Bab 9. Diagon Alley

788 165 32
                                    

"Kau bilang kita akan ke Diagon Alley!" seru Brianna ketika mereka kembali ke tempat tinggal Nicholas. Kali ini gadis itu tidak repot-repot menyembunyikan kerutan di hidungnya ketika bau cat bercampur kayu dan kain kanvas memasuki lubang hidungnya.

"Memang," sahut Nicholas singkat, kemudian memasuki lebih dalam ke studionya, melewati gudang peralatan yang terbuka, sementara Brianna mengikutinya dari belakang dengan ragu. Nicholas berhenti di samping toilet dan mengetuk dinding bata dengan tongkat sihirnya sebanyak tiga kali.

Dari bata tempat Nicholas mengetuk, muncul sebuah lubang yang semakin membesar menjadi seukuran gerbang kecil, memperlihatkan ruangan lain di baliknya yang nyaris sama dengan studio sebelumnya. Kanvas-kanvas kosong tetap dibiarkan menumpuk di salah satu sudut, dengan lantai penuh bercak cat, kuas-kuas yang bertebaran di atasnya, dan cahaya minim dari luar yang masuk melalui pintu kaca. Satu-satunya perbedaan yang mencolok pada tempat ini hanyalah beberapa lukisan jadi yang dipajang rapi di dinding, dan semua lukisan itu bergerak.

"Ini jalan pintas rahasiaku," jelasnya ketika mereka melangkah melewati lubang. "Beritahu orang lain tentang ini, dan hidupmu tidak akan tenang."

"Kau pikir aku punya orang lain untuk diberi tahu?" Brianna menatap Nicholas, mulai tidak tahan dengan sikap menyebalkannya. Lubang di belakang mereka mulai menutup dan digantikan oleh dinding bata yang berwarna lebih gelap.

"Akhirnya punya pacar, huh?"

Brianna menoleh dengan kaget ketika seorang pria berpakaian koboi terkekeh dari balik lukisan di sampingnya. Pria koboi itu duduk di rerumputan, di bawah matahari cerah, sambil memainkan topinya dengan malas.

"Urusi saja dirimu sendiri, Zach," balas Nicholas sambil menyipit pada si pria koboi.

"Bagaimana aku bisa memiliki urusan sendiri jika kau tidak memberiku kuda?" Zach berdiri sambil berkacak pinggang setelah mendaratkan topi dengan sempurna ke atas kepalanya.

"Sehingga kau bisa berkeliaran dengan liar dan mendobrak lukisan dryad itu?" Nicholas membungkuk untuk mengambil segumpal kain putih yang tergeletak di atas lantai.

"Bilang saja kau tidak bisa melukis kuda," ejek Zach. "Tunggu, apa yang kau lakukan?" Matanya melebar ketika Nicholas membentangkan kain putih itu, lalu mengarahkannya pada lukisan Zach sambil tersenyum miring.

"Hei, jangan beran--"

Suara teriakan Zach teredam ketika Nicholas menutup lukisannya dengan kain. "Selalu paling bising," decaknya. "Kenapa dulu aku pernah melukisnya?"

Tapi ternyata tidak hanya Zach yang berisik, karena seorang pria tua bertampang bijak di salah satu lukisan terbesar bergumam, "Hei, Nak, apa kau sudah memutuskan untuk mengambil jalan yang benar?" Dan seorang anak kecil bersayap dari lukisan di permukaan piring berseru, "Rambutmu bahkan lebih panjang dari cewek itu!"

"Ingatkan aku untuk tidak menambahkan mulut ketika melukis manusia," kata Nicholas cemberut ketika mereka sudah keluar ke tepi jalan.

Tapi Brianna tidak meresponnya. Ia sudah memakai sarung tangannya ketika salju mulai turun, lalu menatap kagum ke sekitarnya dengan terpana. Diagon Alley cukup ramai saat itu, walaupun langit masih gelap akibat matahari yang tidak muncul. Orang-orang berlalu lalang memakai jubah dan topi penyihir, tapi tidak sedikit yang mengenakan mantel khas muggle mode terbaru dengan tudung berlapis bulu yang menutupi kepala.

Mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing--penyihir pria berbaju pudar dengan kuali berjalan di belakangnya, wanita tua yang membawa sebuah ember berisi lendir kehijauan, manusia setengah raksasa yang mendorong troli besar penuh kandang hewan--dan tidak menyadari Brianna yang menatap mereka dengan mulut ternganga. Gadis itu tidak menyangka kalau akhirnya ia benar-benar menginjakkan kakinya Diagon Alley. Bahkan Brie, burung hantu dalam sangkar yang ia tenteng mulai mengepakkan sayapnya dengan semangat, seolah ia juga ingin bebas menjelajahi jalan penuh sihir ini.

Bewitched (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang