Jilid 27

3.7K 52 0
                                    

Mendengar ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.

"Ahhh... apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?"

"Koksu menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi."

Muka itu semakin pucat. "Ah, mana mungkin begitu? Aku... aku tidak pernah membantu Koksu, aku tidak pernah melakukan hal itu..."

"Karena engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah mengakui semua hal kepada Sri Baginda dan semestinya engkau dihukum berat, mungkin hukuman mati."

"Ahhh...!" Wanita cantik itu nampak ketakutan sekali. "Tapi... tapi mengapa aku berada di kamar ini bersamamu...?"

"Aku telah menyelamatkanmu dari hukuman mati. Aku yang minta kepada Sri Baginda agar engkau tidak dihukum karena engkau hanya diperalat oleh Koksu. Aku menyanggupi Sri Baginda untuk membebaskan engkau dari pengaruh sihir itu, dan kini engkau telah terbebas dan engkau telah teringat dan sadar kembali. Kalau tidak ada aku, Nona Leng Ci, engkau sekarang tentu telah menjadi setan tanpa kepala."

"Aihhh..." Leng Ci menggerakkan tangannya dan otomatis tangannya itu memegang lehernya.

Sepasang mata yang indah itu memandang kepada Thian Sin, rasa takut dan ngeri masih membayangi mukanya dan dengan suara mengandung rasa takut ia berkata,

"Ah, kalau begitu... engkau telah menyelamatkan nyawaku... tapi... tapi bagaimana selanjutnya? Apakah Sri Baginda mau mengampuniku...?"

Thian Sin tersenyum. "Aku yang menanggung, engkau takkan diganggu oleh Sri Baginda. Akan tetapi, setelah aku menolongmu dan sekarang aku menjamin keselamatanmu, lalu imbalan atau hadiah apa yang hendak kauberikan kepadaku?"

Wanita itu melangkah maju menghampiri. Wajahnya serius sekali. Hal ini adalah menyangkut kehidupannya, keselamatannya dan setelah ia teringat akan segala yang telah terjadi, maka harapan satu-satunya ia gantungkan kepada pemuda ini yang agaknya dapat mempengaruhi raja dan merupakan satu-satunya orang yang mungkin dapat menyelamatkannya.

"Kongcu... tolonglah saya... imbalannya apa saja yang kongcu kehendaki, pasti saya akan berikan! Perhiasan? Akan saya serahkan semua milik saya."

Thian Sin tersenyum. "Perhiasan? Agaknya aku bisa memperoleh yang lebih banyak dari raja. Tidak, nona manis, aku tidak butuh perhiasan."

"Lalu apa yang dapat kuserahkan? Aku tidak punya apa-apa lagi...!" Leng Ci berkata dengan bingung dan rasa khawatirnya bertambah.

Thian Sin tersenyum, girang hatinya melihat wanita itu dicekam ketakutan hebat.

"Nona Leng Ci, ketika belum terjadi sesuatu dan aku diperkenalkan kepada raja, aku melihat sinar matamu ketika memandangku, gerak bibirmu ketika tersenyum padaku, kemudian ketika kuraba dan kubelai pinggulmu engkau sama sekali tidak marah atau berteriak, apakah artinya semua itu?"

Menerima pertanyaan seperti ini, pertanyaan yang langsung menyerang perasaan hatinya, seketika wajah yang tadinya pucat itu kini berubah merah sekali. Sesaat ia lupa akan rasa takutnya dan dengan sikap menarik sekali ia cemberut, matanya mengerling penuh tantangan mesra, dan bibirnya memperlihatkan ejekan-ejekan yang membuat bibir itu makin menggairahkan, lalu katanya lirih, "Habis, engkau mengartikan bagaimana? Aku tidak tahu..."

"Bukankah itu berarti bahwa engkau tertarik kepadaku? Bahwa kalau aku yang juga amat tertarik dan jatuh cinta padamu mengulurkan tangan kepadamu dan mengajakmu saling menumpahkan kasih sayang dan bermain cinta, engkau akan menerimanya dengan girang?"

Menghadapi kata-kata yang luar biasa beraninya, yang membuka segalanya tanpa pura-pura lagi itu, Leng Ci menundukkan mukanya dan ia merasa malu sekali. Malu bercampur tegang karena memang harus diakuinya bahwa ia amat tertarik kepada pemuda tampan yang amat pandai mengambil hati orang ini.

"Ihhh... siapa jatuh cinta...?" Hanya ini yang dapat diucapkannya sambil tunduk dan dari bawah, kedua matanya mengerling demikian tajamnya melebihi sepasang pedang pusaka yang langsung menembus jantung Thian Sin.

"Nona Leng Ci, kalau saya menolong nona, menyelamatkan nona dari ancaman hukuman mati, dan sekarang melindungi nona dari raja, hal itu bukan sekali-kali karena saya mengharapkan balasan. Melainkan karena saya memang tertarik dan jatuh cinta kepadamu yang cantik menarik ini. Tentu saja ada harapan di dalam hati ini agar nona juga dapat membuka perasaan hati nona yang kalau saya tidak salah taksir, juga tertarik kepada saya. Nah, sekarang bagaimana? Maukah engkau menyambut uluran tanganku ini? Akan tetapi, penyambutan yang suka rela, dengan sepenuh perasaan, bukan karena terpaksa, bukan pula karena hanya sekedar membalas jasa..." Sambil menghentikan kata-katanya dan memandang dengan sinar mata penuh ajakan, Thian Sin mengembangkan kedua lengannya ke depan, ke arah wanita itu.

Biarpun wajahnya merah sekali dan kepalanya masih ditundukkan, malu sekali dan tidak dibuat-buat, namun Leng Ci melangkah maju dan masuk ke dalam pelukan Thian Sin, membiarkan kedua lengan itu melingkari tubuhnya dan iapun tidak menolak ketika pemuda itu menariknya sehingga ia terduduk di atas pangkuan pemuda itu.

"Engkau senang begini?" tanya Thian Sin. "Bukan hanya untuk membalas budi?"

Wanita itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mesra, akan tetapi tubuhnya gemetar dan ia berkata, "Tapi... tapi... Sri Baginda..."

Thian Sin melepaskan rangkulannya dan menurunkan wanita itu, lalu bangkit berdiri. "Ah, kiranya dalam keadaan begini engkau masih teringat kepada Sri Baginda? Jadi engkau mencinta raja dan tidak mau mengkhianatinya?"

"Bukan, bukan, kongcu! Siapa mencinta tua bangka itu? Dia memaksaku menjadi selir, setelah pasukannya membasmi perkampungan kami, bahkan orang tuaku tewas dalam serbuan itu. Aku dipaksanya menjadi selir, dan hanya untuk menyelamatkan diri dan untuk menikmati kehidupan mulia dan mewah saja aku bersikap manis kepadanya. Siapa sih yang sudi berdekatan dengan tua bangka mata keranjang itu? Akan tetapi... aku teringat dia karena takut. Bagaimana kalau dia mengetahui hubungan kita?"

"Aku tertarik dan suka padamu, dan aku berani menempuh bahaya untuk mendapatkan cintamu. Kalau engkau takut, kembalilah sana kepada raja!"

"Tidak... tidak, kongcu... ah, tentu saja aku lebih suka padamu. Biarlah kalau engkau mau melindungiku, aku akan mentaati segala kehendakmu, biar aku mati hidup bersamamu." Wanita itu menubruk dan merangkulnya.

Melihat wanita ini telah menjadi jinak, Thian Sin tersenyum.

"Bagus! Nah, mulai sekarang ini, engkau harus taat kepadaku, mengerti?"

Wanita cantik itu mengangguk dan menahan isaknya ketika Thian Sin mendekap dan menciumnya, bahkan membalas peluk cium itu dengan hangat. Thian Sin memondongnya dan segera keduanya tenggelam dalam buaian natsu berahi yang amat panas. Semenjak pergi meninggalkan So Cian Ling, wanita terakhir yang menjadi kekasihnya, telah lebih dari setengah tahun Than Sin tidak pernah berdekatan atau berhubungan dengan wanita. Dia menggembleng diri bertapa dan memperdalam ilmunya selama berbulan-bulan dan menahan nafsunya. Sedangkan Leng Ci adalah seorang wanita muda yang selama ini harus melayani seorang pria tua yang sebenarnya dibencinya dan baru sekarang selama hidupnya dia bertemu dan berhubungan dengan seorang pria muda tampan yang menarik hatinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pertemuan antara mereka seperti seekor ikan kekeringan bertemu dengan air danau yang segar, di mana ikan itu dapat berenang sepuasnya.

Dengan dalih "mengobati" Leng Ci, Thian Sin dapat bersenang-senang sepuas-puasnya dengan wanita itu, bahkan Raja Agahai sendiri tidak berani mengganggunya. Raja itu hanya dapat bertanya dari luar pintu saja menanyakan keadaan selirnya tercinta.

"Sedikit lagi Sri Baginda," jawab Thian Sin dari dalam. "Harap Paduka bersabar dan jangan diganggu..."

"Tapi, Torgan telah dihukum mati. Bagaimana dia dapat mengganggu lagi?" bantah Sang Raja yang sudah merasa rindu kepada selirnya itu.

"Justeru itulah!" jawab Thian Sin cepat, "Rohnya yang jahat itu membalas dendam dan mempertahankan pengaruhnya atas diri selir Paduka."

Dengan alasan ini, Thian Sin dapat berdiam berdua saja dengan wanita itu, bahkan para dayang yang melayani mereka, mengantar makan minum dan sebagainya, hanya diperbolehkan sampai di pintu saja dan tidak terus masuk, mereka itu hanya dapat melihat selir raja itu rebah terlentang di balik kelambu!

Tentu saja semua ini hanyalah permainan Thian Sin yang dibantu oleh Leng Ci. Kini wanita itu sepenuhnya berpihak kepadanya, tunduk dan taat karena memang wanita itu sudah jatuh cinta betul-betul kepada Thian Sin. Dan di waktu malamnya, Thian Sin meninggalkan Leng Ci di dalam kamar, menyuruh wanita itu mengunci semua pintu dan jendela, sedangkan dia sendiri keluar melalui jendela dan mengadakan pertemuan dengan Menteri Abigan dan rekan-rekannya yang mempersiapkan segala untuk kepentingan rencana pemberontakan mereka menentang Raja Agahai.

Dengan cerdiknya, Menteri Abigan mulai menyadarkan para panglima dan pembesar akan kelaliman Agahai, dan melalui beberapa orang panglima yang berpihak kepada komplotan ini mulai memindah-mindahkan tugas penjagaan sehingga pada saat yang sudah direncanakan, para pengawal yang menjaga istana adalah sebagian besar orang-orang mereka!

Tiga hari kemudian, setelah rencana mereka matang, Thian Sin memberi tahu kepada para dayang di luar pintu agar mereka memberi tahu kepada Raja Agahai bahwa dia kini sudah siap menerima kunjungan raja dan bahwa selir raja itu sudah sembuh sama sekali.
Tentu saja berita ini amat menggirangkan hati Raja Agahai yang pada pagi hari itu sudah mulai kehabisan kesabarannya menanti-nanti. Betapapun juga, ada rasa cemburu di dalam hatinya mengingat betapa selirnya yang tercinta, yang cantik jelita dan manis itu, telah berada di dalam kamar berdua saja dengan tukang sulap muda dan tampan itu selama dua malam tiga hari. Maka, begitu mendengar berita dari para dayang, Raja Agahai cepat bergegas mendatangi kamar itu dan mengetuk pintu kamar.

Karena keinginan tahu yang amat besar, ditambah dengan rasa rindu terhadap selirnya, maka Raja Agahai menjadi lengah dan dia setengah berlari menuju ke kamar tamu itu tanpa minta perlindungan para pengawal pribadinya. Dia sudah tidak sabar lagi, selain ingin segera melihat dan mengetahui keadaan kekasihnya, juga ingin segera dapat
memeluk kembali.

"Silakan masuk!" terdengar suara Thian Sin, "Daun pintu tidak terkunci."

Raja Agahai mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu, sedangkan para dayang yang duduk di luar pintu sudah menjatuhkan diri berlutut ketika raja itu muncul. Ketika Raja Agahai memasuki kamar itu dan daun pintu kamar ditariknya tertutup kembali dan dia melangkah maju menembus tirai sutera hijau itu, dia melihat sesuatu di dalam cuaca remang-remang dalam kamar, sesuatu yang membuat dia terbelalak dan langkah kakinya seketika terhenti. Dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu, maka digosok-gosoknya matanya dan dia kini melangkah lagi maju menghampiri untuk dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi, penglihatan itu tidak berubah, masih seperti tadi, yaitu Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan selirnya, Leng Ci yang cantik jelita dan manis, selirnya yang tercinta itu, dengan pakaian dalam yang tipis yang kusut, seperti juga rambutnya, duduk di atas pangkuan pemuda itu!

Seperti seekor kucing manja, wanita itu duduk di atas pangkuan, bergantung kepada leher pemuda itu dengan kedua lengannya yang berkulit halus, mengangkat mukanya dekat dengan muka pemuda itu dan memandang penuh kemesraan! Dan Thian Sin, seolah-olah tidak melihat kedatangan raja itu, lalu menunduk dan di lain saat keduanya sudah berciuman dengan mesra sekali, dan raja itut melihat betapa kedua lengan selirnya merangkul semakin ketat.

Mereka berciuman lama sekali dan baru Thian Sin menghentikan ciumannya ketika mendengar sang Raja membentak.

"Keparat! Apa artinya ini?" Raja Agahai yang tadinya menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Thian Sin yang dianggap penyelamat puteranya dan pembongkar rahasia pengkhianatan Torgan, kini masih meragu.

Siapa tahu apa yang dilakukan pemuda itu adalah dalam rangka pengobatan dan penyembuhan selirnya! Thian Sin mengangkat muka memandang, tersenyum mengejek. Leng Ci yang masih duduk di atas pangkuan pemuda itu dan masih merangkul lehernya, juga menengok dan Sang Raja terheran. Belum pernah dia melihat selirnya itu berwajah sedemikian cantiknya, dengan sepasang mata yang redup dan sayu, entah karena kehausan ataukah kepuasan, akan tetapi sepenuhnya selirnya itu membayangkan seorang wanita yang sedang dalam puncak berahi.

Thian Sin mengecup bibir Leng Ci lalu berkata, "Manis, si tua bangka telah datang, kau istirahatlah dulu, dan lihat apa yang akan kulakukan padanya." Leng Ci tersenyum, mengangguk, lalu turun dari atas pangkuan dan duduk di tengah-tengah pembaringan.

Baju dalamnya tersingkap dan nampak bukit buah dadanya yang biasanya amat dikagumi oleh Raja Agahai. Akan tetapi, wajah Agahai telah berubah sebentar pucat dan sebentar merah saking kaget dan marahnya mendengar ucapan Thian Sin tadi.

"Hauw Lam! Apa artinya ini?" Kembali dia membentak. Thian Sin turun dari pembaringan dan melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang menakutkan Sang Raja.

"Artinya, Agahai, sudah jelas. Yaitu bahwa Leng Ci telah menjadi kekasihku, bahwa kini tibalah saat terakhir dari kejayaan dan kelalimanmu. Selama ini engkau telah buta, tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!"

Mendengar kata-kata kasar dan melihat sikap yang sama sekali berubah ini Raja Agahai terkejut bukan main. Dia memandang dengan mata terbelalak.

"Apa artinya ini...? Siapa... siapa engkau...?"

"Hemm, raja lalim, manusia jahat dan busuk, engkau sungguh tolol. Si Torgan itu lebih cerdik, akan tetapi dia telah kau hukum mati. Ha-ha, sungguh engkau manusia yang paling busuk di dunia ini. Selirmu Leng Ci sama sekali tidak pernah berhubungan dengan aku, menjadi kekasihku. Dan Torgan tidak pernah berbuat apa-apa terhadap anakmu. Akulah yang telah membuat anakmu sakit dan melemparkan fitnah kepada Torgan. Mengertikah engkau sekarang, Agahai?"

Tentu saja Raja Agahai menjadi terkejut dan marah bukan main. "Tapi... mengapa? Apa yang terjadi?" Raja itu berteriak bingung.

"Kepadamu aku mengaku bernama Hauw Lam dan memang aku adalah seorang hauw-lam (putera berbakti). Dahulu, pernah aku datang mengunjungi tempat ini, sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun dan ketika itu namaku adalah Ceng Thian Sin..."

Raja Agahai mundur selangkah. "Apa... kau? Ceng... Ceng Thian Sin...!"

"Ha-ha-ha, baru engkau teringat sekarang?"

"Thian Sin! Engkau... cucu keponakanku sendiri...!"

"Tak perlu bersandiwara lagi, Agahai. Ayah bundaku tewas karena pengeroyokan, dan engkau juga memegang peran dalam pembunuhan itu. Engkau mengirim pasukan pilihan untuk ikut mengeroyoknya. Engkau hutang nyawa ayah bundaku!"

Mendengar ini, baru Raja Agahai sadar bahwa dirinya terancam bahaya. Cepat dia membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin telah berdiri di depannya, menghadang antara dia dan pintu. Marahlah Agahai. Betapapun juga, dia bukan seorang pria lemah. Dicabutnya pedang dari pinggangnya.

"Pengkhianat busuk!" bentaknya dan pedangnya menyambar.

Akan tetapi, dengan tenang saja Thian Sin menggerakkan tangannya menyambut pedang itu, mencengkeram pedang dengan tangan kirinya.

"Kraakkk!" Pedang itupun patah-patah, seolah-olah terbuat daripada benda yang lunak saja.

Agahai memandang dengan mata terbelalak dan kini wajahnya menjadi pucat.

"Pengawal...!" teriaknya dengan lantang memanggil para pengawal pribadinya.

Akan tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sunyi saja di luar kamar itu, hanya terdengar suara beradunya senjata agak jauh dari situ, dan suara hiruk-pikuk orang berkelahi. Thian Sin tersenyum.

"Semua pengawal dan pembantumu pada saat ini sedang diserbu dan dibasmi. Engkau harus berhadapan dengan aku tanpa bantuan siapapun!"

Raja Agahai menjadi ketakutan dan karena ingin meloloskan diri, dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan suara seperti seekor srigala kelaparan, dia meloncat dan menerkam pemuda itu dengan kedua tangan menyerang dari kanan kiri.

"Plakk!" Thian Sin menampar, tidak mengerahkan tenaga terlalu besar dan raja itu terpelanting, pipi kanannya bengkak dan membiru.

Sejenak Agahai nanar dan matanya liar, seperti mata seekor harimau yang tersudut. Thian Sin berdiri dengan bertolak pinggang, menghadang di depan pintu, tersenyum, namun senyum yang mengandung kebencian mengerikan. Agahai sudah bangkit lagi dan mundur-mundur, seperti hendak melakukan ancang-ancang untuk menyerang lagi. Akan tetapi, raja yang cerdik dan licik ini tiba-tiba meloncat ke belakang, ke arah pembaringan! Thian Sin terkejut, akan tetapi Raja Agahai telah dapat menerkam tubuh Leng Ci, menarik dan mencekik leher wanita itu.

"Kalau kau maju, ia akan kupatahkan batang lehernya!" Dia mengancam kepada Thian Sin, sedangkan Leng Ci meronta-ronta tak berdaya. "Hayo buka pintu dan minggir, biarkan aku lewat!"

Diam-diam Thian Sin kagum juga akan kecerdikan raja itu, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa. Suara ketawanya demikian mengerikan dan aneh karena memang dia mengerahkan tenaga khi-kang dalam suaranya. Raja Agahai memandang dengan heran dan merasa aneh, akan tetapi inilah kesalahannya. Begitu dia memandang dengan perasaan tertarik, dia sudah terperangkap dan berada dalam pengaruh kekuasaan ilmu sihir yang dikerahkan pemuda itu.

"Ha-ha-ha, Agahai, apakah engkau sudah gila? Lihat baik-baik apa yang kaucengkeram itu? Yang kaucekik hanya sebuah bantal!"

Agahai terkejut dan cepat dia memandang kepada Leng Ci yang tadi diringkus dan dicekiknya. Dan hampir dia berteriak kaget dan penuh kekecewaan karena ternyata benar, yang diringkusnya itu bukan lain hanyalah sebuah bantal! Kemarahan yang meluap-luap membuat dia mengangkat "bantal" itu dan melemparkannya dengan tenaga sepenuhnya ke arah dinding.

Kini Thian Sin yang terkejut bukan main. Tentu saja yang diringkus oleh raja itu sama sekali bukan bantal, melainkan tubuh Leng Ci yang denok! Dan ketika tubuh itu dilemparkan oleh raja, Thian Sin yang tidak menyangkanya sama sekali tidak mampu lagi mencegah. Terdengar suara keras ketika tubuh itu terbanting dan menghantam dinding. Ketika tubuh itu terjatuh ke lantai, sudah tidak bergerak lagi dan dari kepala yang mengalirkan darah, dari kedudukan leher yang terkulai, tahulah Thian Sin bahwa mata indah yang terbuka lebar itu tidak melihat apa-apa lagi. Leng Ci telah tewas dengan kepala retak!

"Agahai, manusia busuk! Manusia keparat kau! Kaubunuh ia... ah, kaubunuh Leng Ci...!"

Thian Sin marah sekali. Dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sesungguhnya sehingga permainannya dengan Leng Ci itupun tak dapat dikatakan cinta, melainkan lebih terdorong oleh nafsu berahi belaka. Akan tetapi, melihat Leng Ci yang sama sekali tidak berdosa itu harus tewas dalam keadaan demikian menyedihkan, dan semua itu karena ulahnya, sehingga Leng Ci dapat dibilang mati karena dia, hal ini membuat Thian Sin merasa berduka dan marah sekali.

Diterjangnya Raja Agahai. Raja ini mencoba untuk membela diri dan berteriak-teriak memanggil pengawal-pengawal. Namun tidak ada seorangpun pengawal yang datang, dan diapun tentu saja tidak berdaya sama sekali menghadapi tamparan-tamparan Thian Sin. Terdengar suara keras berkali-kali dan ketika raja itu terpelanting dengan muka yang bengkak-bengkak dan berdarah. Thian Sin masih menyusulkan tendangan-tendangan yang membuat raja itu jungkir balik dan jatuh bangun. Akan tetapi pemuda ini tidak menggunakan tenaga saktinya, karena dia tidak mau membunuh Agahai begitu saja. Dia masih belum selesai berurusan dengan raja ini, maka betapapun marah dan menyesalnya atas pembunuhan terhadap diri Leng Ci, dia tidak membunuh raja itu, hanya menyiksanya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.

Yang membuat pemuda ini menyesal adalah, bahwa terbunuhnya Leng Ci sesungguhnya karena dia. Raja itu membunuhnya tanpa sengaja, mengira bahwa yang dicengkeramnya tadi benar-benar bantal sehingga dilemparkan bantal itu saking kecewanya.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, dan Thian Sin menghentikan pemukulan-pemukulannya terhadap raja itu ketika melihat bahwa yang muncul adalah Ratu Khamila, neneknya.

Kiranya sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Menteri Abigan dan rekan-rekannya, bekas Ratu Khamila yang dipenjara ini dibebaskan dan dibawa ke istana, setelah para pasukan pemberontak menguasai istana dan para pengawal Raja Agahai yang setia, sebagian besar dibinasakan dan sebagian pula yang menyerah lalu ditangkap. Istana dibersihkan dari pengikut-pengikut Agahai dan kini istana dikuasai oleh pasukan penjaga pemberontak. Setelah itu, barulah Ratu Khamila dibebaskan dan dijemput, dibawa ke istana. Dan ratu ini, bersama Menteri Abigan dan beberapa orang panglima dan pengawal, datang ke kamar Thian Sin di mana pemuda itu sedang menghajar Raja Agahai.

Raja Agahai yang melihat munculnya Ratu Khamila dan beberapa orang menteri dan panglima, maklum bahwa dia terancam. Dia belum tahu apa yang terjadi di luar tidak tahu bahwa para pengawalnya sudah terbasmi. Namun, melihat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun pengawal yang muncul ketika dia berteriak-teriak minta tolong, diapun sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Maka kini melihat munculnya Puteri Khamila, tahulah dia bahwa permainan telah berakhir dan bahwa dia telah kalah. Pemuda itu adalah putera tunggal Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw dan pemuda itu sudah tahu bahwa dia ikut dalam pengeroyokan pangeran itu dan isterinya sampai mati. Tiada harapan lagi baginya, maka diapun tidak banyak tingkah lagi.

"Agahai, sudah tahukah engkau akan dosa-dosamu?" kata Ratu Khamila dengan suara halus namun penuh teguran.

Ratu ini tidak merasa begitu sakit hatinya ketika ditawan seperti ketika ia mendengar bahwa puteranya tewas oleh pengeroyokan yang sebagian dilakukan orang-orangnya Agahai. Agahai yang sudah putus asa itu tertawa.

"Hemm, kalian lihat saja nanti kalau pasukan-pasukanku bergerak dan menghancurkan kalian semua!"

Seolah-olah menjawab kata-kata Agahai, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan banyak orang yang datangnya dari luar istana. Dan seorang pengawal datang tergopoh-gopoh, melapor kepada Menteri Abigan, didengarkan oleh Thian Sin dan juga oleh Agahai.

"Taijin, di luar istana penuh pasukan dan rakyat. Mereka itu berteriak-teriak menuntut penjelasan akan apa yang terjadi di dalam istana. Suasana buruk sekali, di antara mereka itu terjadi perpecahan. Agaknya masih banyak di antara mereka yang mendukung dia!" kata pengawal itu sambil menuding ke arah Agahai dengan penuh kebencian.

Mendengar ini, Agahai tertawa bergelak. Wajahnya menyeramkan sekali. Wajah yang bengkak-bengkak dan matang biru, berdarah-darah pula, dan kini wajah itu terangkat dan bergoyang-goyang ketika tertawa, seperti iblis dalam dongeng. Tiba-tiba Thian Sin menangkap leher bajunya, menotoknya sehingga raja itu tidak mampu bergerak lagi, lalu
menyeretnya keluar.

"Silakan mengikuti saya ke menara istana, saya akan bicara dengan mereka!" Mendengar ini, Ratu Khamila mengangguk dan juga para menteri dan panglima itu mengikuti dari belakang.

Thian Sin membawa bekas raja itu naik ke loteng menara dan tak lama kemudian nampaklah dia bersama raja itu di atas menara, di panggung atas bersama Ratu Khamila dan para menteri yang setia. Melihat ini, pasukan dan rakyat yang berjubel di luar istana, semua memandang ke arah panggung menara itu. Teriakan-teriakan yang simpang-siur terdengarlah.

"Hidup Puteri Khamila...!"

"Hidup Raja Agahai...!"

Dari teriakan-teriakan ini saja jelaslah bahwa memang telah terjadi perpecahan, di antara rakyat dan pasukan. Keadaan sungguh gawat dan ada ancaman perang saudara. Biarpun dia sudah tertotok dan tidak berdaya, Raja Agahai tersenyum mendengar teriakan-teriakan yang jelas menyanjungnya itu, dan masih ada secercah harapan di wajahnya.

Akan tetapi, ketika Thian Sin menariknya agar lebih tinggi berdiri sehingga seluruh orang yang berada di bawah melihatnya dengan jelas, melihat mukanya yang bengkak-bengkak, penghias kepalanya yang khas sebagai raja itu sudah tidak ada lagi dan rambutnya awut-awutan, ada rasa khawatir pula di dalam hatinya.

"Rakyatku, pasukanku, dengarlah!" Tiba-tiba terdengar suara Puteri Khamila, suaranya halus namun cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua orang dan keadaan menjadi sunyi karena semua orang yang berada di bawah ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan oleh bekas ratu ini.

"Kalian semua tentu masih ingat kepada putera tunggalku, putera tunggal mendiang Raja Sabutai yang kalian cinta, yaitu Pangeran Oguthai, bukan?"

Terdengar sorakan menyambut pertanyaan ini. Tentu saja tiada seorangpun di antara mereka yang tidak tahu siapa adanya Pangeran Oguthai yang pernah berkunjung bersama isteri dan puteranya, dan betapa pangeran yang sakti dan membuat semua orang bangga itu menolak ketika hendak diminta membantu pemerintahan Raja Agahai. Puteri Khamita mengangkat kedua tangannya ke atas dan semua orangpun diamlah. Keadaan menjadi sunyi kembali, "Sekarang dengarlah baik-baik, rakyatku. Kalian tentu tahu betapa Agahai yang menjadi raja, telah menyalahgunakan kekuasaan, merampasi anak gadis dan isteri orang, mengejar kesenangan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan rakyatnya. Lihat, betapa kita telah menjadi lemah dan yang lebih celaka lagi, Agahai tidak segan-segan untuk bertindak khianat dan curang. Aku yang menentang dan menasihatinya agar dia menghentikan penyelewengannya, telah dia tahan sebagai seorang penjahat! Akan tetapi, hal ini tidak menyakitkan hatiku. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dia telah menyuruh pasukan, bersekongkol dengan pasukan Beng dari selatan, untuk mengeroyok dan membunuh Pangeran Oguthai dan isterinya!"

Semua orang terkejut, baik yang pro maupun yang anti kepada Agahai. Tak disangkanya raja mereka itu melakukanhal yang kejam ini.

"Untung bahwa putera Pangeran Oguthai, yang pernah berkunjung ke sini ketika masih kecil, dapat lolos dari pengkhianatan itu. Dan kalian hendak tahu siapa pemuda ini? Dia inilah Ceng Thian Sin, putera tunggal Pangeran Oguthai! Dialah keturunan langsung dari mendiang Raja Sabutai!"

Puteri Khamila meneriakkan ucapan ini, walaupun bertentangan dengan suara hatinya. Hanya ia sendiri yang tahu bahwa Thian Sin sama sekali bukan keturunan Sabutai melainkan keturunan Kaisar Beng-tiauw!

Mendengar ini, semua orang bersorak-sorai! Kemudian Thian Sin yang maju dan dengan suara lantang, diapun berkata, "Saudara-saudara sekalian! Setelah mendengar keterangan Puteri Khamila yang menjadi nenekku, apakah masih ada yang membela Agahai lagi? Dia seorang raja lalim! Dia malah telah membunuh Koksu Torgan yang membantunya! Dan dia baru saja membunuh selirnya yang berbangsa Biauw itu! Dan kedatanganku di sini selain untuk membalas kematian ayah bundaku, juga untuk menyelamatkan rakyat orang tuaku dari cengkeraman raja lalim macam Agahai ini! Nah, katakanlah, siapa yang hendak membelanya? Para panglima telah berpihak kepada kami dan istana telah kami duduki. Siapa hendak membelanya?"

Tidak ada yang menjawab. Semua orang maklum bahwa memang raja mereka itu tidak sebaik mendiang raja yang lalu, dan telah melakukan hal-hal yang membuat rakyat tidak puas dan membuat mereka menjadi bangsa lemah yang tersudut.

"Nah, kalau begitu, aku menyerahkan kepada kalian apa yang harus kita lakukan dengan Agahai yang telah membunuh ayahku Pangeran Oguthai, dan yang telah melakukan penindasan terhadap kalian. Apa yang harus kita lakukan?"

"Bunuh dia!"

"Bunuh Agahai raja lalim!"

"Jangan ampunkan dia!"

Teriakan itu makin lama makin banyak disusul oleh yang lain-lain dan akhirnya hampir semua di antara orang-orang itu berteriak-teriak untuk membunuh Agahai. Mendengar ini, menggigil seluruh tubuh Agahai dan habislah harapannya. Dan inilah yang dikehendeki oleh Thian Sin. Dia lalu mengangkat tubuh Agahai tinggi-tinggi
dan terdengarlah suaranya yang lantang.

"Kalau begitu, kuserahkan kepada kalian! Terserah apa yang akan kalian lakukan dengan binatang busuk ini!"

Dan sekali menggerakkan kedua lengan melayanglah tubuh Agahai ke bawah dan pada saat itu diapun membebaskan totokannya. Terdengar jerit mengerikan, jerit dari mulut Agahai yang tidak merasa ngeri karena melayang ke bawah melainkan ngeri melihat ratusan pasang tangan seperti cakar-cakar harimau hendak mengkoyak-koyak tubuhnya. Dan memang tubuhnya terkoyak-koyak ketika dia disambut oleh orang-orang yang mendendam kepadanya itu.

Semua orang ingin memukulinya, menendangnya, menjambaknya sehingga akhirnya tubuhnya terkoyak-koyak habis, dan hanya darah dan potongan daging-daging saja yang tinggal setelah semua orang memuaskan nafsu dendam mereka terhadap raja lalim itu.
Bersama dengan tewasnya Agahai, tewas pulalah para pembantunya dan para panglima yang dahulu memimpin pasukan dan ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw.

Thian Sin menyaksikan sendiri hukuman pancung kepala terhadap pasukan dan komandannya itu, akan tetapi ketika para panglima yang setia kepadanya hendak menangkapi keluarga Agahai, Puteri Khamila melarangnya.

"Betapapun juga, Agahai adalah keluarga mendiang Raja Sabutai, dan karena hanya dia yang berdosa, maka biarlah keluarganya dibebaskan daripada hukuman."

Thian Sin tidak membantah keputusan neneknya ini, karena diapun sudah puas menyaksikan semua pengeroyok ayah bundanya telah dijatuhi hukuman mati. Bahkan setelah tujuannya datang ke tempat ini telah terlaksana, yaitu membalas dendam atas kematian orang tuanya terhadap Raja Agahai, Thian Sin tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat itu.

Para menteri dan panglima yang tahu bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw itu adalah seorang pemuda yang sakti, mengajukan usul kepada Puteri Khamlia agar pemuda itu dapat menjadi raja, menggantikan Agahai dan hal itu dianggap sudah sepatutnya dan sah karena walaupun pemuda itu mempunyai seorang ibu bangsa Han, namun dia adalah keturunan langsung dari Raja Sabutai. Tentu saja hanya Puteri Khamila yang tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai darah Raja Sabutai sedikitpun juga! Namun usul ini amat berkenan di hati Sang Puteri, maka iapun mencoba untuk membujuk kepada Thian Sin untuk menerima usul itu. Akan tetapi, dengan tegas Thian Sin menolaknya, kemudian bahkan memperingatkan kepada para menteri agar mengangkat Ratu Khamila sebagai ibu suri dan juga sebagai pejabat raja sebelum memilih pengganti raja, dan kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan Ratu Khamila untuk memilih raja.

Tentu saja Ratu Khamila menjadi kecewa sekali. Akan tetapi cucunya itu berkata dengan suara tegas, "Harap nenek mengerti bahwa masih banyak hal yang harus saya selesaikan, dan terutama sekali membalas dendam kepada musuh-musuh yang telah membunuh ayah bundaku. Selain itu, juga saya sedikitpun tidak berminat untuk menjadi raja, maka terserahlah kepada nenek untuk menentukan siapa yang patut untuk menjadi seorang raja yang baik."

Akhirnya Ratu Khamila terpaksa menyetujui dan pada hari Thian Sin meninggalkan tempat itu, Ratu Khamila mengumumkan bahwa yang diangkat menjadi calon raja tetap saja adalah putera Agahai sebagai pangeran satu-satunya yang menjadi keturunan keluarga Raja Sabutai. Akan tetapi, sebelum anak itu besar, Ratu Khamila sendiri yang memegang jabatan wakil raja.

***

Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan? Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik "sesuatu" itu merupakan benda ataupun gagasan, sudah pasti disebabkan karena si pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu.

Kepuasan adalah terpenuhinya keinginan itu, lalu dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Namun, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sejenak saja, demikianpun kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik.

Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua. Dan kitapun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan takkan pernah dapat dinikmatinya dan yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.

Padahal, keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena tidak pernah mengamati yang "ini", selalu mencari-cari dan memandang kepada yang "itu", maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi. Kita sudah demikian mabuk oleh cita-cita, oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, sehingga kehidupan kita tidak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada dan dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada. Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain nampak lebih nikmat daripada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di kebun sendiri.

Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membentuk gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimanapun juga? Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL kalau kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?

Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Dia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang pada waktu itu, Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya. Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan sekali, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar. Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini kalau berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa serem. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main.

Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggauta Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri sudah bubar dan musuh besarnya yang ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ. Akan tetapi, mungkin sekali di antara mereka ada yang mengetahui di mana adanya kakek itu sekarang, maka diapun membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan itu.

Daerah ini merupakah daerah yang berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh. Karena dia sendiri adalah seorang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu.

Dia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di dalam pohon besar di tengah hutan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur.

Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara. Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada sebatang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat lima orang sedang berteriak-teriak mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang telah berhasil menjebak seekor binatang buas. Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan diam-diam dia terkejut. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya.

Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara biruang. Akan tetapi tentu seekor biruang yang besar sekali yang telah tertangkap itu. Dia hanya mengintai dan melihat betapa lima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan. Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah ketika dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar.

"Cepatlah, kami hampir kewalahan!"

Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang. Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tidak nampak berada di dalam lubang dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang. Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya! Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah.

"Kita mulai sekarang!" kata seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu.

"Kalian cepat di seberang lubang dan menggodanya, memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya."

"Tapi... berbahaya sekali untukmu, twako..."

"Tidak, aku dapat lari dan naik ke pohon itu." kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu.

Setelah menerima perintah, sembilan orang itu lalu meninggalkan lubang, berlari-lari dengan cepat mengelilingi jebakan batu dan berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Si pemimpin kini sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan.

"Twako, pergilah!"

"Larilah!" teriak mereka dengan khawatir.

Pemimpin pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah, mencegah binatang itu yang agak hendak merangkak keluar dari dalam lubang. Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu tertangkap oleh binatang itu, terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya.

"Dukk...!" Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan diapun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Biarpun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu, terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan!

Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang marah, nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya bertaring yang mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar. Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biarpun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam.

Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu! Thian Sin terkejut, dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya! Kini, melihat gerakan orang hutan itu dan melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Diapun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu. Semua pemburu sudah pucat mukanya melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali.

Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, diapun melihat pemuda itu dan dia memandang dengan mata terbelalak.

Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka merekapun berteriak-teriak, "Orang muda, lekas lari ke sini...! Cepat...!"

Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat pemuda itu tersenyum saja dan memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini berdiri tenang saja dan ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram dan mengalihkan pandang matanya. Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlalu lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya. Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itupun menahan napas dan memandang penuh kengerian karena mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tak berapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu.

Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Binatang itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini dapat menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri dengan gerakan refleks yang amat cepat, seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi. Serangan ke dua ini lebih cepat daripada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang memang alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan. Biarpun Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, namun dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu sudah menyentuh pundaknya dan kalau sampai jari-jari tangan yang kuat itu mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin lalu mengerahkan tenaga dan memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan hantaman keras ke arah perut binatang itu.

"Dukkk... Desss...!" Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang amat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu dengan perut yang seperti penuh dengan angin, sehingga kuat bukan main.

Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tidak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Kini dia marah bukan main, menyerang bertubi-tubi dengan gerakan kedua lengan panjang itu lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seolah-olah menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu.


Serangan-serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya memiliki kecepatan dan kekuatan alamiah saja, namun tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan kalau dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binatang itu. Dua kali dia memukul dan menendang, membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu memiliki kekebalan yang luar biasa, sudah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas.

Sepuluh orang yang tadinya ketakutan dan khawatir akan keselamatan Thian Sin, memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi.

"Taihiap, harap jangan bunuh dia!"

"Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!"

"Kalau dia mati, kami tentu takkan diampuni!"

Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini. Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apalagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi diapun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini.

Dia teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di tepi perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun. Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan dan tendangan itu, marah sekali dan terus menerjang dengan dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada saat tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu. Binatang itu terdorong ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi, dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap.

Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang, binatang itu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang. Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu.

Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka lalu menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman.

"Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Kalau tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu."

Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang. Thian Sin menengok ke arah lubang itu.

"Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?"

Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tidak karuan bentuknya, dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan terlepas dari pundaknya.

"Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang telah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku telah menyelamatkan kalian? Siapa mengancam kalian?"

Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab dan Si Tinggi Besar itu bahkan berkata lirih, "Tidak apa-apa, taihiap... kami... telah salah bicara tadi... kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu."

Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan diapun melangkah ke arah lubang jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah.

"Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu."

Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru, "A Pin... jangan...!"

Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin. Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka diapun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah. Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan dengan pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut.

Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang inipun mengandung racun yang amat hebat. Hal ini diketahuinya dari baunya. Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat, pedang itu telah terampas olehnya dan tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu tersusul hiruk-pikuk di dalam lubang, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan.

Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja dan suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas memperoleh seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya. Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah.

"Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?" tiba-tiba dia membentak.

Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup, "Tidak... bukan, taihiap, Jeng-hwa-pang sudah tidak ada..."

Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, "kami hanyalah pemburu-pemburu biasa..."

Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya. "Tak perlu kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Lupakah kalian kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?"

Mereka semakin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang merekapun ingatlah kepada pemuda ini.

"Ampun, taihiap... ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenal taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu..."

"Sikap kalian aneh, seperti ada yang kalian takutkan. Dan temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulempar satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukan yang lain itu."

Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apalagi mengingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut sekali. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita.  

Pendekar SadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang