Arthur's POV
Anna menghubungi ibuku, dan sekarang wanita cantik idolaku ini sudah berada di apartemenku. New York - London bukan jarak yang dekat. Aku tau wanita ini pasti sangat lelah. Tapi bahkan perhatiannya tak teralih dariku.
“Sejak kapan itu terjadi lagi?”
“Aku tak tau pasti, Bu. Mungkin dalam sebulan ini.”
Aku menjawab santai sembari memakan coklat kacang yang dibawakannya dari rumah.
Aku tau dia pasti khawatir. Aku hanya mencoba bersikap serileks mungkin agar tak membuatnya semakin panik. Walau dalam hatiku, aku sungguh sangat ketakutan.
“Kita harus menemui dokter Ravy lagi.”
Aku melihat garis wajah yang kian mengendur di rautnya. Wanita cantik perkasa ini, aku mengerti benar, susah payahnya menjagaku.
“Bu, aku rasa itu tidak akan membantu.”
Aku mengelus lembut jari jemari tangannya yang sudah terlihat rapuh.
“Paling tidak dia bisa sedikit meringankan bebanmu, Arthur. Ayolah!”
“Bu, kau mau aku jadi pecandu obat tidur lagi? Dokter Ravy hanya akan menundanya. Setelah itu pasti akan datang lagi. Sama seperti waktu itu.”
***
New York, 17 tahun lalu.“Ini resep terakhir yang harus dia minum. Kau tak perlu khawatir.”
Pria bertubuh tambun mengirimiku sebotol penuh kapsul, lagi.
“Bagaimana jika tidak berhasil?”
Aku bahkan bisa mendengar suara ibu bergetar di balik pintu kamar.“Maka aku rasa, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuknya, Jane. Aku sudah katakan padamu. Bukan psikologisnya yang bermasalah, tapi dia memang seperti ayahnya.”
Kalimat dokter Ravy membuat jantungku terpacu lebih kencang.
Apa ayah juga bisa berada di dua tempat dalam satu waktu sepertiku?
Apa yang ku temui di rumah lama itu adalah ayahku yang lainnya? Aku berpura menjadi anak baik di depan ibu. Aku tak ingin dia khawatir.
Saat dia sedang bekerja, diam-diam aku memberanikan diri untuk mencoba sesuatu.
Aku membayangkan rumah lama ku. Usaha pertamaku gagal. Aku mencobanya lagi dan lagi.
Beberapa bulan setelah aku mencoba untuk mengerti kondisiku, akhirnya kakiku menginjak lantai rumah itu.
Aku mulai berkeliling mencari sesuatu. Langkahku berhenti ketika ku dengar langkah kaki mendekati pintu. Sesaat setelahnya, pintu mulai berdecit mengeluarkan bunyi karat yang bertemu dengan lantai marmer.
Aku tak bergerak sedikitpun, berharap pria itu tak melihatku seperti kejadian di kematian ayah. Tak ada yang melihatku selain ibu. Aku mengerti cara kerjanya sekarang.
Mereka tidak akan bisa melihatku, kecuali jika aku menginginkannya.
Pria itu mengarahkan sorot senternya ke segala sudut rumah. Kemudian kembali keluar dan menutup pintu. Aku menghela nafas setelah menahannya dalam waktu yang lama.
Kali ini aku menjaga langkahku agar tak menimbulkan suara. Mengelilingi rumah itu dengan sangat hati-hati.
Sebenarnya, perasaan takut sudah menggerusku dari awal menapak lantai rumah ini. Tapi, rasa rinduku pada ayah mengalahkan semua itu. Hingga suatu waktu, aku mendengar seseorang sedang berjalan mendekat.
“Arthur?”
Suara bariton menyapa telingaku. Sontak ku edarkan pandangan ke lantai dua.
Perasaan rinduku pada ayah terbayar sudah. Aku melihatnya berdiri di sana. Tak banyak lagi yang kuinginkan, menggapainya, kemudian memeluknya. Sudah itu saja. Karena aku sangat merindukannya.
Dia merendah untuk menyesuaikan posisinya dengan tinggiku, lalu menyambutku dengan pelukannya.
“Aku tau ayah tak akan meninggalkanku.”
“Maafkan aku karena membiarkanmu melihatnya, Nak.”
“Maafkan aku karena tidak membantumu saat itu, Ayah.”
“Dengar, Arthur! Kau tak boleh melakukan perjalanan ini lagi. Akan sangat berbahaya untukmu, Nak. Kau harus bisa menahannya agar dirimu yang sekarang ini tak keluar dari tubuhmu.”
Matanya bergenang air yang hampir saja tertumpah. Saat itu, sungguh aku tak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ucapan ayah.
Masih banyak pertanyaan yang ingin kusampaikan padanya. Kenapa aku bisa seperti ini, bagaimana caraku melakukannya, dan apa yang terjadi sebenarnya.
Tapi ayah tak memberiku waktu. Dia hanya mengatakan bahwa aku tak boleh melakukan hal ini lagi.
“Gunakan ini!”Ayah merogoh sesuatu di kantung celananya dan memakaikannya ke leherku. Sebuah kalung.
“Jangan pernah melepaskannya. Kau juga tak boleh lagi penasaran ingin mencoba perjalanan semacam ini.”
Dia beranjak dari posisinya.
“Ayah, kau mau kemana?”
“Arthur, kau harus pulang. Aku tak bisa terus bersamamu.”
“Aku ikut denganmu.”
“Kau melihatnya bukan? Tubuh Ayah?! Aku tak bisa kembali lagi padamu.”
“Tapi aku benci jauh darimu, Ayah. Aku ingin kau mengantarku ke sekolah. Seperti dulu lagi.”
Aku menangis keras malam itu. Jangankan untuk anak berusia 10 tahun, saat ini pun, jika aku mengingatnya, itu sangat menyakitkan.
Seseorang yang selama ini kau jadikan panutan dalam melakukan apapun, dalam sekejap pergi.
Meninggalkanmu sendirian di lorong sempit yang gelap. Aku yang dulu, sangat takut menghadapi dunia tanpa ayah. Bagiku, semua pria selain ayah itu berbahaya.
“Hey, my boy! Kau tak perlu takut. Aku akan selalu mengawasimu. Yang perlu kau lakukan sekarang adalah kembali dan jaga ibumu. Dia pasti sangat mengkhawatirkanmu saat ini.”
Tangan besarnya mengusap kepalaku. Tapi tak bisa sedikitpun mengurangi ketakutanku akan kehilangannya.“Ayolah, Nak! Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya. Kembalilah!”
Ayah meninggalkan kecupan terakhirnya di keningku. Dan setelah itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Aku tak bisa lagi melakukan perjalanan itu, sebelum gadis ini memancingku kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRAVELER - 7th Generations [COMPLETED - EDITED]
ParanormalDia melepas jaket kulitnya dan segera berbaring di tempat tidur. Aku hanya diam tepat di samping tubuhnya. Luke terlihat memancarkan aura terangnya saat berkelana di alam astral. Ketika ada pergerakan dari tubuhnya yang mencurigakan, tugasku adalah...