// n i n e \\

210 30 8
                                    

AKHIRNYA YANG DITUNGGU DATANG UUGAA

-Harry's POV-

"Wow, mate, itu hal yang bagus. Mencium seorang gadis .. artinya hubungan kalian bertambah dalam!" Seru Niall sembari menyesap kopinya.

Liam kemudian tersenyum, lalu tiba - tiba ia menatapku.

"Kau baik - baik saja? Sejak kejadian mantan istrimu dipermalukan, kau linglung terus."

Aku hanya tertawa tanpa suara, "Aku juga tidak tahu."

"Restaurant ini bagus kan? Aku mendapatkan rekomendasi dari temanku. Cakenya juga enak!"

Mataku memandangi sekitar cafe yang tidak terlalu ramai ini. Beberapa orang tengah mengantri untuk memesan, dan beberapa sedang memainkan gadget mereka selagi menyesap minuman yang mereka pesan.

Aku menatap seorang pelayan yang tengah membersihkan lantai dengan penuh kesabaran. Tangannya cekatan memegang alat pel lalu menggeretnya kesana kemari.

Mataku membulat--Fray lagi - lagi! Sebenarnya, berapa pekerjaan yang ia punya?

"Mbak! Mbak!" Niall berteriak memanggil dan dia dengan cepat menoleh. Memasangkan matanya ke arahku dan sama terkejutnya dengan diriku sedetik yang lalu.

"Astaga, Ni, dia mantan istri Harry." Liam berbisik. Dan, Niall tiba - tiba saja merutuki dirinya.

Fray terlihat memanggil seseorang dan lalu seseorang yang dipanggilnya itu bergerak menuju ke arah kami.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

*
*
*

"Harry, aku duluan ya!"

Dan, begitulah, hanya tinggal aku sendiri tengah bermain dengan laptopku di sebuah cafe yang hampir tutup.

Aku menatap beberapa pelayan yang tengah membereskan restaurant sembari bercengkrama tertawa.

Fray muncul dari balik tirai pegawai--menggunakan sebuah sweater putih dan sepertinya ia sudah siap pulang.

Cewek itu sedikit membungkuk memberi salam sembari tersenyum kepada pegawai yang lain lalu melangkah keluar.

Kakiku bergerak sendiri. Aku bersumpah. Kakiku bergerak sendiri melangkah cepat untuk mengimbangi jarakku dengan Fray.

"Fray!" Aku memanggil dan tanganku sudah berada di bahunya. Ia menoleh dan menatapku kaget.

"Eung, hmm, jadi, aku punya dua tiket masuk ke festival malam. Tapi, Lily, tidak bisa..."

"Lalu?"

Aku menampilkan senyum canggungku, "Buatmu dua - duanya. Expirednya dua hari lagi. Jadi, kau bisa mengajak temanmu."

Fray membeku dengan dua tiket di tangannya selagi aku berbalik dan melangkah pelan.

Bukan, tiket itu bukan sisaan. Itu adalah hadiahku untuk ketulusan yang selama ini dia berikan padaku.

Aku tersenyum lirih, lalu masuk ke dalam kafe untuk membereskan barang - barangku.

Sebuah tangan menggapai bahuku dan aku menoleh, ternyata Fray.

"Ada apa?"

"P-pergi bersamaku?"

***

Sungguh keadaan begitu canggung. Aku dan Fray melangkah menelusuri sebuah festival malam tidak berbicara satu sama lain.

Tadi sih tidak, kami sama - sama bermain Viking, anak panah, membeli boneka. Tapi, setelah, aku salah memanggilnya menjadi Lily.

Suasanya berubah.

Fray berhenti melangkah lalu menengok menatapku. Tangannya menggenggam sebuah tas selempang yang ia bawa.

"Aku pulang duluan ya."

"T-tapi, festivalnya belum selesai,"

Dia tersenyum--menandakan bahwa ia sudah puas. Aku menatap kepergian Fray, punggungnya yang bergetar selagi ia melangkah yakin.

Dan, hanya dengan begitulah, aku bergerak mengikuti kemanapun ia pergi. Ia melangkah keluar ke kegelapan mendaki bukit, melewati semak dan pepohonan.

Mulutku terbuka melihat pemandangan yang ada di depan. Pemandangan kota London dari malam hari, dan sebuah tikar menginjak daratan, dan Fray yang tengah santai duduk.

Aku memberanikan diriku untuk duduk di sebelahnya dan ia menatapku kaget lagi dan lagi.

"Kaget? Aku juga." Ujarku asal.

Fray menunduk lalu tiba - tiba saja aku melihat air mata jatuh dari ujung matanya.

"Kau kenapa?"

"Aku yang harus bertanya, mengapa engkau begitu baik padaku saat kita akan bercerai?"

Aku menggeleng tidak tahu, merasa penuh bersalah. Air matanya kembali mengalir.

Tiba - tiba saja, saat kami dilanda keheningan, seekor kucing terseok - seok melangkah ke arah Fray. Kucing itu kehilangan kaki belakangnya.

Fray mengelus kucing itu lalu membawanya kepelukannya.

"Kenapa kau mau menyayangi kucing itu? Dia pincang sebelah."

Fray tersenyum lalu mencium puncak kepala kucing itu, dan lagi aku mengernyit.

"Karena, cinta yang tulus adalah cinta yang tidak memandang kekurangan sebagai kekurangan."

Ia menatapku sebentar lalu kembali menatap kucing yang sekarang sudah tertidur lelap. Tangannya bergerak mengelus bulu - bulu kucing itu halus.

"Ia memandang kekurangan sebagai kelebihan, alasan untuk mencintai, menyayangi, dan melindungi sosok tersebut."

Aku terhenyak, "Bagaimana pertama kali kau melihat kucing itu?"

"Jijik. Seperti bagaimana orang - orang memandangku, lalu ia datang mengeluskan kepalanya kepadaku. Dan, saat itu juga,

Aku berhenti memandang penampilannya, menerima segala kekurangannya, dan saat itu juga aku memeluknya. Merasakan kebahagiaan bersamanya."

Ia tersenyum, "Sudah malam, aku aku akan kembali."

Rasa sakit dari perkataannya menjalar ke hatiku, menusuk - nusuk dari dalam, dan sebuah perasaan aneh saat aku memandang Fray. Tidak ada lagi perasaan bahwa ia sesosok yang penuh kekurangan.

Ia manusia. Ia seorang wanita dengan senyuman yang cantik. Hatiku tidak terasa mengganjal lagi saat mengingat bahwa ia adalah istriku.

Aku menatapnya dan tiba - tiba saja tersenyum, melihatnya begitu menyayangi seekor kucing.

Kucing itu bangun lalu ia pergi dari dekapan Fray. Gadis itu mulai bangkit dari duduknya, dan saat itu aku menarik tangannya kembali duduk. Membawanya ke dekapanku dan menyatukan bibir kami.

Aku sudah gila.

Tapi, perasaan hangat itu menyelusup masuk ke tubuhku dan aku tersenyum.

They Don't Know About Us // h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang