Sambil membawa satu file map plastik berisikan kertas-kertas skripsinya, Luna keluar dari ruang bimbingan menuju kantin. Ia ingin meninjau kembali coretan-coretan merah yang ditorehkan oleh dosennya atas isi skripsinya yang masih salah.
Setelah memesan satu gelas es jus choco cream dan membeli camilan kecil, Luna memilih meja yang dekat dengan lapangan sepakbola. Ia memilih sisi itu, karena kebetulan hanya tempat itulah yang agak sepi tanpa banyak pengunjung yang memilih duduk disana dan lapangan pun sedang kosong, tak ada yang menggunakan.
Ia mengeluarkan satu rangkap skrip dialog dan adegan dari film yang ia pilih sebagai bahan penelitian skripsnya, satu buah kamus besar dan beberapa kumpulan kertas berisikan teori yang ia butuhkan sebagai pendukung isi skripsinya. Pertama-tama, ia membaca setiap coretan merah dan masukan yang diberikan oleh dosennya kemudian membandingkannya kembali dengan teori yang telah dipilih serta adegan dalam skrip yang ia miliki. Dengan serius, ia memperbaikin setiap kesalahan yang telah dibuat sampai-sampai ia tak begitu menyadari ketika minumannya diantar dan lebih tak peduli lagi ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk disampingnya.
Tangannya terus mencorat-coret setiap bagian isi skripsi yang disalahkan sambil menguntai kalimat yang menurutnya lebih sesuai dengan berkali-kali membuka kamusnya.
"Lagi ngerjain skripsi ya?" tanya laki-laki disampingnya.
Luna hanya memberikan anggukan kepala tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya pada orang yang telah bertanya.
"Emang udah bab berapa sekarang?" tanya laki-laki itu lagi.
"Bab 3, awal. Sorry ya, tolong jangan tanya-tanya dulu... Gua harus konsentrasi." Luna memberikan peringatan. Ia tidak peduli akan seperti apa penilaian orang disampingnya setelah mendengar kalimat tak ramah dari mulutnya. Yang lebih ia pedulikan adalah bisa memperbaiki dan menyelesaikan skripsinya sehingga siang ini bisa kembali berkonsultasi.
Tak ada lagi perkataan yang keluar dari orang tersebut meskipun laki-laki itu masih duduk disampingnya. Tanpa, Luna sadari sebenarnya laki-laki itu adalah Arga yang kini hanya bisa menatap keseriusannya mengerjakan skripsi. Sadar kalau perempuan disampingnya itu benar-benar sedang tidak ingin diganggu, Arga tak mengatakan lagi apapun atau beranjak dari sana melainkan beralih mengeluarkan laptopnya dan ikut menyusun skripsinya yang baru memasuki bab 2.
***
Dikampus Citra Bangsa, Karin baru saja menyelesaikan urusan absensinya dengan para dosen yang beberapa minggu ini tidak ia temui. Setelah memberikan penjelasan panjang lebar, akhirnya Karin diberikan kesempatan untuk membuat tugas yang jumlahnya sangat banyak serta ujian susulan untuk mengisi kekosongan nilainya.
Saat keluar dari ruangan para dosen, handphonennya tiba-tiba berdering. Ia meliat deretan angka yang tak dikenal. Karin berhenti dan duduk diselasar depan ruang kesekretariatan untuk meneriman panggilan asing itu.
"Halo?"
Tak ada jawaban. Karin memeriksa layar handphonennya kalau-kalau tadi ia tidak sengaja malah menekan tombol telepon berwarna merah. Namun, ia justru menemukan kalau teleponnya masih tersambung.
"Halo?" tanya Karin.
"Karin."
Kedua mata Karin membulat lebar saat mengenali suara yang menyebut namanya itu. Tidak salah lagi, suara itu adalah milik Fathian.
"Gimana keadaan kamu? Lebih baik?" tanya Fathian.
Raut wajah Karin berubah sedih saat mendengar pertanyaan bernuansa khawatir itu, "Ya. kamu? Gimana hubungan kamu sama orangtua kamu?"
"Lebih baik. Walaupun saat sampai dirumah kami sempat bertengkar karena aku memohon kesempatan untuk bisa bertemu sama kamu."
Karin menghela nafasnya dengan pelan agar tak terdengar oleh Fathian, "Aku hargain usaha kamu. Tapi, udahlah... jangan memaksakan keadaannya lagi." kata Karin dengan nada terdengar pelan.
"Kamu... sampai mengatakan hal seperti ini. Berarti, hubungan kita memang udah enggak bisa dipertahankan, yah?"
Karin refleks menganggukkan kepalanya dan menarik nafas dalam. "Yah.. malah seharusnya hubungan kita sebenarnya udah enggak bisa dilanjutkan sejak kamu bilang akan dinikahkan sama orangtua kamu." lanjut Karin dengan kedua mata terpejam. Ia menahan diri untuk tidak menangis.
"Karin..."
"Ya?" tanya Karin.
"Sebelum aku benar-benar pergi dari kehidupan kamu.. aku ingin minta maaf yang betul sama kamu."
"Minta maaf?"
"He'em. Aku mau minta maaf karena pada akhirnya aku enggak bisa jadi orang yang bisa selalu berada disamping dan ngelindungin kamu. Aku... malah justru menjadi biang masalah buat kehidupan kamu."
"Jangan ngomong begitu, Fathian. Kamu enggak pernah jadi biang masalah buat aku, justru selama 3 tahun ini kamulah yang terus nemenin aku dan selalu berada disamping aku kapanpun dibutuhin." Karin bicara dengan memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala agar ekspresi sedihnya tak terlihat oleh mahasiswa yang lalu lalang didepannya. "Justru, aku merasa akulah yang selama ini yang udah membuat kamu terlibat masalah sampai merusak hubungan kamu dan kedua orangtua kamu."
"Karin, tolong jangan ngomong kayak gitu... kamu sama sekali enggak--"
"Fathian." panggilan Karin menghentikan omongan Fathian, "Kita enggak perlu membahas ini lagi, yah?" pinta Karin yang sudah tak kuat menahan sesak didadanya saat mendengar setiap perkataan Fathian. "Sekarang... waktunya kita menjalani hidup masing-masing dengan lebih baik."
Tak ada jawaban yang terdengar dari Fathian. Karin pun hanya bisa terdiam sambil menunggu.
"Yaa, aku pikir kamu memang seharusnya bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Terlebih lagi saat aku tahu, kamu punya saudara-saudara yang begitu mempedulikanmu, aku jadi enggak khawatir kalau kamu bakal ngerasa sendirian seperti dulu."
Karin tetap diam dengan semua perkataan Fathian.
"Karin, ini adalah terakhir kalinya aku menghubungi kamu. Kamu tentu udah tahu hasil akhir dari kembalinya aku ke orangtuaku, kan?"
Sekali lagi Karin menghela nafasnya dengan berat. Dadanya terasa semakin sesak saat mendengar ini adalah terakhir kalinya Fathian bisa menghubunginya.
"Sore ini, aku diberangkatkan sama orangtuaku ke Inggris untuk kuliah disana dan sebulan lagi pernikahanku akan tetap dijalankan."
Karin tak bisa lagi membendung tangisannya. Ia terisak sambil menahan suaranya agar tak terdengar oleh Fathian.
"Aku harap kamu akan benar-benar menjalani kehidupan yang lebih baik setelah ini. Aku akan selalu mendoakan kamu supaya selalu bahagia dan enggak lagi merasa kesepian."
"Kamu tenang aja.. jangan mengkhawatirkan aku lagi. Aku juga udah janji dengan diriku sendiri setelah ini enggak mau lagi membuat orang-orang disekitarku merasa khawatir termasuk kamu. Walaupun akhirnya kamu harus menikah dengan orang lain, tapi aku yakin kalau kamu ikhlas semuanya mungkin akan berakhir baik-baik saja. Mungkin perempuan yang telah dijodohkan oleh orangtuamu itu memang baik dan mampu menjaga kamu lebih baik daripada aku."
"Ya." Fathian terdiam, "Sampai waktu pernikahan, cinta aku akan tetap buat kamu, Karin... Tapi setelah menikah nanti... aku terpaksa harus berusaha keras melupakan kamu dari hidup aku."
Air mata Karin mengucur dengan derasnya. "Enggak apa-apa... lupakan semuanya, dan mulai hidup kamu yang baru bersama orang-orang baru."
"Ya. Selamat tinggal, Karin... terima kasih dan maaf untuk semuanya."
"Sama-sama, Fathian... selamat...tinggal." telepon diputus dari pihak Fathian. Karin buru-buru memasukkan handphonennya, dan berlari menuju kamar mandi yang tak jauh dari ruang kesekretariatan. Untunglah, kamar mandi sedang dalam kondisi sepi, hingga ia bisa masuk kedalam toilet dan menguncinya. Didalam, Karin menangis sejadi-jadinya dengan suara yang ditahan agar tak terdengar oleh siapapun yang akan masuk kedalam kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LOVELY SISTERS
Ficción GeneralKisah ini menceritakan tentang empat saudara perempuan berbeda sifat dan pendapat. Mereka dilahirkan dari ibu yang berbeda dari satu ayah yang sama. Mampukah mereka bersatu dan menerima satu sama lain? Temukan juga, kejadian-kejadian lucu yang mengi...