Bab 5. Surat Hogwarts

902 197 57
                                    

Brianna tidak bisa menahan diri sampai keesokan harinya untuk menanti kepulangan Casey. Belum pernah ia sepanik dan seketakutan ini, sejak ayahnya kecelakaan di depannya ketika ia berusia sepuluh tahun. Mengingat ekspresi Casey tadi, pesan terakhirnya, dan betapa ia terburu-buru meninggalkannya, Brianna merasa kalau sesuatu yang besar telah terjadi, dan kemungkinan besar Casey berada dalam bahaya. Ia harus melakukan sesuatu, segera. 

Tidak peduli kalau ia hanya muggle.

Jadi, siang itu, setelah memakan roti seadanya, ia bergegas meninggalkan apartemen Casey, nyaris lupa untuk menguncinya kembali, lalu memesan taksi untuk pulang ke rumah.

"Moooom! Bri pulaang!" teriak Owen, salah satu adik tirinya yang berusia lima tahun ketika Brianna membuka pintu rumah. Ia berlarian di ruang tamu, menghindari Oscar, saudara kembarnya, sambil mengayunkan pedang mainan yang menyala dan topi Santa Claus di kepalanya.

"Hei, Bri," sapa Matt sambil mengeluarkan tumpukan buku dan barang lainnya dari rak di ruang tamu. Ia juga memakai topi Santa Claus dan sweter rajutan bergambar rusa.

Di sisi lain ruangan terdapat sebuah kardus besar yang berisi pohon natal sintetis yang bisa dipasang dan dilepas kembali. Brianna mengasumsikan kalau ayah tirinya sedang berusaha memindahkan rak agar mereka bisa menempatkan pohon natal di area tersebut agar terlihat mencolok. Mereka selalu menyebut ini sebagai hari Minggu-sibuk-mendekati-akhir-tahun yang biasa.

"Hei, Dad," balas Brianna sambil melangkah dengan hati-hati, menghindari tumpukan majalah dan buku resep yang berserakan di atas lantai.

"Kupikir kau akan tinggal beberapa hari lagi di tempat Casey," seru Jeanine sambil menjulurkan lehernya dari arah dapur. Samar-samar Brianna mencium bau sup tomat dan kentang goreng, favoritnya.

"Aku hanya mengambil barang sebentar, Mom," jawab Brianna, lalu ia segera menuju kamarnya, meninggalkan Matt yang masih membereskan rak sambil menggerutu soal tumpukan buku yang tidak pernah disentuh selama bertahun-tahun.

Brianna menyambar ranselnya, lalu menumpahkan buku-buku Psikologi di dalamnya ke atas kasurnya. Kemudian ia berbalik, membuka lemari pakaiannya dan menyambar salah satu mantel bulu sintetis yang paling nyaman dan beberapa helai pakaian hangat. Ia menghampiri rak di sebelahnya, dan mengambil barang-barang yang menurutnya berguna: pisau lipat perak kecil yang biasa ia pakai di kegiatan pramuka, gunting besi, kompas, beberapa sapu tangan, senter, sepasang sarung tangan wol, dan sebuah buku tulis kecil dan pena. Semua itu dijejalkannya ke dalam ransel.

Ia baru saja selesai memakai mantelnya dan sepatu bots hangat ketika matanya menangkap sebuah kalung bersimbol Deathly Hallows yang tergeletak di atas nakas. Brianna menimbang sejenak, lalu mengambil kalung tersebut dan memakainya. Gadis itu memiliki firasat yang kuat kalau ia tidak akan bisa melihat rumahnya lagi dalam waktu dekat, dan ia membutuhkan keberuntungan untuk mengatasi kepanikannya.

"Kau ingin ke mana?" tanya Jeanine ketika Brianna keluar dari kamarnya. Ibunya masih mengenakan celemek yang penuh noda sup dan saus ketika menghampirinya. 

"Aku dan Casey akan pergi liburan," dustanya. Sebenarnya Brianna ingin menceritakan kepada ibunya atas apa yang terjadi. Tapi mengingat Casey adalah penyihir, dan masalah yang ia hadapi kemungkinan besar tidak bisa ditangani oleh polisi biasa, Brianna memutuskan untuk merahasiakannya sementara.

Jeanine mendesah kecewa. "Semendadak ini? Padahal aku ingin mengundangnya makan malam."

Mau tidak mau Brianna jadi merasa bersalah, dan perasaan itu semakin menyesakkan hatinya ketika ia menyadari kalau ia sendiri tidak yakin Casey bisa menghadiri acara makan malam hari ini. "Maafkan aku, Mom. Casey sudah memesan tiket ke Oxford untuk kami berdua."

"Tidak apa-apa, bersenang-senanglah." Jeanine tersenyum. "Apa uangmu cukup? Perlu kuberi sedikit tambahan?" 

"Tidak masalah, Mum. Aku masih memiliki banyak tabungan." Berkat kebiasaan berhemat dan upah kerja sambilan yang ia lakukan ketika SMA dulu memang membuat Brianna memiliki tabungan sendiri. Brianna menatap ibunya, merasa dorongan yang kuat  untuk memeluknya.

"Tidak, tunggu sebentar," tolak Jeanine ketika Brianna melebarkan lengannya. Jeanine melepaskan celemeknya, lalu menggantungkannya di sandaran sofa, kemudian memeluk Brianna singkat. "Kembalilah sebelum Natal," ucapnya sambil merapikan rambut cokelat pendek anak perempuan satu-satunya.

"Tentu," kata Brianna, lebih kepada dirinya sendiri. Tidak mampu menatap mata ibunya lebih lama, ia memalingkan pandangannya pada Matt yang sibuk memarahi kedua adik kembarnya yang mulai membongkar majalah yang telah tersusun rapi di dalam kardus. Brianna harus menahan diri untuk tidak mengetuk meja kayu di sampingnya, atau ibunya akan tahu kalau ia sedang gelisah.

"Anak-anak, hentikan! Atau kalian tidak akan mendapat hadiah Natal nanti!" ancam Matt sambil menggeser rak yang sudah hampir kosong ke samping sofa.

"Owen yang membongkarnya! Aku hanya melihat-lihat!" Oscar membela diri sambil mengambil sebuah majalah memasak, lalu membukanya. "Mom, aku mau ini!" serunya sambil menunjuk gambar pai apel dengan potongan buah di atasnya.

"Jauhkan tangan kalian dari majalah itu atau Ibu kalian tidak akan menyiapkan pai apel sebagai hidangan Natal," teriak Dad ketika ia juga melirik apa yang ditunjuk Oscar. "Dan kuulangi, tidak akan ada mainan baru." Tapi kedua saudara kembar itu tidak menghiraukannya.

Mom menghampiri Oscar dan menariknya menjauh. "Ayo, anak nakal. Jangan mengganggu ayahmu." 

"Woah, lihat, Oscar, ini dinosaurus yang besar!" seru Owen yang sibuk di kardus lain sambil menunjuk ke dalam kardus. Brianna menghampiri Owen, dan menatap ensiklopedia zaman purba dengan gambar Triceraptos di sampulnya yang merupakan miliknya ketika ia kecil. Itu adalah hadiah ulang tahun ke-delapan dari ayah kandungnya, yang tidak pernah ia sentuh lagi sejak ayahnya meninggal. Brianna tidak ingin semua memori tentang ayahnya kembali berputar di kepalanya. Ia benci kehilangan. Oleh sebab itulah Brianna begitu tergesa ingin mencari kekasihnya. Ia tidak ingin kehilangan lagi.

Tapi Owen tidak mengetahui itu, dan dengan antusias, anak kecil itu mengambil ensiklopedia tebal tersebut dan membawanya ke atas sofa, diikuti oleh Oscar yang berhasil melepaskan diri dari ibunya.

"Bagus, duduk diam di sana dan jangan bergerak lagi." Sekarang Matt mengeluarkan potongan-potongan pohon Natal dari kardus.  

Brianna tersenyum tipis melihat tingkah kedua adiknya, sebelum sebuah amplop berwarna kekuningan di dalam kardus tempat ensiklopedia itu berada sebelumnya menarik perhatiannya. Ia membaca tulisan yang diukir rapi di sampulnya.

Ms B. Ashton

Sierra Wood no. 7
Gang Nomor Lima
Richmond
London

Tangan kurus Brianna terulur ke dalam kardus, membalikkan amplop tebal yang tampaknya sudah berumur beberapa tahun itu dengan penasaran. Lalu ia terkesiap ketika menemukan segel surat tersebut yang berlambang huruf 'H', dengan singa, ular, musang, dan singa di sekitarnya. Lambang sekolah Hogwarts.

Jantung Brianna nyaris berhenti berdetak.

------------

Check laci kalian, guys. Siapatahu ada surat keselip.

Bewitched (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang