Bab 17. Pengkhianatan

526 129 5
                                    

Brianna bergegas mengikuti Nicholas dan meninggalkan supnya yang tinggal setengah dengan alasan kenyang. Perlahan, mereka bergerak turun di sepanjang tangga lembab dan tiba di sebuah ruang bawah tanah yang pengap. Semakin dalam mereka melangkah, aroma seperti campuran telur busuk dan bangkai binatang semakin kuat menusuk indra penciuman. Brianna menurunkan lengan kiri sweternya saat Bernardus menyalakan obor-obor kecil di dinding batu. Udara di bawah sini terasa lebih dingin dari luar dengan absennya mantel tebal yang membungkus tubuh Brianna.

Ruang bawah tanah tidak lebih besar dari ukuran rumah Bernardus, atau mungkin terasa seperti itu karena ketiga sisinya disesaki rak, di mana aneka botol dan toples yang tidak terhitung jumlahnya berderet di sepanjang alas papan kayu tersebut. Brianna tidak mengerti bagaimana ahli ramuan itu bisa mengingat letak setiap benda yang ia taruh, karena beberapa wadah berbentuk nyaris sama dengan isi yang mirip. Ada sebuah toples seukuran tempat kue berisi sesuatu seperti nanah oranye, dan dua tingkat di atasnya terdapat toples berbentuk sama dengan cairan kuning kemerahan menggelegak di dalamnya dengan label berbeda. Gadis itu berjengit saat melihat toples-toples kaca lain yang berisi kalajengking dan kecoa hidup.

"Polijus?" tebak Nicholas saat menunjuk sebuah kuali besar tertutup yang sedang direbus di tengah-tengah ruangan. Beberapa kuali di sekitarnya lebih kecil, sebagian kosong, ada yang hangus, dan beberapa terisi cairan yang terlihat seperti bubur untuk troll—menjijikkan.

"Ramuan Penua," sahut Bernardus sambil menelusuri kedua tangannya pada salah satu rak, mengangkat satu persatu botol kaca dan meletakkannya kembali setelah membaca label yang tidak ia cari. "Tidak hanya Polijus yang direbus lebih dari satu minggu, Kawan. Dan kau tidak menutup kuali saat merebus bahan Polijus."

"Sial," umpat Nicholas pelan. Brianna bisa membayangkan tatapan cemberut yang Nicholas lontarkan pada kuali besar itu seolah semua ini adalah salahnya.

"Bagaimana kau bisa tahan berada di ruangan ini?" Tanpa sengaja, Brianna mengutarakan pikirannya dengan keras.

"Ini adalah bagian dari hidupku, Nona Ashton." Bernardus mengambil botol lain, dan lagi-lagi menurunkannya, kali ini lebih cepat sehingga terdengar bunyi pelan ketukan kaca. "Kau akan tahu jika kau mengerti esensi ramuan yang sebenarnya. Ramuan, benda sihir yang paling ajaib yang bisa kau temui. Seni yang paling menakjubkan, paling memikat hati."

Jika rambut Bernardus berwarna hitam pekat dan sebahu alih-alih pirang keriting, Brianna akan memanggilnya 'Snape'. Gadis itu tersenyum saat teringat salah satu kalimat tokoh fiksi favoritnya yang legendaris. " ... Bewitch the mind, ensnare the senses, and even put a stopper in death—menyihir pikiran, menjerat indra, dan menyumbat kematian."

"Persis!" seru Bernardus, terkagum.

"Taruhan, kau ambil kutipan itu dari novel Harry Potter," kata Nicholas datar.

"Kau baca Harry Potter? Untuk apa kau baca itu?" Bernardus menghampiri Nicholas dan Brianna dengan sebotol cairan kental hijau terang. Lalu, kepada Nicholas ia mengatakan sambil menyerahkan ramuan itu, "Bayarlah hanya jika kau kembali membawa Casey dengan selamat. Itu baru sepadan."

"Sebenarnya aku dulunya--" Brianna berhenti sejenak saat Nicholas mendengus keras. "Er, gila buku."

"Hmm, bisa dimengerti. Semua orang punya kegilaan masing-masing." Bernardus mengedipkan sebelah mata, kemudian melangkah naik ke tangga. Saat Brianna baru saja ingin mengikuti Nicholas dari belakang, sebuah pantulan yang bersinar menarik perhatiannya.

"Darah unicorn?" seru Brianna, terkesiap saat mengambil salah satu toples di rak paling bawah, tertutup kuali yang hangus. Benda itu berat dan terasa dingin di telapak tangannya. Ia terpana pada cairan perak yang berkilauan di dalam, memantulkan bayangan wajahnya sendiri. "Bukankah ini illegal?"

Tiba-tiba Bernardus berlari menghampiri Brianna dengan mata melotot ngeri hingga gadis itu melompat terkejut. "Itu lelehan kuali perak kesayanganku yang terbakar. Jangan buka, atau kau akan mendapat kulit tangan yang melepuh selamanya!"

"Aku tidak bermaksud—"

"Minggir!"

Brianna mengaduh saat Bernardus mendorong lengannya yang diperban. Pria itu menarik toples cairan perak itu dari tangan Brianna, menyihirnya ke tempat tertinggi sebelum ditutupi toples-toples lain hingga tidak kelihatan. Tangan Bernardus gemetaran, dia menarik napas dengan suara berat.

"Kau menjadi overprotektif," komentar Nicholas, matanya memicing pada sahabatnya sebelum berbalik menaiki tangga.

Sepanjang sisa malam itu, Bernardus berulang kali meminta maaf pada Brianna atas keagresifannya tadi, dan terus menawarkan diri untuk membantunya saat gadis itu membuka perban dan hendak mengolesi luka dengan Sari Murtlap. Brianna menolak dengan halus, berkata dengan tulus bahwa dia sama sekali tidak menyalahkan Bernardus. Melihat tuan rumah itu nyaris menangis saking menyesalnya membuat Brianna merasa jauh lebih bersalah.

Nicholas tidak mengatakan apa pun, bahkan saat mereka menggeser meja dan kursi ke pinggir agar dia dan Brianna bisa beristirahat di depan perapian dengan kantong tidur ternyaman yang disediakan Bernardus, karena rumah ini hanya memiliki satu kamar tidur. Saat si tuan rumah sudah lama menghilang di balik pintu kamar, meninggalkan kedua tamunya dengan telapak kaki menghadap perapian nyaris redup, Brianna masih belum bisa tidur.

Gadis itu memposisikan tubuh menghadap kanan agar lengan kirinya tidak tertekan, sehingga ia bisa melihat siluet kepala Nicholas yang menghadap atas, tidak bergerak bagai patung. Pria itu juga belum memejamkan mata.

"Apa yang kau pikirkan sedari tadi?" tanya Brianna dengan suara pelan, takut mengganggu Bernardus yang mungkin saja sudah terlelap sekarang.

Alih-alih menjawab pertanyaan Brianna, Nicholas malah berkata, "Seharusnya kau tidur sekarang."

"Kau sendiri belum tidur."

"Kau mengganggu proses kantukku."

Mendengus kesal, Brianna memutuskan untuk tidak membalasnya dan segera memejamkan mata. Nicholas jelas bukan teman perjalanan yang menyenangkan, jika mengesampingkan fakta kalau pria itu lebih hebat bertarung dan menyelamatkan Brianna berkali-kali. Brianna ingin menanyakan soal Casey dan segudang hal yang masih belum ia ketahui, tapi Nicholas tidak pernah menunjukkan kemurahan hati untuk memberi penjelasan lebih jauh padanya. Perlahan, Brianna membuat posisi tubuhnya menjadi telentang, memikirkan sendiri apa yang akan mereka lakukan besok hingga tak lama kemudian rasa kantuk benar-benar menyerangnya.

Malam sudah semakin pekat dan suara burung hantu beserta bunyi kayu yang terbakar di perapian mewarnai keheningan sementara Brianna terlelap dalam mimpi yang membawanya jauh kembali pada kehangatan rumah. Brianna tersentak dan menatap langit-langit kayu dengan kebingungan, kecewa karena makan malam Natal bersama keluarganya dan Casey barusan tidaklah nyata. Gadis itu melirik ke arah sumber suara yang membangunkannya, pada bayangan burung yang mematuk-matuk kaca jendela dari luar.

Bergegas bangkit dan menghampiri burung itu, Brianna membuka jendela sambil memekik senang. "Brie!" Dia menarik kusen kayu ke atas, membiarkan burung hantu berbulu coklat dengan bintik-bintik putih tersebut masuk. Tanpa menyapa pemilik sementaranya terlebih dahulu, Brie segera menerobos, tahu persis di mana letak sangkarnya.

Brianna membuka sangkar untuk burung hantu itu. Namun Brie masih mengepakkan sayap di sekitar sangkar, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berdiam di balik jeruji besi yang berisi bangkai kecoa—gadis itu meminta dari Bernardus, berjaga-jaga jika Brie kembali dan ingin makan.

"Apa yang terjadi?" tanya Brianna, mengelus kepala Brie yang lembut. Gadis itu menoleh ke arah Nicholas, berjaga seandainya ia terganggu oleh kebisingan burung hantu itu, kemudian terkesiap saat mendapati kantong tidur pria itu tidak berisi. Koper dan sepatu bots Nicholas tidak ada di tempatnya. Di saat itu juga lah Brianna menyadari lubang menuju bawah tanah yang menganga di tengah ruang tamu. Padahal di luar sana masih gelap.

Brie sedikit memberontak saat Brianna membujuknya masuk ke sangkar. Dia mengambil mantel dan sepatu bots di dekat meja dan memakainya cepat, instingnya menyuruh gadis itu berjaga dengan tongkat sihir teracung di tangan. Suara derapan sepatu yang menaiki tangga bawah tanah terdengar, membuat jantung Brianna berdegup kencang.

"Nicholas?" panggilnya pelan. Apa yang dilihat Brianna selanjutnya membuat matanya melotot terkejut.

Keluar dari ruang bawah tanah, Nicholas menyeret seseorang di depannya dengan paksa, ujung tongkat sihir pria itu mengarah ke leher sang tuan rumah yang ketakutan.

Bewitched (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang