5

3K 279 29
                                    

Kita itu seperti
ayam goreng dengan nasi ya?
Rasanya kurang kalau dipisah.
···


MOBIL Alphard itu terparkir mulus di depan lobi sekolah, bukan seperti mobil-mobil guru lainnya yang terparkir di lapangan parkir. Dua orang berseragam hitam lengkap dengan kacamata hitam langsung turun dari mobil dengan sigap, tangannya dengan gesit membuka pintu mobil agar seseorang di dalam dapat keluar.

Jelas orang yang di dalam adalah orang yang sangat penting hingga harus mendapat pengawalan yang ketat bahkan untuk pergi ke sekolah.

Sepasang sepatu kulit mengkilap lebih dulu turun ke lantai, setelah itu terlihat kemejanya yang putih bersih dan celana bahan berwarna hitam.

"Cepetan turun." perintahnya dengan suara berat yang khas.

Gue turun dari mobil dengan malas, melihat jengkel ke arah papi yang sedang berkacak pinggang memerhatikan sekolah GBS.

Kekesalan gue kemarin belum surut juga, gue malah makin kesal ketika papi tiba-tiba tadi pagi menawarkan diri untuk mengantar gue ke sekolah.

Ralat. Bukan menawarkan tapi memaksa.

Langkah gue semakin berat ketika melihat papi sedang bercengkrama dengan kepala sekolah gue.

"Loh, Pak Bagaskoro, ada apa, Pak? Hari ini sepertinya gak ada jadwal kunjungan donatur sekolah." tanya kepala sekolah gue, sok ramah.

Gue memutar bola mata gue, merasa jijik dengan orang yang penuh dengan kepura-puraan, padahal tanpa sepengetahuan papi gue, telinga gue habis dijewer olehnya.

Papi gue memasukan tangannya ke saku celana, bersikap santai tapi tidak menghilangkan rasa wibawanya. "Saya mau anter anak saya," ia melirik gue tajam, "sampai ke depan kelasnya. Nemenin dia belajar."

Kata-kata terakhirnya membuat mata gue sukses membulat, "ha?! Papi ngomongnya cuma mau nganter Saikal!"

"Oh, masa?" tanya papi santai. Ia menatap gue dengan tatapan diam-atau-papi-akan-marah.

Gue akhirnya hanya bisa meringis. Mengekori langkah papi dari belakang.

"Hati-hati ya, Pak." seruan dari Pak Kepsek, sedangkan papi gue hanya menjawabnya dengan lambaian tangan.

Gue jadi gak gentle lagi anjir. Kaya anak papi gini!!

Gue menunduk ketika melewati rombongan teman-teman gue yang sedang pergi ke arah kantin. Mereka tidak berani menyapa gue ketika melihat papi sedang berjalan bersama kedua ajudan pribadinya. Biasanya mereka tidak segan-segan untuk meneriaki gue dengan kata-kata tidak senonoh dan gue akan membalasnya dengan tinjuan kecil atau tendangan.

"Dimana kelas kamu?" tanya papi, matanya menelisik tiap kelas, memerhatikan papan penanda kelas di atas pintu.

Gue menunjuk kelas yang bangunannya beda sendiri, dengan semak-semak tak terurus di sebelah kanan dan kiri. Kelas lain berdempetan dengan koridor beratap seng, sedangkan kelas gue hanya bangunan kecil sebagai penghujung koridor.

Mata papi menyipit, setelah itu terkekeh, "aduh, kelas detensi lebih bagus kayanya."

Gue menggaruk tengkuk gue, tawa papi bukannya membuat gue tenang malah semakin membuat gue jadi gugup.

"Papi," gue merengek pelan, teman-teman gue belum ramai yang sudah sampai di kelas. "Plis ya, anterin sampe sini aja. Gak usah nemenin belajar." untuk pertama kalinya gue merengek ke ayah kandung gue sendiri.

Kalau kalian perlu tahu.

Papi berdehem, ia mengeluarkan tangan dari saku celananya dan melipat di depan dadanya. "Hmm," ia tampak menimbang, "okelah. Tapi kamu janji, ya, jangan bolos lagi. Kalo kamu berani bolos, papi jamin hari ini adalah hari terakhir kamu sekolah."

Kepribadian GANDA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang