Prolog

2.8K 353 97
                                    

Di bawah purnama berselimut bintang, hutan itu terlihat damai. Seekor burung hantu bertengger di salah satu ranting pohon terkokoh, menatap tajam ke setiap sudut hutan untuk mencari mangsa. Malam ini seharusnya malam yang mudah, tapi hewan itu tidak menemukan apa pun.

Segalanya terlalu sunyi, bahkan para jangkrik absen. Sampai dua ratus meter jauhnya, tampak sepasang manusia berlari tergesa, ketakutan dan tanpa arah. Persis tikus-tikus kecil yang hendak dimangsa. Mengikuti instingnya, si burung hantu merentangkan sayapnya dan pergi.

Pasangan itu melangkahkan kaki selebar mungkin, diiringi bunyi gemerisik dedaunan dan ranting patah yang diinjak. Si pria menggandeng tangan wanitanya, begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, tidak peduli kalau cengkramannya menimbulkan bekas kemerahan di sekitar telapak tangan kekasihnya itu--sebetulnya, mereka bahkan tidak menghiraukan hal itu untuk saat ini.

Suara desisan mulai terdengar, semakin lama semakin dekat dan keras, membawa serta semilir kengerian yang membekukan darah. Pria itu tidak punya pilihan lagi. Ia memasukkan tangan bebasnya ke balik saku jaket, kemudian mengeluarkan sebatang tongkat kayu ramping sepanjang dua puluh tujuh senti, dengan ukiran-ukiran kasar di pangkal tongkatnya.

"STUPEFY!"

Kilatan cahaya berwarna merah meluncur keluar dari ujung tongkat pemuda tersebut, mengarah pada sosok ular setinggi tiga meter yang kini terlihat semakin besar di belakang mereka. Cahaya tersebut mengenai sisi kanan tubuh ular yang bersisik tajam, tapi tampaknya tidak berefek banyak baginya. Si ular terus mengejar mereka tanpa menghentikan lajunya, dengan mulut yang terbuka lebar hingga memamerkan taring-taringnya yang tajam dan kekuningan di bawah sinar bulan.

Mereka yakin, kalau ular itu sanggup memakan mereka berdua sekaligus dalam sekali lahap.

Pria itu belum menyerah, ia terus meluncurkan kilat-kilat aneh dari ujung tongkatnya--kali ini dengan berbagai macam warna, dan salah satu kilat akhirnya berhasil melukai mata si ular. Sedangkan gadis di sampingnya hanya bisa melihat kejadian itu tanpa mengatakan apapun, walaupun sebenarnya di kepalanya tersimpan berbagai pertanyaan.

Tapi yang penting adalah sekarang mereka harus kabur, berlari secepatnya.

Hingga kemudian wanita itu tersandung, dan mereka berdua sama-sama terjatuh.

Wanita berambut pendek tersebut memejamkan matanya dengan jantung yang berdegup semakin kencang. Ia sudah mempersiapkan dirinya ketika suara desisan ular terdengar semakin keras dan mendekati wajahnya. Detik kemudian, masih dengan mata tertutup, ia merasakan sebuah kilatan cahaya menyala di depannya, bersama desisan geram si ular yang menggetarkan udara.

Dia pikir mungkin dia sudah mati, dan cukup bersyukur karena ternyata kematian tidak sesakit yang ia bayangkan selama ini. Hanya kilatan cahaya.

Sampai sebuah suara berat yang asing mengagetkannya, "Bawa kekasihmu pergi, Casey! Kami akan menangani ini." 

Wanita itu membuka matanya, dan terkejut ketika ia mendapati kalau ternyata mereka belum mati. Lebih terkejut lagi ketika melihat segerombolan orang asing--mungkin belasan jumlahnya--tiba-tiba muncul entah dari mana di sekitarnya, mengepung si ular raksasa dengan tongkat teracung di tangan mereka.

"Ayo." Casey bangkit sambil menarik wanita itu, berlari meninggalkan pasukan yang bertempur melawan ular raksasa, sebelum wanita tersebut sempat melontarkan ribuan pertanyaan yang berdesakan di kepalanya hingga terasa ingin pecah.

Mereka tiba di pinggir hutan yang berbatasan dengan jalan beraspal. Jalan ini sepi, tanpa tiang-tiang lampu jalan, dengan lubang di sana sini sehingga tampak tidak terawat dan terkesan jauh lebih gelap ketika malam hari. 

Setelah memastikan situasi sudah cukup aman dan jantungnya sudah kembali memompa darah dengan kecepatan normal, wanita itu menghentikan langkahnya dan menghadap si pemuda jangkung di sampingnya.

"Casey--"

"Shh.." Casey menyentuh kedua bibir wanita itu dengan jari telunjuknya. Kemudian ia mengangkat tongkat rampingnya ke depan wajah kekasihnya yang masih tampak kebingungan.

"Maafkan aku, Bri. Obliviate."

***

---------

Bewitched (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang