Jilid 16

3.9K 52 0
                                    

Akan tetapi Thian Sin tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya benda pusaka warisan neneknya. Dan dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang perlu dihadapi dengan pedang. 

Dengan amat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar putih itu, dan sambil mengelak diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Wuut-wuuut-singgggg...!" Pedang di tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar kuat, namun Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan ketika pedang itu masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya menangkis.

"Eh...?" So Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan itu tentu akan robek atau putus kalau bertemu dengan pedang pusakanya. Namun gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian Sin.

"Plakk!"

Dara itu terpekik dan meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat lunaknya terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main. Tahulah dia bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sin-kang yang tingkatnya sudah amat tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat terluka! Itulah tingkat sin-kang yang baginya masih terlalu tinggi dan mungkin hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu!

"Engkau hebat...!" katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thian Sin.

Pemuda ini merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat pujian lawannya. Maka diapun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apalagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat gin-kang dan sin-kang seperti dia!

Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mungkin dapat dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajari selama sebulan saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini telah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, terutama setelah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini amat mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji.

Siangkoan Wi Hong sejak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa semakin tidak senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia ini tidak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan sekarang, selagi dia ingin membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya yang paling diandalkan didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling memuji-muji Thian Sin.

"Bocah sombong!" teriaknya dan dia sudah menerjang maju.

"Plakk!"

Ujung yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan tenang, "Saudara Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?"

Kemarahan Siangkoan Wi Hong makin berkobar, "Keparat, siapa takut berhadapan dengan putera Pendekar Lembah Naga?"

Setelah berkata demikian, yang-kimnya bergerak cepat meluarkan suara berdering dan yang-kim itu sudah menyambar ke arah kepala Han Tiong. Han Tiong dengan sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu dengan mudah mengelak sampai belasan kali sambil diam-diam mempelajari gerakan-gerakan senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan amat berbahaya itu.

Sementara itu, melihat betapa sumoinya yang berpedang, dia tahu lebih daripada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoinya itu memuji-muji lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah. Diam-diam perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila kepada sumoinya, maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoinya tertarik kepada pemuda ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati.

Tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang Thian Sin.

"Suheng! Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!" Cian Ling berseru kaget melihat gerakan suhengnya.

Akan tetapi Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian Sin dengan senjatanya. Namun dengan mudahnya Thian Sin mengelak, bahkan dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja terselaput emas itu membalik dan mengejutkan pemegangnya.

Sementara itu, Cia Kong Liang juga sudah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis dari Bu-tek Kai-pang dan tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda putera ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, dia dikepung rapat oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang pengemis yang masing-masing memegang tongkat. Kong Liang terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang amat kuat dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah dapat menembus benteng gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu. Betapapun juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk balas menyerang karena lima orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai.

Juga pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan kelihatannya seimbang. Padahal, sesungguhnya bukanlah demikian. Memang harus diakui bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan Wi Hong kini jauh lebih lihai daripada ketika dia dengan tangan kosong melawan Thian Sin, bagaikan seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, dia masih kalah jauh, apalagi dalam kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu.

Biarpun Han Tiong bertangan kosong, namun kalau dia menghendaki, dia dapat mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Akan tetapi Han Tiong tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan. Antara dia dan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apapun, dan dia tidak membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkannya dan melukainya? Dia lebih banyak bertahan saja dan mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali.

Berbeda dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia mainkan Pat-hong Sin-kun untuk menghadapi Cian Ling, sekalian untuk melatih ilmu silat baru ini, dan begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya dengan hebat, dia cepat mencoba pula ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang. Begitu dia mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya mengerahkan Pek-in-ciang nampak uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih).

Ciang Gu Sik adalah murid pertama See-thian-ong, sungguhpun tingkat kepandaiannya masih di bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan untuk menyerang itu membalik! Pada saat itu, Cian Ling sudah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan agar pemuda itu dapat peringatan lebih dulu sebelum dia menyerang karena majunya suhengnya yang mengeroyok ini membuat hatinya tidak enak. Thian Sin yang ingin memamerkan kepandaiannya, masih tetap menggunakan Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah pedang sehingga pedang itupun menyeleweng. Akan tetapi, Thian Sin kurang pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang lebih tepat dan ampuh kalau dipergunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong. Kini, menghadapi dua lawan yang bersenjata dia mengandalkan Pek-in-ciang, tentu saja tidak tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan tangan lawan, dan kalau untuk menghadapi senjata tajam yang keras, hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil pelecut pundaknya dan ujung joan-pian yang digerakkan dengan ahli itu terus melilit lehernya!

"Aihhh...!" Cian Ling memekik kaget, dan menahan tusukan pedangnya.

Akan tetapi sesaat kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri.

"Auhhhhh... ah, lepaskan...!" Murid See-thian-ong ini terbelalak, terengah dan menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin!

Sungguh suatu pemandangan yang aneh sekali, jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sing bahkan ujungnya, seperti seekor ular, melilit leher pemuda itu. Akan tetapi kenapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu?

Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Hal ini amat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar.

"Plakk!" Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya.

Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya.

Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling terkejut dan dia ingin membantu suhengnya, akan tetapi diapun tidak ingin mencelakai Thian Sin, maka tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu.

Akan tetapi, Thian Sin tidak mengelak dan membiarkan pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak.

"Ehhh...!" Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sin-kangnya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar! Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang sudah tersedot sin-kangnya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya.

Justeru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu memandang kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu, tiba-tiba mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan... meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi-i-beng.

Cian Ling mengeluh lirih dan meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, dan mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya!

"Ahhh... kau... kau..." dan dia tersenyum malu-malu, menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. "Kenapa kau... tidak memukulku...?" bisiknya.

"Aku tidak bisa memukul wanita..." kata Thian Sin.

Pada saat itu, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu, akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apalagi membunuhnya. Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara halus, "Tahan, jangan berkelahi...!"

Dan muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw dan belasan orang anak buah Tung-hai-sian. Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian dan dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan kedua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat mereka yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang kalau tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa.

"Tahan, jangan berkelahi antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!" kata pula Tung-hai-sian.

Sedangkan sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya dan Siangkoan Wi Hong juga tidak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tidak peduli dan memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran. Di antara lima orang itu, ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, walaupun bukan luka yang berat, sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin untuk membendung serangan bertubi-tubi dari lima orang pengeroyoknya.

Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, lalu menarik napas panjang. "Hemm, kiranya para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami maka kami harap, menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami."

Ucapannya itu halus namun mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar.

"Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tidak mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkahpun!" jawab Kong Liang dengan sikap gagah.

Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda inipun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran, "Paman, sejak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang mengangkat diri sebagai pendekar-pendekar?"

Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah tahu akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam! Akan tetapi, bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itupun terlalu rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka diapun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa.

"Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami, keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik dan selama menjadi tamu kami, maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetap tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami. Oleh karena itu, kami melarang siapapun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!"

Cia Kong Liang menjura dan menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, dan dia berkata, "Kami dari Cin-ling-paipun sama sekali tidak ingin mencari permusuhan dengan siapapun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe."

Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk mempunyai seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, mengangguk dan balas menjura. "Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa."

"Selamat jalan, Cia-koko..." kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali.

Terpaksa Kong Liang menjawab, "Selamat tinggal, nona."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Baru setelah tiga orang pemuda itu pergi dan kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi ketika mereka bicara di depan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Kini sikap orang-orang muda itu tidaklah sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka.

Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran kalau mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang.

"Paman Tung-hai-sian!" kata Siangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. "Kita adalah golongan srigala atau harimau. Patutkah kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebalkan!"

"Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur sudah mulai lemah dan jerih menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!"

Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, suaranya mengejek.

"Kalian ini cacing-cacing busuk!" Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap amat halus dan sopan itu kini memaki-maki. "Urusan perjodohanku apa perlunya kalian ikut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?"

Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang, bergantian kepada Siangkoan Wi Hong dan pengemis itu, "Kalau tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu sudah kurobek mulut kalian yang lancang! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andaikata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain lebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah."

"Hemm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!" kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suhengnya pergi dari situ.

"Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!" tiba-tiba So Cian Ling mengomel.

"Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!" Dan diapun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik.

"Kamipun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan baik untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!" kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ.

Tung-hai-sian tidak menjawab dan memang sopan santun tidak berlaku dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di depan tamu-tamu lain. Di antara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu.

Bin Biauw masih mendongkol dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka diapun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya.

Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. "Sumoi, sikapmu tadi sungguh memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!"

Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya memandang tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan. "Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka padanya! Apa salahnya kalau timbul berahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?"

Suaranya penuh tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek. Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali menjadi warna aselinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan.

"Mau apa? Hanya ingin membunuhnya!"

"Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!"

"Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena terkejut oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi-i-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana caranya menundukkan Thi-khi-i-beng!"

"Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmmmm... dia ganteng dan menarik sekali!"

Dara itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya. Memang mengejutkan kalau melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa mempedulikan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan. Pandangan mereka itu bagaikan bumi dan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum pendekar. Mereka ini mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan.

Kehormatan bagi seorang pendekar lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan. Manakah yang benar di antara dua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka akan nampaklah kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi. Yang penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal.
Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti kalau kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran dan kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi!

Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan dan tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan dan bersusila. Ditekankan kepada kita sampai mendalam sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya. Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Untuk dianggap baik! Dan keinginan baik inilah yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan agar "menjadi orang baik" termasuk orang sopan, bersuslia dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi agar dianggap sebagai orang baik. Maka timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya kepada diri sendiri, akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita dalam sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita ini orang-orang munafik. Beranikah kita melihat kenyataan ini?

Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan para datuk, boleh bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu! Belajar hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Betapa akan indahnya! Bebas dari kepalsuan dan kepura-puraan. Dapatkah... atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka!
Dua orang pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di persimpangan jalan, dan kalau Han Tiong memandang kepada pamannya dengan bayangan perasaan heran dan iba, sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya dan kelihatan penasaran sekali.

"Akan tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman menghadapi musuh yang mengeroyok paman?" Thian Sin membantah dengan suara bernada penasaran.

"Kalian sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Aku yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kalian," Kong Liang mengomel.

"Tapi kami dapat menjaga diri, paman," Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak terdengar penasaran seperti adiknya.

"Hemm, betapapun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua. Tanpa bantuan kalianpun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua akan roboh oleh pedangku."

Dua orang pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. "Maafkan kami, paman." akhirnya Han Tiong berkata.

"Dan sekarang kami akan melanjutkan perjalanan kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman."

"Sampaikan pula hormat dan terima kasihku kepada mereka, terutama kepada nenek, paman," kata pula Thian Sin.

Kong Liang mengangguk. "Baik, akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian dalam perjalanan. Kalian belum banyak pengalaman dan di dunia ini banyak orang jahat yang amat lihai, hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan orang-orang kang-ouw."
Dia menasihati dengan sikap seperti seorang dewasa menasihati anak-anak yang masih bodoh.

Setelah mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran kalau mengenangkan sikap Cia Kong Liang. Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan kakaknya, sepatutnyalah kalau Han Tiong kakaknya itu yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan.

Sikap kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tidak suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh lebih "matang" dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun mentah itu.

"Tiong-ko, kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?"

Akhirnya dia tidak dapat menahan rasa penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya. Han Tiong menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, "Sudahlah,adikku, Paman Kong Liang itu memang paman kita akan tetapi diapun masih muda."

Dari jawaban ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih "tua" dan matang dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia merasa yakin bahwa dalam hal kepandaianpun kakaknya itu agaknya tidak kalah dibandingkan dengan putera ketua Cin-ling-pai.

Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti kita telah ketahui, di kota inilah Gu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh betas tahun dan Ciu Lian Hong puteri Kui Lan yang telah berusia enam belas tahun.

Ciu Khai Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya, membuka sebuah perusahaan pengawalan barang yang bernama Hui-eng-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Garuda Terbang), yaitu melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama.

Setelah dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai murid Siauw-lim-pai yang pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya. Bendera kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu amat terkenal di kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tidak ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu rombongan yang dikawal oleh piauwsu (pengawal) dari Hui-eng-piauwkiok.

Baru melihat kereta-kereta yang atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya. Tentu saja untuk memperoleh nama besar yang ditakuti para penjahat ini bukan merupakan hal yang mudah. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun mengawal sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia harus menggunakan kepandaiannya menundukkan para perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok mereka.

Setelah melihat kegagahan pimpinan Hui-eng-piauwkiok ini, barulah perusahaan itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tidak pernah ada gangguan dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya mengandalkan kebesaran namanya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal oleh para pembantunya. Sedangkan dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak mempercayakan barang-barang atau keluarga mereka untuk dikawal, dan semua sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang pandai.

Ciu Bun Hong kini telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh tinggi besar seperti ayahnya. Adapun Ciu Lian Hong telah menjadi seorang dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang sedang dan langsing, seperti ibunya. Kecantikan Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia terkenal di kota Lok-yang sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya.

Orang tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya dan dua orang ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang. Memang, Lian Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih belum dapat menentukan jodohnya.

Agaknya bagi orang tua dara ini, tidak ada seorangpun pemuda yang pantas menjadi jodoh puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka telah menolak entah berapa banyak lamaran yang datang. Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum memikirkan soal perjodohan.

