15

33 5 0
                                    

Ryan PoV

Bukan hanya Linda yang melihat kejadian itu.
Namun Ryan pun melihatnya.

Tidak hanya Linda yang cemas,
Ryan pun cemas, amat cemas.

Saat sang pengirim surat itu pergi, sang pengirim menatap ryan tajam, amat tajam dari motornya.

Seolah ada yang ingin dia lampiaskan kepada Ryan.

"Mungkin Lo tau gue, mungkin sekarang Lo masih ga inget gue. Maaf gue baru bisa lakuin ini sekarang buat Lo, dan baru bisa hadir sekarang. Setidaknya, gue udah niat bantu Lo, meskipun terlambat, tapi mungkin ini ga terlambat." Bibir yang Tampa suara, tatapanya, bisa diartikan seperti itu, mungkin.

Ryan sedikit lega karna Linda telah memasuki rumah Meydina -teras rumahnya-

Ryan hanya mengetuk-ngetuk stir mobilnya.

"Siapa dia? Matanya pernah gue liat. Tapi dimana?"

"Mata hitamnya, gue yakin dia pasti kenal gue."

"Deja vu."

"Atau, dia itu ka--"

Ting!

Pesan itu menyadarkan Ryan dari opini-opini yang ada dipikirannya, sebelum opini itu lebih jauh dan lebih parah lagi.

"Linda."

Ryan memang kenal sosok itu, meydina yang memperkenalkannya, Ryan secepatnya membaca pesan itu.

-Chat-

"Lo tau siapa yang ngirim? Lo liat itu bukan?"

"Gue gak liat mukanya, ditutup, mungkin gue kenal, tapi--" Ryan membalas chat secepat kilat.

"Tapi apa?"

"Gue pernah liat orang itu dikehidupan kita bertiga."

"Gue juga ngerasa gitu, kirain cuma gue doang." *Read*

Ryan segera menancap pegal gas ke arah rumahnya, Ryan ingin pulang,

dia Lapar.

-

"Home, sweet home." Sambil melepas sepatunya.

"De Ryan?" Panggil pembantu Ryan -bi ria- dengan suara agak takut.

Ryan menaikan kepalanya, melihat bi ria yang terlihat takut.

"Kena--"

"Aduh de ryan, saya kira maling!!! Saya udah siap-siap bawa teflon buat mukul maling ini." Sambil menunjuk ke arah tangan kanannya yang tadi bersembunyi dibalik badannya.

"Masyaallah saya salah apa sih bi, sampai dikira maling?" Ryan melemaskan tubuhnya di sofa ruang tengah.

"Maaf de Ryan, mau makan apa tuan? Eh ia de Ryan, kata ibu dan bapak, ibu dan bapak akang pergi ke Surabaya kurang lebih satu minggu."

Ryan hanya mengangguk pelan.

"Mau makan apa de?" -karna memang jarak antara bi ria tidak begitu jauh, sehingga bi ria mengaggap Ryan sebagai adik, Ryan tidak keberatan.-

"Sop jagung pake telor, pake baso, pake kuetiaw, pake boncabe, pake bumbu iga, kuahnya yang kental gituu, hehehe."

Tapi Ryan sadar setelah berbicara itu, tidak ada siapa pun disekitarnya.

Bi Ari lari ke dapur.

Ryan menghampiri Bi Ari didapur yang tadi lari meninggalkannya, ngoceh sendiri diruang tengah, seperti orang gila.

"Bi-- Ryan laper." Memasang muka pucat semuka bumi, seperti tidak makan bertahun-tahun.

"Sop jagungnya lagi dimasak de, masyaallah sabar de." Tangan kanannya memang memegang sebuah tongkat sakti, namun matanya, fokus pada televisi.

Ryan melirik ke arah dapur.

"BI!!! GOSONG DONG ITU!!!"

Bi Ari langsung lari kearah masakannya.

Sedangkan Ryan?

Lari ke kamarnya.





Jangan silent readers please, komen apa coba, kamu silent readers...

Komentar para readers itu membantu mood gue buat nulis cerita ini.

Menurut kalian, yg bakal gue tulis selanjutnya tentang siapa/dimana lagi ya? Butuh pencerahan nihh hehe, coment aja ya, atau bisa di PC di Line Ica id: chairunnisa_27

Jangan lupa divote ya!!!

Salam manis dari Ica!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Just Locked In My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang