kepala revin, "enggak kok bang, saya cuma gemes aja sama dia. bawaannya mau nerjunin dia ke jurang."
babang balon itu tertawa. sedangkan revin disampingku menjitak kepalaku.
kami berjalan kearah motor kami yang terparkir disebrang jalan dari posisi kami. tapi ternyata revin tidak mengajakku untuk langsung pulang. ia menarikku ke taman dekat motorku terparkir.
kami duduk disalah satu bangku taman yang kosong. ditanganku masih ada lima belas balon yang mengudara. dan revin memperhatikanku.
aku memutar kepalaku menghadap revin, "apa?"
"enggak," revin menggeleng. "tadi gue nyebut nama lo ke bagas ya, na?"
aku refleks menjitak revin. "iya! lo nyebut nama gue ke bagas. lo bikin bagas tau nama gue! apalagi make embel-embel pacar lo segala!"
"lo kesel ya?"
"iya lah kesel! siapa coba yang nggak kesel digituin?"
revin sekarang memutar tubuhnya jadi menghadapku. "lo kesel dibagian yang mana?"
alisku bertaut, "hah?"
revin menjitakku. "kesel dibagian gue bilang lo pacar gue atau pas gue ngenalin lo ke bagas?"
aku menaruh telunjukku di dagu, berpura-pura sedang berfikir. revin yang sedang menghadap ke arahku menatapku dengan alis yang bertaut satu sama lain.
"bagian dimana lo nyebut nama gue sehabis lo dan bagas saling sebut nama." jawabku.
revin mengangguk lalu memutar tubuhnya lagi dan sekarang dia sudah duduk menghadap kedepan.
aku melihatnya bingung. "kenapa sih?"
revin menoleh, "kalo lo nanti deket sama cowok, bilang ke cowok itu kalo dia itu pacar kedua lo dan nggak bisa lo jadiin yang pertama."
sekarang aku yang memutar tubuhku menghadapnya. "kenapa?"
cowok didepanku ini mengulurkan tangannya mengacak-acak rambutku. "posisi pertama itu ada gue. selalu gue. jadi cowok-cowok lo nanti cuma jadi "selingkuhan"."
ini cowok udah gila. ada yang mau nggak nih sama dia? aku udah nggak tahan sama sifatnya. apalagi pola pikirnya yang cetek banget secetek kolam renang bayi ulet bulu.
"biar apa?" tanyaku sengit.
jelas aja aku nggak terima pemikiran dia itu. nggak masuk akal. apa coba maksudnya?
"gue aja selalu memposisikan diri lo di peringkat pertama, na. masa gue diposisikan sama lo di peringkat yang bukan pertama sih?"
aku menempeleng kepala revin. "vin, cepet jadian sana sama rita, biar lo nggak deket-deket sama gue terus."
kini gantian revin yang menempeleng kepalaku. "lo tuh bersyukur dong dapet cowok kayak gue. lagian nih ya, si rita itu nggak bisa ngertiin gue. dia benci kalo gue deket-deket sama lo. bahkan belum jadi pacar gue aja udah ngelarang gue buat ketemu sama lo lagi."
jangan heran kalo banyak banget cewek yang ngelabrak aku cuma gara-gara cowok brengsek di depanku ini. revin memang memposisikan aku di peringkat pertama. dia selalu mementingkan hal yang menyangkut aku dibanding hal-hal tentang gebetannya.
revin juga selalu menjauhkan gebetan-gebetannya sebelum resmi punya hubungan spesial karna gebetan-gebetannya itu nggak tahan sama sifat revin yang over banget sama aku.
dan aku kira rita nggak masuk dalam list gebetan-yang-harus-dijauhi-sebelum-resmi-menjabat-jadi-pacar revin. ternyata rita sama aja kayak sebelum-sebelumnya.
aku menepuk-nepuk bahu revin. setelahnya, revin menarik tanganku itu dan tangannya melingkar dibahuku.
aku hanya membalas dekapannya. ku usap-usap punggungnya. "kenapa lagi?"
revin mengubah posisi kepalanya. ia menaruh keningnya diatas bahuku. "jangan jadian sama bimo ya, na. bimo sama kayak pengikut gue."
refleks, aku memukul punggungnya. masih aja bahas-bahas bimo. sebenarnya aku tau kenapa revin benci banget sama bimo. lagian aku juga nggak ada pikiran mau lebih deket sama bimo.
hening cukup lama. revin nggak juga melepaskan diriku dari dekapannya. aku juga hanya bisa pasrah kalo revin udah kayak gini.
tapi nggak lama, revin sedikit mengendurkan tapi tangannya masih berada disekitar bahuku.
"na, mau liat bagas ngeband gak? sekalian lo tampil gitu. kan udah daftar mau ngisi acara di panggung bebas nanti."
YOU ARE READING
bagas
Teen Fictiondear bagas, aku naufa. aku seorang perempuan yang lahir pada tahun 1997 dibulan oktober. aku seorang siswi tingkat akhir di salah satu sekolah menengah atas negeri dikota ku. dan ini yang harus kamu tahu, aku naufa. dan aku adalah satu dari puluhan...