Cia Han Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan megah, dan kantor yang berpapan Hui-eng-piauwkiok dengan huruf-huruf besar itupun agaknya telah diperbesar. Dari keadaan rumah dan kantor ini saja Han Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh kemajuan pesat, maka diam-diam diapun merasa gembira.

Pagi telah melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu sedang duduk di ruangan depan, dan dia sendiripun bingung karena tidak dapat membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh merekapun tiada bedanya. Adapun dua orang nyonya kembar itu, yang kini sudah menjadi nyonya setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu datang ke kantor di sebelah dan kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu pegawai kantor akan melaporkan kepada majikannya dan Khai Sun akan menemui tamu itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka keduanya memandang heran.

Han Tiong dengan wajah gembira, sudah melangkah ke depan dan menjura dengan hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin.

"Saya harap bibi berdua sekeluarga berada dalam keadaan baik-baik saja selama ini," kata Han Tiong dengan sikap halus.

"Siapa kalian...?" tanya Kui Lan.

"Dan ada keperluan apakah?" sambung Kui Lin.

Han Tiong tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua.

"Ah, harap bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong..."

"Han Tiong...?"

"Putera Sin-koko...?"

Dua orang wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong dengan wajah gembira sekali.

"Aihhh, sudah menjadi seorang dewasa!"

"Dan gagah benar kau, Han Tiong!"

"Mana mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan sekarang telah menjadi begini besar!"

Han Tiong menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang bicara sambil sambung itu.

"Maaf... maaf... saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan antara bibi berdua..."

Kedua orang wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang yang tidak dapat membedakan antara mereka.

"Aku Bibi Lan," dan kata Kui Lan.

"Dan aku Bibi Lin." kata yang kedua.

"Dan siapakah pemuda ini?" Kui Lan dan Kui Lin memandang kepada Thian Sin yang sejak tadi hanya diam saja dan melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang bibinya itu.

Dia tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya, merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat melihat perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguhpun memang pada lahirnya mereka itu serupa benar. Thian Sin memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu mempunyai sinar mata yang lebih dalam dan juga pendiam dan lebih tenang.

Dan hanya kalau keduanya dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya berseri-seri.

"Dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si." Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura.

Karena dia menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak mendengar nama Ceng Han Houw.

Thian Sin hanya mendengar kakaknya menyambung kata-katanya dengan agak tergesa-gesa.

"Thian Sin ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula."

"Ahhh... syukurlah kalau begitu," kata Kui Lin.

"Dia tampan sekali!" puji Kui Lan. "Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih silat kepada Bun Hong dan Lian Hong."

Dengan ramah dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua orang anak mereka. Tak lama kemudian wanita itu datang lagi bersama suaminya dan dua orang anak mereka.

Han Tiong dan Thian Sin cepat bangkit dari tempat duduk mereka dan menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu. Ciu Khai Sun sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, akan tetapi dia masih nampak gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat. Dengan wajah berseri pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan Thian Sin, tertawa dan dia memegang kedua pundak Han Tiong.

"Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!" katanya dengan ramah sekali, kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. "Dan ini Ceng Thian Sin, adik angkatmu? Tampan dan gagah dia!"

Hati Thian Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan mendengar bahwa ia putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat kalau dia diperkenalkan sebagai putera pangeran itu.

"Tiong-koko!" kata Bun Hong sambil maju memberi hormat.

"Hai, engkau sudah menjadi seorang pemuda yang lebih tinggi daripada aku!" Han Tiong berseru gembira sambil membalas penghormatan pemuda yang bertubuh seperti ayahnya itu.

Memang Bun Hong nampak gagah perkasa seperti ayahnya, apalagi pada saat dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian berlatih silat sehingga nampaklah bentuk tubuhnya yang kekar.

"Tiong-koko!" Dara itu memberi hormat dan memanggil pula.

Han Tiong memandang dan jantungnya berdebar. Belum pernah dia merasakan jantungnya berdebar seperti ini kalau dia bertemu dengan seorang dara. Akan tetapi gadis ini memang luar biasa sekali, sukar baginya untuk menggambarkan bagaimana cantiknya. Semua bagian tubuh dara itu, dari rambutnya yang agak kusut karena habis berlatih silat, dahinya yang masih agak basah oleh peluh, sampai kepada cara dia berdiri dan memberi hormat, semua itu memiliki daya tarik yang demikian mempesonakan sehingga untuk sekejap Han Tiong seperti terpesona dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, dengan kekuatan hatinya dia mampu juga membuat dirinya bergerak dan keluar dari pesona yang melumpuhkan itu.

"Ah, adik Lian Hong! Engkaupun telah menjadi seorang gadis yang dewasa...!" hanya demikian dia mampu berkata, setelah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan "yang sangat cantik jelita" sungguhpun hatinya meneriakkan demikian.

Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, "O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang suteku sendiri karena diapun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu."

Akan tetapi sudah sejak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia seperti melihat seorang bidadari dari kahyangan turun! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona. Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpipun belum. Begitu melihat, dia sudah jatuh cinta sepenuhnya.

Sesungguhnya, tidak tepatlah kalau dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, kalau pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila. Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apapun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya dan hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang telah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukan melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu.

"Sin-te...!" Dengan suara halus Han Tiong menegur.

Thian Sin terkejut dan cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, "Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan..."

Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang membawa minuman dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan, harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu.

Dengan sikap hormat Han Tiong lalu menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Setelah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada dua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu. Isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah di samping mengabarkan keselamatan, dan memperkenalkan dua orang muda itu, juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka.

Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggauta keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya terdapat kebingungan dan keraguan pula karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih di antara Han Tiong dan Thian Sin! Kalau melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, biarpun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, namun dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja. Akan tetapi kalau mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya!

"Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!" kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan.

Bukankah mereka berduapun anak kandung dari seorang ayah yang tak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka diapun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju.

"Dan sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri," kata Kui Lan.

Ciu Khai Sun kembali mengangguk. "Apa yang kalian katakan adalah benar dan tepat. Betapapun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata kalau melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang amat sukar memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai mantu seorang di antara mereka. Betapapun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita."

Selama beberapa hari semenjak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itupun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandai berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu.

Melihat sikap Thian Sin itu, Han Tiong seperti biasa menahan dirinya dan Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong. Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apalagi bergaul dengan wanita. Thian Sin memiliki bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap wanita, tidak seperti Han Tiong yang merasa malu-malu. terutama sekali malu diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita. Apalagi, pemuda ini memiliki perasan yang amat peka, dan melihat betapa Thian Sin tidak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka diapun mundur teratur, sungguhpun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu!

Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama dua orang tamunya berkumpul, makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang amat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an-piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin. Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh terisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas.

Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun mengerutkan alisnya. "Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?"

"Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungai Luai. Kui-piauwsu mengawalnya sendiri mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia dan semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu."

"Hemm... di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak terdapat perampok, dan andaikata ada juga, tentu para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an-piauwkiok," Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya.

Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu.

"Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu," kata orang itu. "Gerombolan perampok itu agaknya merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggauta Pouw-an-piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah merekapun tidak lebih hanya sepuluh orang saja yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh."

"Engkau harus tolong Beng Sin-twako," kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong.

Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu, oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya.

"Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an-piauwkiok dijual sekalipun, belum tentu akan dapat mengganti harga barang-barang itu yang jumlahnya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah, Kui-piauwsu menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kami mengingat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, maka kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini."

Cim Khai Sun mengangguk-angguk. "Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan."

Setelah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu.

Pada saat itu, Thian Sin berkata, "Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok laknat itu, membasmi mereka dan merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an-piauwkiok."

"Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman," kata Han Tiong. "Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok-perampok itu."

"Aku ikut!" kata Lian Hong.

"Akupun ikut!" kata Bun Hong.

Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum.

"Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah kalau sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?"

"Tidak, paman," kata Han Tiong, suaranya tegas. "Bahkan sebaliknya, kalau ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat malapetaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah kepada kami. Biarkan kami pergi, paman."

"Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!" kata Thian Sin tegas.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri.

"Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian."

"Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja," jawab Han Tiong.

"Ayah, aku ikut!" kata pula Lian Hong.

"Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!" sambung Bun Hong.

"Aihh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?" Kui Lan mencela.

"Kalian ini seperti anak kecil saja. Kedua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?" Kui Lin juga mengomel.

"Ayah selama ini mengajarkan ilmu silat, dan sekarang terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?" Lian Hong membantah.

"Benar, kita hanya boleh ikut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya diberi kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka," kata Bun Hong.

"Setidaknya, kita tidak boleh enak-enak saja mambiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!" Lian Hong menambah pula.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang. "Kalian ini sungguh seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu amat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an-piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil."

Melihat wajah Lian Hong cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin segera berkata, "Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya dan bertanggung jawab kalau ada apa-apa menimpa dirinya!"

Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, dan merasa tidak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka diapun cepat berkata dengan suara tenang.

"Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka."  

Pendekar SadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang