3

13.7K 545 3
                                    

Aku tiba di Bandung. Travel yang ku tumpangi telah melesat pergi. Ibu dan Gina menyambut ku dengan senyum ceria. Sudah lama aku tak pulang sejak liburan hari raya 7 bulan yang lalu. Ibu memeluk ku lalu ku cium dan menatap lekat wajahnya. Ku lihat wajah yang dulu putih bersih kini telah muncul guratan-guratan menua disana. Aku tersenyum. Setelah itu aku memeluk Gina dan mengecupnya sekilas. Gina membantu ku membawa kotak yang ku bawa berisi beberapa jajanan sederhana sebagai oleh-oleh.

"Ayah pulang jam berapa?" tanya ku setelah mengamati rumah dan tak kunjung ku temukan sosoknya.

"Biasa, paling lama malam" jawab ibu yang tengah membuka kotak yang ku bawa tadi.

Aku manggut-manggut, mengambil camilan ringan di meja lalu ku makan. Aku mengambil remote TV dan mulai mencari acara menarik.

"Na?" panggil ibu, tiba-tiba sudah duduk di samping kananku.

Aku menoleh. Inikah saatnya? Batinku berteriak gundah. "Kenapa, buk?" ku usahakan suara ku senormal mungkin.

Ibu tampak menimang-nimang kata apa yang ingin diucapkannya. Meski aku sudah tau apa yang akan dikatakannya, aku menunggu saja ucapan yang keluar dari mulut ibu sendiri.

"Mmm..."

"Soal perjodohan ya, buk?" serang ku langsung

Ibu mendongak, matanya melebar. Ibu mendelik pada Gina. Gina hanya nyengir menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

"Gimana?" tanya ibu, pandangannya melunak. Aku berpikir keras. "Ibuk sama ayah gak akan maksa, tapi kamu percaya kan sama pilihan kami?" ibu tersenyum tulus, senyum menenangkan hati disaat seperti ini.

Aku mengangguk pasrah, tak lupa senyum tulus mengiringi jawaban ku. Ibu bernafas lega.

"Ibuk dan ayah telah menerima lamarannya, nak. Akhir bulan ini kamu menikah" ucap ibu senang, memelukku erat.

Mata ku melebar. Aku melirik Gina dari balik punggung ibu yang tengah memelukku. Gina memanyunkan bibirnya dan menempelkan kedua tangannya di depan dada sebagai kata maaf. Aku mengangguk kecil tak bisa berkata-kata.

*****

Aku duduk di jendela bertopang dagu pada lutut ku, memandang langit malam yang sedang mendung. Semendung hati ku saat ini. Hati ku gundah menimang-nimang keputusan ku apakah langkahku tepat? Atau sebaliknya? Pria? Aku lupa bahwa aku sama sekali belum tau bagaimana bentuk wajahnya. Tampan? Tidak mungkin, mana ada yang mau dengan gadis buruk rupa seperti ku. Pasti. Kaya? Jangan harap orang kaya mau menerima perjodohan tanpa melihat segi ekonomi.

Terpelajar? Pasti, mengingat ibu dan ayah sangat mementingkan hal yang satu itu, mereka tidak akan main-main untuk memberikan anak gadisnya pada orang yang terlalu biasa. Bukannya sombong. Sudah jadi prinsip pendidikan lebih utama selain agamanya juga. Aku menghembuskan nafas, gusar memikirkannya.

Ucapan ibu tadi siang memukul telak diriku. Ibu menerima perjodohan dan lamaran tersebut tanpa memberiku waktu untuk memikirkannya. Alasannya 'percaya sama ibuk dan ayah'. Ntah sudah berapa kali aku menghembuskan nafas kasar.

"Kak?" Gina membangunkan ku dari pikiranku. Ia duduk di tepi ranjang tak jauh dari jendela. Ada tatapan iba disana.

Aku tersenyum. "Gak apa-apa" ucapku tulus.

Matanya mulai berkaca-kaca, tampak jelas Gina menahan diri untuk tidak menjatuhkannya. Aku mendekatinya membawanya dalam pelukan ku. Mengelus-elus pundaknya menyalurkan ketenangan, ketenangan untuk ku lebih tepatnya. Kurasakan Gina semakin sesenggukan di dadaku.

"Kak, maaf"

"Gak perlu"

Gina meregangkan pelukannya, mengusap kasar air mata yang membanjiri wajah lugunya. Wajah lugu yang masih menginjakkan kaki di bangku SMA kelas 3. Aku beranjak ke tengah kasur dan merentangkan tubuh, Gina mengikuti pergerakan ku. Aku sekamar dengannya. Sejak dulu kami masih berbagi kamar, tak ada yang keberatan.

I Fell...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang