25: Memaafkan (Part 4)

508 38 1
                                    

Acara makan hari ini pun diakhiri dengan pengakuan dan permintaan maaf dari Karin kepada paman serta kedua saudaranya. Kini, Reynata dan Miki sibuk meletakkan semua piring kotor dan gelas kedalam westafle. Setelah selesai, keduanya bersama Karin izin kepada paman Agung untuk ke kamar agar bisa bersiap-siap. Begitu melewati ruang keluarga, mereka melihat ruangan itu sudah ramai dengan beberapa orang yang sedang membetulkan kaca jendelanya dengan diawasi oleh anak buah paman Agung. 

"Kacanya mungkin baru bisa selesai sekitar dua sampai tiga jam dengan kaca yang ada dikamar Luna." paman Agung menjelaskan. Reynata dan Miki hanya menganggukkan kepalanya. 

"Makasih banyak ya, paman. Kami jadi merepotkan paman lagi." kata Reynata. 

"Enggak apa-apa, cepatlah bersiap-siap.. sebentar lagi kita harus berangkat." 

Ketiganya langsung bergegas masuk ke kamar begitu mendengar perkataan paman Agung, berbeda dengan Luna yang baru saja keluar dari kamarnya dengan penampilan yang lebih segar dan rapi. Ia turun untuk menemui pamannya dan berbincang-bincang dengannya. 

20 menit kemudian, Reynata, Miki dan Karin kembali turun. Paman Agung memerintahkan beberapa anak buahnya untuk membawa kembali Fathian turun dan memasukkannya kedalam mobil khusus yang mirip dengan ambulance namun tanpa diiringin sirine. 

"Kalian siap?" tanya paman Agung. 

Karin, Miki dan Reynata menganggukkan kepalanya dengan mantap. Berbeda dengan Luna yang tak menjawab dengan isyarat apapun. 

"Oke, kita berangkat." 

Mereka semua akhirnya masuk kedalam mobil. Meninggalkan rumah mereka yang diisi dengan beberapa tukang dan empat orang anak buah paman Agung untuk mengawasi mereka membetulkan kaca jendela rumah mereka. 

***

Sesampainya dikantor, paman Agung memerintahkan Fathian agar dibawa saja keruangannya dulu sebelum ibu Agatha datang. Kini didalam ruangan sudah ada paman Agung, Luna, Karin, Miki dan Reynata yang menunggu kesadaran Fathian.

Paman Agung memerintahkan salah satu anak buahnya yang mengerti obat-obatan untuk membangunkan Fathian. 5 menit kemudian, terlihat ada pergerakan sampai akhirnya Fathian membuka kedua matanya. Ia panik saat melihat ada orang asing yang menyentuh dirinya. Karin buru-buru menghampiri kekasih itu untuk menenangkannya.

"Enggak apa-apa, Fathian. Tenang tenang." 

Fathian melihat Karin dengan kekhawatiran yang amat sangat sambil terus memegangi kedua pipi kekasihnya itu, "Kamu enggak apa-apa? Enggak apa-apa?" sambil mengecek bagian-bagian tubuh Karin yang terlihat olehnya. 

"Aku enggak apa-apa. Kita baik-baik aja sekarang." jawab Karin. 

Fathian menyadari diruangan itu juga ada paman Agung, dan beberapa perempuan yang begitu asing untuknya kecuali salah satu yang pernah ditemuinya dekat rumah kos yang lama. Luna, saudara Karin. 

"Kita dimana sekarang?" tanyanya. 

"Kita dikantor paman Agung. Maaf. Maafin aku yah." kata Karin sambil memeluk kekasihnya itu. 

"Jadi... kita tertangkap? Tapi, bagaimana bisa? Kenapa kamu juga bisa ditangkap?" 

Karin melepaskan pelukannya dan menatapnya, "Maafin aku.. aku yang merencanakan semua ini." 

Fathian menjauhkan sedikit tubuhnya dari Karin, "Apa maksud kamu?"

"Kejadian tadi siang sudah direncanakan agar aku bisa bawa kamu pulang." 

"Apa? Tapi, kenapa? Aku pikir kamu mau.." 

"Aku minta maaf, tapi pelarian kita harus diakhiri. Kamu harus kembali ke orangtua kamu. 

"Tapi kenapa? Apa yang bikin kamu berubah pikiran?" 

"Karena aku khawatir orangtua kamu akan mencelakai keluarga aku." 

"Karin, aku kan udah bilang orangtua aku enggak akan melakukan sampai begitu.. Mungkin, yah mereka cuma akan mengancam tapi mereka enggak akan benar-benar melakukannya." 

"Enggak. Kamu udah salah menilai orangtua kamu sendiri."

Fathian menampilkan ekspresi bingungnya setelah mendengar perkataan kekasihnya itu, "Apa maksud kamu?" 

"Orangtua kamu berani menyentuh saudara-saudara aku.. itulah yang paling enggak aku terima dan akhirnya memutuskan untuk menghentikan pelarian kita." 

"Apa sih maksud omongan kamu?" 

Karin menyerahkan foto-foto yang sempat ia terima tadi pagi kepada Fathian dan membiarkannya melihat sendiri. 

"Apa ini?" 

"Itu teror yang keluarga aku terima setelah ibu kamu mendatangi rumahku. Kamu sebenarnya juga udah tahu kan soal kedatangan ibu kamu dari paman Agung? Kenapa kamu enggak mengatakannya sama aku?" 

Fathian terlihat terkejut dan tak menyangka kalau orangtuanya melakukan apa yang ada difoto-foto itu.

"Apa kamu ada bukti kalau orangtua aku yang melakukan ini? Bisa aja kan ini cuma akal-akalan supaya kamu pulang." kata Fathian yang masih menyangkal soal foto-foto yang dilihatnya, "Bisa aja ini cuma akal-akalan paman dan saudara kamu." 

Karin terhenyak sesaat mendengarkan perkataan Fathian. Lalu, ia beralih dengan menunjuk kearah lutut Reynata yang saat itu dapat terlihat karena menggunakan rok pendek. "Itu buktinya, Fathian. Lihat perban yang dipake saudara aku itu, apa terlihat seperti rekayasa?" Fathian terdiam dan hanya memperhatikan kaki Reynata.  "Aku juga melihat dengan mata kepala aku sendiri kalau kaca-kaca dirumahku hancur berantakan karena ulah peneror yang ada difoto itu. Apa itu masih terlihat seperti rekayasa?" 

Fathian kembali melihat kefoto-foto yang diberikan. 

"Kamu juga lihat kan foto salah satu saudara aku yang ditodong pistol, apa kamu perlu lihat saudara aku mati ditembak dulu agar kamu percaya ini bukan rekayasa!?" Karin terlihat emosi sekarang, "Kamu perhatikan isi pesan yang ada disalah satu foto itu, apalagi alasannya mereka melakukan ini kalau bukan karena aku yang melarikan diri sama kamu?"  

Fathian sama sekali tidak menjawab dan hanya terus memandangi foto-foto itu kemudian membaca pesan yang dimaksud oleh kekasihnya itu. 

Keheningan mereka terpecah dengan suara telepon kantor yang tiba-tiba berdering. Paman Agung mengangkat telepon yang ternyata dari sekretarisnya itu. 

"Sudah datang. Baiklah, antar beliau ke ruang rapat besar dan tanyakan dia ingin minum apa. Saya akan segera kesana." kata paman Agung yang kemudian menutup teleponnya. 

"Ayah dan ibumu sudah datang. Kita harus segera menemuinya." kata paman Agung memberikan informasi. 

Karin menatap Fathian begitupun dengan Fathian. 

"Apa kamu benar-benar yakin dengan ini? Kamu udah tahu konsekuensinya, kan? Kita mungkin enggak akan pernah bisa ketemu lagi. Hubungan kita akan segera berakhir, Karin."

Karin mengenggam kedua tangan Fathian yang dieratkan jadi satu, "Maafin aku, Fathian. Sepertinya kita memang harus melakukan pengorbanan agar semua masalah kita dengan kedua orangtua kamu selesai dengan baik."  

Fathian menundukkan kepalanya dan menarik Karin kedalam pelukannya. Ia memeluknya dengan sangat erat karena tahu mungkin pelukan ini adalah pelukannya yang terakhir dengan kekasih yang amat dicintainya itu. 

MY LOVELY SISTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang