Chapter 4

1.5K 132 10
                                    

Akhirnya, Hinata bisa pergi berkemah. Akan ada api unggun, tenda dan semuanya pasti menyenangkan. Dan yang pasti, ada Neji.

Tumben sepupumya itu mau menurutinya, ia pikir akan di tentang mati-matian.

Setelah mempersiapkan perlengkapan, mereka berangkat dengan diantar oleh Karin dan Hayate. Jaraknya tidak begitu jauh dari villa dan benar kata Karin, rugi jika tidak datang ke tempat itu.

Pemandangannya sangat indah dan udaranya sejuk. Perasaan Hinata menjadi tenang berada di sana.

Setelah istirahat sejenak, Hinaya membantu mendirikan tenda dan hanya ada dua tenda?

"Dua tenda?" tanyanya pada Karin.

"Ya, Hinata-sama!" jawab Karin sopan.

"Lalu kalian tidur di mana?" tanyaku ragu.

"Kami akan kembali ke villa." jawab Hayate.

"Bersenang-senanglah!" tambah Karin dengan senyum penuh arti.

Setelah Karin dan Hayate pergi, situasi jadi terasa canggung, sunyi dan matahari mulai tenggelam. Tanpa terasa, sudah seharian mereka di sana.

Ia melirik Neji yang sedang membuat api unggun, dia terlihat sangat serius. Beberapa menit kemudian, Hinata mengalihkan pandangan ke langit sore yang keemasan.

"Indah...," katanya kagum.

"Ng?" Neji melihat ke arahnya kemudian ikut memandang langit. "Indah tapi menyedihkan."

Hinata menatapnya. "Menyedihkan?"

"Hn, indah namun sebentar lagi ke indahannya akan lenyap tertelan waktu."

Kembali ditatapnya langit, kini matahari itu telah benar-benar menghilang. Tapi ada satu hal lagi yang membuatnya terpana, taburan bintang yang mulai bermunculan.

"Indah..." gumamnya lagi.

Kali ini Neji tidak berkomentar, ia tengah terdiam di seberang api unggun yang telah membara. Mereka saling berhadapan dengan api unggun yang membatasi. Mereka tidak saling bicara, hanya duduk diam mengamati api dan meresapi hangatnya.

"Nii-san?" sapanya. Neji hanya diam lalu menatapnya. "A-pakah, nii-san memiliki orang yang dicintai?"

"......." Lagi-lagi Neji hanya diam.

"A-aku hanya tidak mau Nii-san terluka." kataku lagi.

Kali ini Neji tersenyum simpul. "Mengatakan hal yang menggelikan seperti itu," kata Neji sinis. "Sebenarnya, kata-kata itu lebih cocok ditujukan padamu!"

"Ah, i-ituh...," Hinata bergumam tak jelas. Ia tidak tahu harus bicara apa, tapi Neji benar, kata-kata itu seharusnya memang untuknya.

"Masih mengharapkan Naruto?" Neji menatapnya tajam. Seketika ia tersentak, kemudian menunduk. Kenapa harus membahas Naruto?

"Ternyata benar." kata Neji lagi, "jika takut terluka, kenapa menerima pertunangan itu?"

"A-aku memang menyukai N-Naruto tapi," Hinata meninggikan nadanya pada kata terakhir, "hanya dengan menuruti k-kata-kata ayah, maka aku akan berguna."

"Ketika ada dua pilihan, kau harus memilih satu dan ketika kau memilihnya maka akan ada satu yang terkorbankan. Itulah takdirnya!" tanggap Neji.

"A-aku masih belum bisa meraihnya, semakin hari ia semakin kuat, sementara aku, aku tak bergerak sedikit pun untuk mengikutinya!" lirih Hinata.

"Untuk apa berharap pada seseorang yang tak mungkin bisa kau dapatkan?"

"T-tapi, Narutolah yang mengajariku cara untuk berjuang!"

Look at Me, Please √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang