Two

291 42 12
                                    

Indonesia"

"Oh"

What! Hanya oh? Seharusnya jawab apa kek.

"Kamu sendiri? Kayaknya kamu juga bukan dari sini deh" tanyaku kepadanya. Memang iya, dilihat dari wajahnya sih oriental. China deh kayaknya. Dan ini London, berarti orang China asing kan?

"Jepang"

"Hah? Jepang? Wah asyik dong" ujarku antusias. Ya, maklumlah dari dulu keinginanku itu liburan ke Korea sama Jepang. Tapi sayang, dua duanya gak ada yang keturutan. Karena dari dulu Papa tidak akan pernah ngizinin anak perawannya ini pergi ke luar negri sendirian. Kalau kalian tanya kenapa aku bisa ke sini sendirian. Itu, karena aku kabur. Iya, aku kabur dari rumah karena kekesalanku pada mereka.

"Kamu mau ikut saya ke sana?"

Dor! Ini pasti hanya gurauan dia yang sama sekali tidak lucu bagiku. Tapi wajahnya serius, apa dia benar-benar mengajakku ke Jepang? Yang benar saja, kita baru kenal tidak sampai dua jam. Itupun perkenalan kita sangat buruk.

"Kamu serius dengan omongan kamu?" tanyaku dengan raut wajah yang sudah jelaa bahwa aku sangat bahagia.

"Enggak, saya bohong" ucapnya seraya menjulurkan lidah. Apa-apaan inih? Beneran kan dia bercanda? Sudah kuduga, bodohnya aku. Oh iya, aku memang bodoh. Astaga malu sekali. Aku hanya bisa menatapnya datar. Memang hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Mau apa lagi? Memukulnya? Meneriakinya? Yang benar saja karena sekarang pintu lift sudah terbuka dan menampakkan segerombolan orang yang sedang menunggu kami keluar lift.

"Kita pisah di sini. Selamat siang. Dan ini kartu nama saya" ujarnya seraya membungkukkan badan lalu menyodorkan sebuah kartu merah. Akupun mengikutinya, membukkan badan.

Kami-pun berpisah. Dia berjalan ke arah barat, sementara aku ke arah timur. Aku tidak tahu di kamar nomor berapa dia. Tapi, kalau dia turun lift di lantai 4, berarti kamar kita ada di lantai yang sama dong?

♥♥♥

Very nice. Kamar di hotel ini memang bagus. Tatanan propertynya sempurna. Bergaya klasik. Wallpaper kamar ini berwarna coklat karamel, keren.

Ah lihat kamar ini, mengingatkanku pada kamarku sendiri. Bagaimana keadaan Mama? Kalau Papa? Apa mereka khawatir? Sepertinya aku butuh reffreshing. Bagaimana kalau aku jalan-jalan saja ke Oxford? Aku dengar jalan itu sangat ramai. Mungkin aku akan merasa enakan. Tapi di luar salju deras. Tapi apa gunanya taxi?

Aku sedang sibuk mencari lokasi jalan Oxford di Google Map. Dan yang benar saja, ternyata lokasinya tidak jauh dari hotel tempatku berada. Sepertinya aku akan ke sana sore nanti saja. Entah mengapa rasa kantuk menyerangku. Kelopak mata sudah tidak bisa lagi ajak kompromi. Rasanya menahan kantuk ini seperti menahan buang air saja. Akupun merebahkan tubuhku di atas tempat tidur berukuran king size, hingga tanpa tersadar akupun mulai terlelap.

♥♥♥

Aku tengah menyeruput secangkir white coffe dengan tenang. Sebuah kartu mungil berwarna merah berada pada genggamanku. Kupandangi kartu itu seraya menimbang-nimbang sesuatu. Dan kualihkan pandanganku ke arah jalanan Oxford yang selalu ramai.

Cuaca hari ini sedang tidak mendukung. Di luar salju turun dengan derasnya. Terlihat segerombolan orang tengah menyusuri jalanan Oxford seraya mengenakan payung, ada juga yang memakai jas hujan.

Namun ada satu yang menarik perhatianku. Lelaki yang tengah berlari menuju sebrang jalan, dan berhenti tepat di depan sebuah butik. Pakaiannya sudah basah oleh salju. Lelaki itu sepertinya kedinginan, sangat jelas dari ekspresinya. Giginya yang gemeletukan sudah menandakan ia segera membutuhkan kehangatan. Berkali-kali ia mengusapkan kedua telapak tangannya bersamaan, berusaha mengusir hawa dingin yang mulai menyergapi seluruh tubuhnya. Kepulan asap dingin juga tak henti-hentinya memgepul tiap kali dirinya menghembuakan napas.

Aku telah menyipitkan mata agar jelas penglihatanku. Sial! Tapi, sepertinya indra kepekaan lelaki itu sangat kuat. Merasa diperhatikan, ia-pun menoleh. Dan mendapati sosok diriku yang tengah memperhatikannya. Seketika manik mata kita bertemu untuk beberapa saat. Akupun terpaku dengan tatapan lelaki itu. Bukan, bukan karena terpesona. Namun itu karena aku malu ketahuan memperhatikannya sejak tadi. Aku memang seperti itu, bawaan lahir yang diturunkan oleh sang Mama. Entah mengapa jika malu pipiku tak memerah sedikitpun, melainkan aku akan mematung bagaikan manekin bodoh yang menunggu untuk disadarkan.

Lelaki itu memutuskan untuk menyebrang menuju cafe tempatku berada. Kenapa ia menghampiriku? Em..aku tak tahu. Aku yang menyadari itu langsung menyeruput coffe-ku dengan cepat. Kupasang lagi topiku dan tunggu, sepertinya ada kacamata di sling bag-ku. Aku pakai itu saja. Memang aneh, saat salju begini. Di dalam ruangan pula, aku harus mengenakan atribut yang sangat tidak cocok seperti seorang badut bodoh saja. Namun, harus bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur malu karena kepergok meperhatikan-nya.

Kriingg.. lonceng tua itu telah mengeluarkan suaranya menandakan ada pelanggan masuk. Benar saja sesosok lelaki bertubuh jangkung tengah memasuki cafe seraya membersihkan jas-nya dari salju.

Lelaki itu tengah mengedarkan pandangannya pada seluruh isi cafe. Mencari keberadaan seseorang. Sepertinya ia mencariku. Ketemu! Dihampirinya diriku yang tengah mnyeruput coffe sambil memandang ke arah jalanan Oxford. Penampilannya aneh. Lelaki itu heran, sepertinya tadi gadis itu tidak berpenampilan seperti itu?

"Halo nona" sapanya ramah.

"Hai" aku hanya bisa membalas dengan satu kata. Entah mengapa aku tidak bisa bicara banyak di depannya.

"Sendirian?" Astaga, pertanyaan macam apa ini? Bukankah sudah jelas bahwa aku sendirian? Kuyakin ini pasti hanyalah sekedar basa basi.

"Sudah jelas kalau saya sendirian" ujarku datar dengan memberanikan diri menatap maniknya. Dan astaga, baru aku sadari jika manik itu indah.
"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya lembut, membuatku menyadari jika sikap lelaki ini berubah. Kemarin ia adalah lelaki menyabalkan yang telah merebut taxiku. Sedangkan sekarang ia adalah lelaki lembut yang manis.

"Terserah kamu"

"Hei, kamu memegang kartu namaku. Apakah kamu ingin menghubungiku?" tanyanya seraya meminum white coffe-ku. Apa-apaan ini, kenapa dia kembali menjadi lelaki menyebalkan?

"Hei, kenapa kamu meminum coffe-ku?" tanyaku kasar seraya merebut cangkir kopi dari genggamannya.

"Karena rasanya enak" ujarnya santai. Memang tidak tahu malu. Bagaimana bisa dia sesantai itu?

Aku bosan di cafe ini. Ingin jalan-jalan. Tapi kemana? Aku ingin mengelilingi London. Aku kembali melamun menatap orang yang sedang membersihkan salju itu. Lucu, aku ingin mencoba.

"Oke sebagai bayaran coffe kamu, bagaimana kalau saya ajak kamu jalan-jalan? Saya tahu kamu bosan" ajaknya. Sepertinya dia bisa membaca pikiranku. Aku harus berhati-hati.

"Enggak, saya bukan mind reader. Jadi tenang saja" lanjutnya. Kalau bukan mind reader, kenapa ia bisa membaca pikiranku dua kali?

"Maaf saya nggak mau. Kita baru kenal. Nanti kamu apa-apain saya gimana?" ujarku. Ya sebenarnya hati sama omonganku tidak sama sih. Kalau hati sih aku pingin, tapi gengsi-lah.

"Tenang saja nona. Saya tidak tertarik dengan tubuhmu" ujarnya santai. Dasar lelaki, astaga aku dihina. Baru kali ini ada yang mengataiku, ya memang tubuhku kecil sih.

Dasar brengsek! Umpatku kesal dalam Bahasa Indonesia. Aku yakin ia tidak akan ngerti.

"Hei, jangan marah dong aku nggak brengsek. Tadi itu hanya gurauan." Tunggu, dia mengerti bahasaku? Kok bisa.

"Kamu...ngerti?" tanyaku lirih.

"Yaiyalah, aku orang Indonesia" jawabnya santai. Tapi kemarin dia bilangnya orang Jepang. Ah agak gesrek nih orang.

"Tapi, bukanya Jepan"

"Ah itu, aku memang orang Jepang. Tapi ada darah Indonesia yang mengalir di tubuhku. Mangkannya aku dididik bisa Bahasa Indonesia juga"

"Oohh" jawabku panjang.

"Oh doang?"

"Ya iyalah"

Merasa sudah terlalu lama di cafe ini. Dia mengajakku jalan-jalan. Shopping-lah, tapi yang bayarin dia. Coffe tadipun dia yang bayari. Untung dia gak sayang sama uangnya, jadi uangku aman.

Gak usah banyak bacot :vv yang penting jangan lupa vote dan comment ya :vv salam cantik :**

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang