1

216 5 0
                                    

Dea bersyukur hari ini hanya ada dua mata kuliah dan karena itu dia bisa pulang lebih cepat, tentu tujuannya bukan untuk pulang ke rumah tapi ke cafe tempatnya bertemu dengan Rega kemarin.

Beberapa hari terakhir ini, Dea suka menghabiskan waktu luangnya atau mengerjakan tugas di cafe itu karena tempatnya sepi. Jadi, ia bisa bersantai tanpa ada orang yang mengganggunya selain pengunjung lain.

Ia sampai sekitar lima belas menit dengan diantar taksi, sekarang masih pukul sebelas dan ia masih punya banyak waktu untuk bersantai sebelum kembali ke rumah. Dea memesan menu yang sama seperti kemarin, coklat panas dan cheese cake. Panas-panas begini minum yang panas? Bukan tanpa alasan, ia ingin menenangkan pikirannya yang sedang kacau dengan minum coklat panas. Ia pikir itu solusi yang baik, bukannya coklat dapat meningkatkan mood?

Dea mengikat rambutnya yang sebelumnya tergerai, andai saja ibunya dulu membiarkan dia memelihara rambutnya, pasti sekarang rambut hitam lurusnya itu sudah menjuntai sepanjang punggungnya.

Dea memandang ke luar cafe melalui dinding kaca. Sebenarnya cafe ini tempatnya cukup bagus dan harga menunya pun masih cocok dengan kantung pelajar juga mahasiswa, tapi karena tempatnya kurang strategis jadi cafe ini sepi. Bisa dibilang dialah pelanggan setia cafe ini, haha.

Sebuah mobil masuk ke parkiran cafe, pemiliknya keluar dari dalam mobil itu dan berjalan ke arah pintu cafe. Dea terus memperhatikan laki-laki yang baru saja masuk ke dalam cafe, rasanya de javu sekali. Ia merasa pernah bertemu dengannya, tapi dimana?

Ia coba mengingat lagi siapa pria berwajah tampan dengan hoodie hitam itu. Kalau dia benar, pria itu adalah sahabat kakaknya dulu. Dea ingin menyapanya tapi ia ragu, entah dia masih ingat Dea atau tidak. Dea memberanikan diri untuk menyapanya setelah pria itu duduk di bangku seberang "Kak Arfan?"

Pria ber-hoodie hitam itu menoleh dan mengernyitkan dahinya, "Dea?" ujarnya kemudian.

Dea segera menghampiri pria bertubuh tegap itu dan langsung memeluknya dengan erat. "Kakak bukannya di luar kota?" tanyanya dalam posisi memeluk pria itu.

"Aku udah pindah lagi ke sini, lama banget gak ketemu ya. Udah gede aja sekarang, kuliah Dey?" ujarnya membalas pelukan Dea.

"Iya kak, udah semester empat. Kakak sendiri?" Dea melepaskan pelukannya.

"Aku mau lanjut S2 di Bandung, makanya balik lagi."

Dea tidak menyangka akan kembali bertemu dengan Arfan setelah tiga belas tahun kepindahan Arfan ke luar kota. Arfan adalah sahabat dari kakak kandung Dea sewaktu SD dan sekaligus tetangga mereka. Arfan dan orangtuanya pindah keluar kota saat ia lulus SD dan saat itu umur Dea masih tujuh tahun sedangkan Arfan sudah dua belas tahun. Meskipun terpaut usia lima tahun, tapi Dea sangat dekat dengan Arfan, tentu saja karena Arfan adalah sahabat kakaknya..

"Om sama Tante juga ikut?" tanya Dea melahap cheese cake dari sendoknya.

"Enggak, mereka masih di Jogja. Ini aja aku baru sampai di Bandung dan mampir ke sini, eh malah ketemu kamu."

"Aku juga gak ngangka bakal ketemu kakak disini. Terus setelah mau tinggal dimana? Rumah yang dulu bukannya udah dijual?"

"Rencananya mau cari apartemen, kamu kesini sendirian?"

"Iya, baru aja pulang kuliah."

Mereka pun terlibat obrolan panjang dan saling bertukar cerita, wajarlah tiga belas tahun tidak bertemu. Tapi bagi Dea, wajah Arfan masih sama seperti dulu bahkan tidak berubah, wajahnya pun bersih dari kumis. Makanya Dea masih bisa mengenali pria itu.

Obrolan panjang dengan Arfan membuat Dea lupa waktu, ia kesal pada jam dinding yang menggantung di cafe ini. Selalu saja, jika ia sedang bersama orang lain maka waktu berjalan begitu cepat, tapi jika ia sedang sendirian justru waktu berjalan terasa sangat lama. Jam dinding itu sudah menunjukkan pukul tiga sore, padahal niatnya pulang pukul dua.

"Kak, kayaknya aku harus pulang sekarang deh. Kalau kemaleman takut macet."

"Naik apa?"

"Taksi, mungkin?"

"Pulang sama aku aja gimana?"

"Emang masih inget jalan ke rumah?"

"Ya ingetlah, asal rumah kamu gak pindah aja."

"Haha enggak kok, yaudah yuk."

****

Arfan mengantarkan Dea sampai ke depan rumahnya, Dea pikir pria itu lupa komplek rumahnya yang dulu tapi ternyata tidak. Malah Arfan mencari jalan pintas agar lebih cepat sampai ke rumah.

"Gak mampir dulu kak?"

"Lain kali ya, salam buat keluargamu. Masuk gih!"

"Oke kak, makasi banyak ya. Hati-hati."

Dea menatap mobil Arfan yang sudah semakin jauh, setelah mobil itu benar-benar hilang dari pandangannya, barulah ia masuk ke dalam rumah.

Ia rasa bebannya sekarang sudah hilang seluruhnya setelah bertemu dengan Arfan untuk pertama kalinya sejak tiga belas tahun lalu. Baginya, Arfan masih tidak berubah, tetap ramah dan masih menjadi penghibur yang--sangat--baik.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Ayan?" tanya seseorang sambil mengunyah keripik kentang.

"Bang Davin? YEAY ABANG PULANG! Pesenan aku mana?" Pekik Dea memeluk kakaknya dengan sangat erat.

"Udah abang masukin ke kamar,"

"Kamar aku?"

"Ya kamar abang lah!"

Dea segera melepas pelukannya dari sang kakak, lalu menatapnya dengan tajam seolah berkata 'liat aja setelah ini kamar Abang bakal aku ancurin' lewat bahasa matanya. Davin baru pulang dari Jepang, dia kuliah sekaligus mengelola restoran Indonesia milik papanya di sana dan dia pulang setiap enam bulan sekali, mengikuti jadwal kuliahnya. Setiap akan pulang, Dea selalu minta dibawakan coklat dan sushi khas Jepang.

"Pulang bareng siapa?"

"Kak Arfan,"

"Oh--Arfan siapa?" Davin menautkan alisnya.

"Lah lupa? Arfandy Mahendra sahabat Abang sejak kalian masih pipis di celana!"

Davin masih diam dan Dea pikir otaknya yang kadang lemot itu sedang memproses kata-kata yang barusan Dea ucapkan. Memang kadang otak Davin itu lola alias loading lama, untung ganteng.

"Demi apa lo dianter Arfan?!" pekik Davin membuat Dea terlonjak kaget.

"Demi apapun asal bukan Demi Lovato! Udah ah, aku mau masuk kamar. Bye!"

Dea meninggalkan Davin yang masih penasaran dengan pertemuan Dea dan Arfan. "Lo hutang cerita sama gue, Dey!" teriak Davin.

Dea melupakan sesuatu, ia belum menghubungi Rega hari ini. Ia segera mencari ponselnya dan mengirimkan pesan singkat untuk kekasihnya lewat Line.

Dea : Ga, maaf baru ngabarin ya. Aku baru sampe rumah, gimana latihannya?

Rega : Iya gpp, ini baru mau mulai. Mungkin ntr selesainya malem, jadi maaf kalau aku gk bls chat km.

Kayla Deanisa : Iya gapapa, semangat ya. Jangan lupa makan

Hanya dua pesan itu yang Dea kirimkan pada Rega. Apapun alasannya, harusnya laki-laki yang menghubungi perempuan terlebih dahulu, bukan sebaliknya.

 

Love and LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang