Bab 1. Identitas yang Terungkap

2K 275 138
                                    

Tuk. Tuk. Tuk.

Brianna mengetuk gelas keramiknya yang sudah kosong dengan kuku-kuku jarinya yang sudah mulai panjang. Ia menyukai bunyi ketukan, dan entah bagaimana, bunyi tersebut seolah dapat membuatnya merasa lebih tenang. Dan itu adalah satu-satunya alasan mengapa ia sengaja memanjangi kuku ovalnya tersebut--jelas bukan alasan kecantikan, karena tidak seperti kebanyakan gadis-gadis seumurannya, Brianna sendiri tidak begitu mempedulikan penampilannya.

"Apa kau mau tambahan coklat panas lagi?" sebuah suara berat mengalihkan pandangan Brianna dari jendela yang sudah sebagian ditutupi salju. Sekarang sudah pertengahan Desember, dan salju tidak henti-hentinya turun sejak awal akhir bulan kemarin. Seluruh atap rumah, mobil, dan jalanan tertutupi salju setidaknya sepuluh senti meter, hingga Brianna terpaksa harus 'terperangkap' di apartemen kekasihnya, Casey. 

Mungkin kata 'terperangkap' kurang tepat, karena Brianna memang berniat untuk menginap bersama kekasihnya tersebut setelah menyelesaikan ujian akhir semester pertamanya di jurusan Psikologi dan mendapat liburan selama tiga bulan. Jadi, sebenarnya gadis itu sama sekali tidak keberatan dengan adanya salju-salju tebal di luar sana. 

"Aku sudah minum dua gelas, Casey." Brianna tertawa kecil, tapi ia tetap menyerahkan gelas keramik putih bercorak burung hantu pada Casey.

Casey tujuh tahun lebih tua dari Brianna, dengan rambut pirang yang dipotong cepak, dan janggut tipis di bawah dagunya. Ia memiliki mata biru kehijauan yang tajam, bagian yang pertama kali ditatap Brianna ketika mereka pertama kali bertemu di perpustakaan ketika ia sedang belajar untuk ujian masuk universitas. Dan mata itu jugalah yang membuat Brianna tergila-gila padanya, hingga saat ini.

Casey menyandarkan tubuhnya ke tubuh Brianna di atas sofa setelah mengisi gelas keramik tersebut, kemudian ia meminum coklat panas itu sendiri. Brianna tidak memprotes. Gadis itu masih menatap ke luar jendela, kepalanya dipenuhi oleh berbagai jenis pikiran.

"Hei, apa kau benar-benar akan merelakan gelas ketigamu ini?" Casey mengayunkan gelasnya ke depan wajah kekasihnya dari belakang sambil menahan senyum. Brianna tidak menghiraukannya, hingga burung hantu di permukaan luar gelas tersebut berkedip.

"Dia berkedip lagi," jerit Brianna tertahan sambil menahan pergelangan tangan Casey.

Casey tertawa terbahak-bahak. "Ayolah, sayang, itu hanya ilusi optik, yang akan berefek semakin parah ketika pikiranmu tidak fokus." 

Kedua tangan Casey mulai memeluk leher Brianna dari belakang. Biasanya Casey tidak seromantis ini--untuk ukuran Casey, sebenarnya tindakan ini sudah termasuk romantis. Entah kenapa, Brianna merasa kalau Casey diam-diam sedang berusaha mengusap gelas keramik tersebut.

"Casey." Brianna membalikkan tubuhnya, kemudian menghadap Casey tanpa menghiraukan kenyataan kalau syal bergaris merah emasnya mulai merosot di bahunya gara-gara ulah Casey (yeah, itu syal Gryffindor). "Ilusi optik hanya akan bekerja jika kita fokus."

Casey hanya tersenyum tipis, kemudian meletakkan gelas bercorak burung hantu (yang kali ini diam tak bergerak) ke atas meja kayu rendah di depannya. "Katanya nanti sore salju akan reda. Kau mau jalan-jalan sebentar?"

"Aku memimpikan itu lagi," kata Brianna, mengabaikan ajakan jalan-jalan sore Casey.

Senyum Casey memudar, karena ia jelas tahu apa yang dimaksud kekasihnya mengenai 'itu'. Brianna sudah menceritakannya berkali-kali pada Casey, soal mereka yang sedang berlari dan dikejar oleh ular raksasa, kemudian selebihnya ia tidak ingat lagi. Mimpinya terasa samar, seperti potongan-potongan puzzle dalam bentuk memori yang ia susun dengan berantakan. Tapi anehnya, Brianna selalu merasa dejavu setiap kali terbangun. Seolah ia memang baru saja mengalaminya.

Tapi jawaban Casey selalu sama, bahkan sampai sekarang ini.

"Kau terlalu stres akibat belajar," katanya lembut sambil mengusap rambut cokelat gelap Brianna yang sepanjang bahu.

"Yeah, mungkin aku sudah mulai gila, dan berhalusinasi. Mungkin aku terlalu sering membaca novel Harry Potter," akunya dengan lelah. 

Sesaat ekspresi Casey tampak kalut, seolah sekarang kepalanya juga dipenuhi oleh beberapa pikiran rumit. Brianna menatap kekasihnya tersebut dengan heran, karena sebetulnya ia jarang melihat Casey segelisah itu. 

"Bri..." panggilnya, "bagaimana menurutmu jika dunia seperti itu memang benar-benar ada?"

Brianna memajukan tubuhnya ke depan hingga ia bisa menatap Casey lebih jelas. "Dunia seperti apa?"

Casey mengangkat bahu, "Dunia penyihir."

Brianna mengerjap. "Aku memang suka dengan Harry Potter, tapi tidak separah itu. Oke, aku memang memimpikan mantra 'Stupefy'"--ia menghela napas--"tapi bukannya aku tergila-gila."

Kemudian Brianna teringat kalau ia telah membaca ulang serial novel Harry Potter  sebanyak lima kali, untuk masing-masing seri. Ia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Yeah, aku akui, mungkin aku memang tergila-gila. Tapi apa gunanya?"

Casey ikutan menghela napas, tapi lebih berat. Entah bagaimana, tiba-tiba saja menghela napas telah menjadi bagian dari komunikasi di antara dua insan tersebut saat itu.

"Bri." Casey menatap kekasihnya lekat-lekat, "Kita sudah berpacaran cukup lama, dan aku tidak ingin menyembunyikan ini lagi darimu."

"Kalau kau adalah penyihir?" Brianna tersenyum geli.

Hal yang membuatnya merasa aneh adalah, Casey tidak membalas senyumannya. "Ya, aku adalah penyihir."

Brianna tertawa keras, kemudian berhenti saat ia menyadari kalau tidak ada sorot dalam mata Casey yang menyiratkan kalau dirinya sedang bercanda. Sebenarnya Casey memang jarang bercanda.

"Aku serius," kata Casey sambil menatap Brianna tajam. Tatapan yang diam-diam disukai Brianna, hingga membuatnya harus menahan napas.

"Semua mantra-mantra itu," lanjutnya, "Expelliarmus, Stupefy, Expecto Patronum, Wingardium Leviosa. Aku menggunakannya."

Brianna mengerjap lagi, ia sama sekali tidak menyangka kalau Casey juga tergila-gila pada Harry Potter.

"Maaf karena kau harus menghadapi semua ini, lagi. Semoga kali ini kau siap." Casey tersenyum sedih, kemudian menjentikkan jarinya hingga semua gorden di rumahnya menutupi setiap jendela rapat-rapat.

Untuk pertama kalinya, Brianna lupa bagaimana caranya mengerjap.

-----

Jangan khawatir. Romance hanya ada di bagian awal. Setelah itu udah gak lagi kok.

Bewitched (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang