3

3.2K 335 58
                                    

Apa persamaan antara kamu dan burger keju?
Sama-sama ngangenin.
···

KETIGA sahabat gue sontak heboh melihat seorang gadis berambut pendek yang sedang menuju ke tempat pengambilan saus dan sedotan.

"Manis, anjir!" tentu saja itu suara Deon.

"Eh, iya, beneran angkatan kita. Warna biru seragamnya." Timpal Arkan.

"Mau duduk mana tuh dia?" tanya Dimas. Matanya mengikuti arah gerak gadis itu.

"Kal, katanya lo penasaran, tuh ceweknya di belakang," celetuk Arkan.

Gue melirik sekilas ke belakang kemudian kembali sibuk bermain HP.

Ia berdiri membelakangi kami dan hanya rambutnya saja yang terlihat.

"Dia gak noleh-noleh ke sini," Arkan terdengar gemas, "gue pengen liat mukanya."

Mengabaikan suara ketiga sahabat gue itu, gue mengetik sms ke Bik Sarti.

Me: Saikal ada di kfc. Lagi makan. Jgn bilang mami ya, Bik.

Bik Sarti: iya, Tuan, bibik khawatir banget. Yaudah ya, Tuan, hati-hati.

Me: 👌

"Woi, Kal, liat ke belakang!" Arkan heboh memukul kaki gue yang sengaja gue rentangkan di atas meja. "Liat itu! Cepet ih!"

"Apa sih," gue menoleh malas ke arah belakang.

Gadis itu berambut pendek, tapi mengembang dan terlihat cocok sekali dengan wajahnya yang tirus dan putih.

Gue hanya tersenyum miring, dan ketika berbalik badan lagi, gue melemparkan tatapan sebal ke arah Arkan. "Gitu doang. Apa cakepnya sih?!"

Deon menyenggol lengan gue, "manis banget! Gemes gue anjir! Mukanya kaya cewe-cewe Jepang gitu."

"Kalo mirip orang Jepang belum tentu cakep kan? Lol." gue memutar bola mata gue kesal.

"Bukan gitu," suara Arkan mulai heboh lagi, sepertinya pengunjung lain akan merasa terganggu dengan keberadaan kami.

"Cewek itu," Arkan menunjuk gadis itu dengan telunjuknya, "yang nabrak lo kemaren!"

"Hah?!" gue duduk dengan tegak, "yang mana orangnya? Yang cewek itu? Dia yang nabrak gue?"

Deon dan Dimas menatap gue aneh.

Oh, sekarang malah gue yang keliatan beringas.

Gue mengatur napas gue dan beringsut kembali di sofa. Tapi sedetik kemudian gue kembali duduk tegak, "beneran, Ar? Lo yakin itu cewek yang nabrak gue?"

Arkan mengangguk singkat. Sedotan pepsi masih ada di dalam mulutnya.

"Wah, gak bisa dibiarin!"

"Apa sih, Kal?" Dimas menyomot kentang goreng dan mengunyahya sebelum melanjutkan pembicaraan, "mungkin dia gak sengaja."

"Lo mau bales dendam? Cewek woi!" Deon terkekeh.

"Gak bisa." gue mengibas tangan gue di udara, "tangan gue sampe lecet tau gak?! Dan dia gak minta maaf lagi. Dih."

Deon mengangguk, sepertinya ia mulai mengerti sebab-muasalnya.

Tanpa perlu repot-repot ditenangkan, gue sudah berjalan lebih dulu ke arah meja gadis itu yang terletak di balkon. Letak duduk yang tepat bila saja ia akan terjun langsung ke jalan kalau merasa takut dengan gue.

Mata gadis itu sibuk menatap kendaraan yang berlalu-lalang sambil sesekali mulutnya mengunyah burger.

Gue mempercepat langkah gue, dan ketika sampai, gue langsung duduk tanpa ijin.

Gadis itu menatap gue heran, ia meletakan burger di tangannya ke atas meja dengan gugup. Matanya melirik bedge nama dan kelas gue, setelah itu tatapannya menjadi terlihat lebih santai dibandingkan pertama kali menatap gue tadi.

Gue menatapnya dengan tatapan tajam, setajam mungkin yang bisa gue lakukan. Gue melipat kedua tangan gue di atas meja, masih terus menatap dirinya yang sama bisunya dengan gue.

Setelah itu gue berdehem, "elo yang nabrak gue kemaren kan?"

Gadis itu menengadah, tampak berpikir. "Hmm, iya kali ya?" jawabnya singkat.

Gue menggeram kesal, "gara-gara lo kemaren, lengan gue yang mulus ini jadi lecet tau gak?!"

Ia mengangkat alisnya sebelah, "oh, masa sih?" tanyanya balik.

Entah kenapa nada suaranya ketika menjawab pertanyaan gue sukses membuat gue kesal sekesal-kesalnya orang kesal.

"Kalau salah itu minta maap dong! Gak diajarin ya sama ortu lo?" tanya gue, sinis.

"Maaf ya. Udah kan?" ia mengangkat burgernya, "lo bisa pergi sekarang gak? Gue mau makan nih."

"Jadi cewek sok amat. Awas lo ya." gue menunjuk dirinya sebelum beranjak.

Ia menggeser bokongnya, "udah."

Gue mengrenyit heran.

"Gue udah awas, kan?"

Gue menghela napas, kehilangan kata-kata. "Bukan, maksud gue itu-"

"Lo jadi laki banyak maunya amat sih." ia menggeser posisi duduknya, sekarang lebih mengarah ke arah balkon dibandingkan menghadap gue. Ia mengusir gue bukan hanya dengan kata-kata rupanya.

Rasa kesal gue memuncak sampai ke ubun-ubun, sebelum diri gue meledak di sini, gue segera pergi dan kembali ke tempat dimana teman-teman gue berada.

Ketiga teman gue kompak tertawa melihat raut wajah gue yang merengut ketika duduk.

Wajah gue tertekuk dalam mendengar riuhan tawa mereka. Gue makin kesal ketika meminum sedikit soda yang sekarang rasanya seperti lelehan es batu.

"Apaan nih, kaya air putih dikasih es batu." gue menggoyang-goyang gelas berbahan streofoam.

***

GUE baru saja keluar dari mobil, ketika Bik Sarti dan Suster Liana berjalan menuruni tangga menuju ke arah gue.

"Tuan," terdengar nada gugup dari Bik Sarti.

"Kenapa?" tanya gue singkat.

"Tuan Besar ada di rumah." Bik Sarti menatap takut-takut ke arah Suster Liana, setelah itu balik menatap gue, "dia pingin ketemu sama Tuan Muda."

Gue memutar bola mata gue, bosan. Dan berjalan memasuki rumah tanpa merespon kata-kata Bik Sarti.

Sesudah menaiki tangga menuju rumah, gua harus berjalan sedikit untuk naik tangga lagi yang ada di ruang tengah menuju kamar gue sendiri.

Punya rumah seperti ini benar-benar merepotkan.

Gue merebahkan diri tanpa mengganti baju, melempar tas gue asal-asalan hingga muncul suara berdebam dari lantai.

Hari ini gue capek dan kesel banget. Yang gue butuhkan saat ini adalah istirahat bukan memperdebatkan masalah kuliah dimana nanti gue bersama Papi.

Terimakasih masih setia baca dan akhirnya kita ada di bab 3. Yeayyyy💖💖

Kepribadian GANDA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang