Jilid 3

5.1K 52 0
                                    

Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan dari pintu gerbang sebelah barat nampak debu mengepul disusul masuknya puluhan orang perajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh orang perajurit itu merupakan perajurit-perajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, dan dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok. Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira pasukan itu, seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. 

Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya. 

Mengertilah dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Kini semakin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang berkhianat.


"Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?" Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang.

Suara pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng maupun tentara Raja Agahai sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu
yang tak terkalahkan di dunia ini!

Menurut kabar, satu-satunya orang yang mampu mengalahkannya hanyalah
Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Maka, tentu saja di dalam hati mereka merasa gentar juga, apalagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main. Akan tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, juga Tok-ciang Sian-jin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, kini melangkah maju dengan sikap mengancam.

"Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!" kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada.

"Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kaubayar, sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!" Kata Tok-ciang Sian-jin sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar.

Cambuk itu terbuat dari baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang amat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini apalagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang amat keji. Memang, Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja.

Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. "Hemm, kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau memang ada
kepandaian dan berani, kalian majulah!"

Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi marah dan dia mengeluarkan teriakan nyaring Lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu mematuk ke arah ke dua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali!

Namun, biarpun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sin-kangnya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan dia mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk. Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal inipun sudah diduga oleh Han Houw, maka diapun sudah mencabut pedangnya dan menangkis.

"Tringgg...!" Terdengar suara nyaring ketika pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan.

Sinar api ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggauta pasukan sudah menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang itu yang telah menerjang Lie Ciauw Si. Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kang-kiam dan nampak sinar putih bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-I Kai-pang itu dan sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar. Dua orang kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu mainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang menjadi andalan para tokoh Kai-pang. 

Pendekar SadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang