7

8.8K 471 3
                                    

Leena POV

Hari ini hari tersial sepanjang masa. Aku bangun terlampau telat. Saat mataku terbuka pemandangan pertama yang ku lihat adalah seringai licik Lion. Secara aktif tubuhku ikut bangkit, terkejut, dan malu. Aku yakin wajahku sangat merah.

"Baru semalam kau bilang kau tak ingin merepotkanku, nyatanya kau tidak bisa, hmm?" Lion memasang senyum jahil. Aku menunduk dalam-dalam menahan malu.

Aku tak bisa membayangkan wajah bangun tidur penuh kotoran mata yang menumpuk pastinya. "Cepat bangun, setengah jam lagi jam kantor mulai. Dan, ku rasa kau sendiri yang akan memintaku untuk mengantarmu. Sebelum kau minta aku sudah siap. Ku tunggu di depan"

Aku mendongak menemukan senyumnya lagi, senyum berbeda, menghangatkan dan lebih...bersahabat. Refleks aku membalas senyumnya.

"Apa kau berubah pikiran? Hari ini bolos saja misalnya. Mungkin dengan saling bertatapan dan tersenyum seperti ini lebih menyenangkan" Goda Lion menaik turunkan alisnya seraya menyeringai.

Spontan ku alihkan pandanganku lalu beranjak dari kasur menuju kamar mandi tanpa menghiraukan godaan Lion. Dari balik kamar mandi aku bisa mendengar ia tertawa lepas membuatku malu setengah mati.

Lion mulai bersikap akrab, sering mengajakku bicara, merepotkannya, bahkan aku sampai melupakan permintaan konyol ku dulu. Seolah ia menawarkan uluran tangannya menjadikanku teman. Sedangkan aku disini belum berani menerima uluran tangan itu. Lion sangat jauh dari ekspetasiku sejak awal untuk menghindarinya dan membatasi komunikasi.

Apakah ia sadar ia telah melanggar persyaratan yang kuajukan? Dan konyolnya aku tak keberatan. Aku sadar kami tinggal dalam satu atap, menghindari komunikasi itu sangat tidak mungkin. Lalu apa aku harus melupakannya dan mencoba memberanikan diri menjadi sekedar temannya.

Tapi, jika lama kelamaan perasaan itu semakin tumbuh apa aku bisa bersikap seolah tak terjadi apa pun padaku? Seolah perasaan itu tak ada? Lalu dia? Sudah pasti akan meninggalkanku dengan sakit yang kumiliki sendiri. Oh tuhan, sehina inikah aku tak pantas merasakan dicintai? Aku juga ingin tau bagaimana rasanya bila perasaan itu berbalas. Aku ingin, aku ingin. Dan sekarang aku hanya bisa diam seperti biasanya. Seolah perasaan itu tak pernah ada.

*****

Seperti katanya ia menungguku. Lion bersandar di mobilnya, fokus pada hp di genggaman tangan kanannya, sedang tangan kirinya dimasukkan ke kantong celana. Karismanya sebagai pria dewasa tak perlu diragukan lagi. Betapa beruntungnya Febry memenangkan hatinya.

"Ehmmm..." aku berdehem

Lion mengalihkan fokusnya padaku lalu tersenyum. Aku mendekatinya berniat membuka pintu bagian belakang. "Kau ingin aku terlihat seperti supirmu?" tanyanya dingin. Aku sedikit takut dan gugup. "Duduk di depan!" perintahnya tak terbantahkan.

"Tapi kak Feb..."

"Dia keluar kota, jadi duduk di depan"

Aku mengangguk ragu, menggigit bibir bawahku.

"Nggak usah gigit bibir gitu"

"Aku tersentak kaget. "Ha?" cebikku kesal

Lion membuka pintu mobil dan menyuruhku masuk. Kemudian ia menyusul masuk ke kursi kemudi. Kami berangkat dalam diam. Macetnya jalanan kota Jakarta memperlambat perjalanan kami.

"Na?"

"Hmmm?"

"Apa kau harus menerima kerja tambahan itu?"

Aku mengangguk kecil. Ku dengar dia menghela nafas panjang.

"Baiklah, dengan syarat"

"Apalagi?" tanya ku malas

I Fell...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang