11

2K 149 21
                                    

Ayam saus keju pun gak ada apa-apanya kalau makannya gak sama kamu.
···

SEPERTI bukan Saikal yang biasanya, gue sudah bangun dari pukul 4 pagi. Dan usaha gue sia-sia ketika ingin melanjutkan tidur.

Akhirnya setelah lelah mencoba berguling ke kanan dan ke kiri, gue menyibak selimut dan keluar dari kamar.

Baru saja hendak menuruni tangga, mata gue menyipit ke arah pojok koridor.

Cahaya lampu taman dan angin pagi yang masuk secara bebas membuat gue yakin kalau sekarang pintu balkon sedang dibuka lebar-lebar.

Setelah berjalan melewati puluhan kamar di koridor, akhirnya sampai juga gue di belakang pintu balkon.

Ini pasti Mbaknya lupa nutup pintu deh.

Tiba-tiba gue mengurungkan niat untuk menutup pintu setelah melihat sosok seseorang sedang duduk di teras balkon dengan sebatang rokok di jarinya.

Bukan siluetnya yang terlihat tapi sosok tubuh jangkungnya tercetak jelas dari pandangan gue.

Sebelum ia benar-benar sadar akan kedatangan gue, gue berniat untuk pergi.

"Saikal," panggilnya yang membuat langkah kaki gue tertahan. "Tumben udah bangun." suara paraunya yang khas setelah menghisap rokok--entah gue yang baru sadar atau bagaimana--tapi terdengar ramah.

Gue maju beberapa langkah sampai tepat berdiri di pintu balkon.

Sosoknya tersenyum hangat ke arah gue, tapi matanya gak pernah bisa bohong dari dulu. Gue tahu betul kalau sekarang mata itu mencerminkan sosoknya yang sekarang sedang benar-benar kelelahan.

Kantung mata yang hitam kontras sekali dengan warna tubuhnya, rahang wajah yang terlihat semakin mengeras tanda kalau ia semakin kurus, dan keriput yang gue baru sadari sudah timbul dibeberapa bagian wajahnya.

Dan entah kenapa gue tiba-tiba merasa bersalah.

Seharusnya ketika keluarga gue sedang mengalami masalah, gue bukan lari dan bertindak seakan-akan gue adalah korban nyata dari semua kekacauan di rumah. Padahal jelas-jelas gue adalah si anak penambah masalah.

Masalah udah banyak dan gue buat semuanya makin runyam.

How's cool, Saikal. Wow. Gue merutuki diri gue sendiri.

Gue bahkan lupa kapan terakhir kali buat orang tua gue bangga dengan diri gue dan bukannya malu karena punya anak yang buat dirinya bolak-balik dapat telepon keluh kesah dari guru-guru gue.

Dan rasa bersalah gue yang mendorong gue hingga sekarang sudah duduk berhadapan dengan papi.

"Gimana sekolah?"

Gue mengangkat bahu, bingung mau menjawab apa.

Papi tersenyum lebar. Ia menghisap rokoknya sekali sebelum melanjutkan, "udah seminggu, eh- apa dua minggu ya, Papi gak dapet telepon dari pihak sekolah. Papi kira mereka udah bosen ngaduin tentang kamu ke Papi, ternyata pas kemarin Papi yang telepon mereka, kamu tau gak jawaban mereka apa?"

Gue menggeleng bingung.

"Katanya wali kelas kamu, kamu semangat banget sekolah sampe senyum-senyum terus di kelas. Papi sempet ngira kamu ada gejala gangguan jiwa tahu," papi tergelak. Keriput di wajahnya tercetak jelas sekali.

Baru kali ini gue bisa melihatnya tertawa secara tulus bukan pura-pura akrab dengan gue karena sedang berhadapan dengan kolega bisnisnya. Padahal setelah kolega bisnisnya pulang, gue langsung diomeli dan tidak segan-segan ia membentak gue yang membuat seisi rumah ketakutan.

Kepribadian GANDA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang