Part 1 Prolog

1.7K 77 13
                                    

Aku merasakan aliran angin di sela-sela jariku. Berhembus tanpa izin merambah tubuhku yang hanya terbalut kemeja putih tipis dan celana kain hitam.

Oh Tuhan! Ini sangat dingin.

Aku tak menemukan apapun dan siapapun di sekitarku berdiri. Hanya ada kubangan air tepat di depanku. Dan sepertinya ia sedang mengejekku. Aku mendekatinya, sementara ia menyuguhkan pemandangan miris.

Itu aku?

Terimakasih telah memantulkan bayanganku. Tapi bukan itu yang ku mau. Yang kutanyakan bukan bagaimana diriku, atau betapa kacaunya aku saat ini. Beri tahu aku, dimana aku berada?!

Angin dari barat terus menerus berhembus kencang seperti ingin mengusirku. Buru-buru ku cari kancing untuk menutup belahan kemeja. Kancing bagian atasnya hilang.

Baiklah. Terserah kalian.

Terus berjalan akan membuat tubuhku melupakan rasa dingin ini.

Mataku menelisik sekitar dan yang ku temui hanya padang rumput tak berujung. Hijau, tapi sangat maram. Mungkin karena hari sudah sore. Seharusnya warna jingga yang menghiasi langit, kali ini sedikit berbeda. Mungkin akan turun hujan.

Sudah sangat jauh aku berjalan.

Sial, jam tanganku mati.

Pekikan beberapa burung gagak semakin santer terdengar. Mereka terbang kesana-kemari tepat di atas kepalaku. Membuat formasi lingkaran yang siap mengunci dan memenjarakan posisiku. Tak menunggunya mencabik mata dan juga tubuhku, aku berlari menjauhinya.

Apa ini nyata? Sungguh kah?

Pikiranku terhenyak sebentar, memikirkan situasi yang terjadi. Burung pemakan bangkai ini, mengapa mereka memburuku?

Tubuhku tak terlihat sangat sehat sehingga menarik selera makan mereka. Kecuali aku dekat dengan kematian. Beberapa mitos yunani kuno mengatakan hal itu. Gagak bisa mencium bau kematian.

"Arthur!"
Seseorang memanggilku.

"Arthuuur, aku disini."

Sudah kulihat kesegala arah, tapi tak ada siapapun.

"ARTHUR!!!"
Lagi.

Suara seorang perempuan memanggilku begitu lembut, tapi juga penuh dengan kesedihan.

Pandanganku terus mengedar untuk mencarinya. Hingga aku menghentikan langkah saat merasakan sesuatu di tanganku.

Perih.

Sejak kapan padang rumput tadi berubah menjadi padang ilalang?
Seperti mimpi. Tapi sakit ini sungguhan. Sayatan luka di punggung dan telapak tanganku membuktikan padaku bahwa ini nyata. Aku berdiri di tengah-tengah padang ilalang. Kenyataan yang membuatku gila.

"Kau tidak boleh terluka, barang hanya segores saja."

Seorang gadis dengan paras sendunya tiba-tiba muncul di hadapanku.

Entah aku yang tak menyadari langkahnya, ataukah memang gadis ini muncul seperti taburan pasir yang kemudian menjelma menjadi tubuh padat, seperti yang kulihat.

Rambutnya panjang berwarna coklat, menari seperti gelombang indah di antara ilalang yang menenggelamkan kami.

"Kau terlalu berharga untuk mengeluarkan darah seperti ini."
Sambungnya sambil membalut lukaku dengan kain putih yang baru saja ia sobekkan dari roknya.

"Apa ada luka lain?"

Aku terperanjak saat tangan lembutnya menyentuh pipiku. Sangat lembut hingga aku terbuai dibuatnya.

Binar matanya membenamkanku lebih jauh ke dalamnya. Menawarkan kedamaian yang belum pernah ku lihat.

"Suara yang memanggilku tadi..."

Aku berbicara dengan hati-hati. Meskipun dia seorang gadis, tapi tetap saja aku tak tau siapa dirinya.

"Apa kau yang memanggilku? Kau tau namaku?"

Kalimatku berakhir saat ku rasakan sesuatu menempel di bibirku.

Begitu lembut dan hangat. Aku bisa melihat matanya yang tertutup tepat di depan mataku.

Sungguh kau sangat cantik.

Tapi bagaimana mungkin kau melakukan ini dengan lelaki yang tak mengenalmu?

Dia mulai mengalungkan tangannya di leherku. Kakinya berjinjit di antara kakiku. Aku tak bisa menutup mataku dan menikmatinya.

Pikiranku dipenuhi pertanyaan ganjil tentang keberadaanku saat ini. Tapi, gerakan bibirnya memaksaku untuk terus jatuh bertekuk lutut.

Tanpa ku ketahui, tangan nakalku sudah memegang erat pinggangnya, mengimbangi hasratnya padaku.

Semburat senja menyapu wajahnya, menyita perhatian. Kembali dia membelai pipiku.

"Sekarang, aku akan tetap bersamamu, Arthur."

"Bagaimana kau tau namaku? Apa aku mengenalmu?"

Gadis itu hanya mengulum senyum manisnya dan menarik lenganku. Mengajakku berlari kecil melintasi ilalang liar yang mengayun syahdu.

"Dimana kita? Kenapa tiba-tiba kau menciumku?"

Aku menarik lengannya agar dia berhenti menyeretku.

"Apa kau tak mengingatku? Walau hanya sedikit saja?"
Suaranya terdengar bergetar.

"Perhatikan baik-baik wajahku! Kau tak ingat?"

Dia tetap meyakinkanku, seolah aku yang terkena amnesia, dia membuatku khawatir.

Aku melepaskan tangannya yang dari tadi memegang erat lenganku.

"Aku memang pernah kecelakaan baru-baru ini, tapi aku tidak amnesia. Aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya."

Hembusan angin terasa lebih dingin saat aku menyelesaikan jawabanku.

Dia pun hanya diam memandangku. Matanya sangat sendu, seperti kesedihan telah menjadi tuan rumah di sana. Sesaat kemudian, aku melihat bulir air mata jatuh membuat jalur di pipinya.

Apa aku melukai perasaannya?

"Suatu saat kau pasti mengingatku lagi. Saat itu tiba, aku pastikan tidak akan pernah melepasmu lagi."

Aku masih terdiam. Sorot matanya yang coklat sangat menarikku. Tapi aku yakin, aku tak pernah melihat mata itu sebelumnya.

Dia berjalan membelakangiku. Sesekali berlari kecil, walau tak seceria sebelumnya. Dia tak lagi menarik lenganku, tapi aku tetap mengikutinya.

Langkah kecilnya membuatku berjalan sangat santai di belakangnya. Aku tak tau kemana langkahnya akan membawaku, setidaknya ada seseorang yang bersamaku.

"Lihat itu!"

Jari kecilnya menunjuk matahari sore yang menyajikan jingga yang sangat cantik.

"Cantik bukan?"

Aku mengangguk, lalu dia tersenyum.

"Dulu, kau sering mengajakku ke tempat-tempat aneh seperti ini, untuk melihat senja dari sudut yang berbeda. Kau bilang, dari manapun kita melihatnya, senja selalu menampilkan pesona yang sama. Sedih, tapi cantik."

Aku tidak asing mendengar kalimatnya. Apa benar aku yang mengucapkannya? Tapi mulutku lebih tertarik untuk menyampaikan pertanyaan lain.

"Aku mengajakmu? Kita?"

Aku duduk di atas batu besar di dekatnya. Kakiku terasa ngilu sejak tadi.

"Ku bilang, kau pasti akan mengingatnya. Pelan-pelan saja! Aku tak ingin kau terluka."

Dia mendekat dan duduk di sampingku. Aku was-was jika saja tiba-tiba dia menciumku seperti sebelumnya.

"Aku suka aroma tubuhmu, Arthur."

Dia menyandarkan kepalanya dibahuku.

Dari ekor mataku, aku melihatnya menutup mata dengan sangat tenang. Hingga aku pun ikut terlelap di sampingnya.

THE TRAVELER - 7th Generations [COMPLETED - EDITED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang