Jilid 28

3.8K 49 0
                                    

Sisa para anggauta Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, setelah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka dan membentuk perkampungan. Akan tetapi mereka telah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat, tidak mau mengganggu para pelancong dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain.

Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena selain rata-rata, sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, mereka memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan. Mereka hidup aman dan tenteram selama bertahun-tahun, keluarga mereka berkembang-biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan dan berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat.

Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan ketika muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, seorang peranakan Han dan Rusia Kozak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan biarpun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih. Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan merekapun lalu menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan diapun menjagoi di perkampungan itu.

Kiranya orang ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya, dirobohkannya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To inipun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah! Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka.

Memang benar bahwa Su Lo To tidak menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekerja berat, dan sebagian dari hasil buruan diambilnya sendiri. Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya! Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang memeras orang-orangnya dan mempergunakan tangan besi. Semua orang takut kepadanya, karena Su Lo To ini amat kejam.

Beberapa orang telah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya. Laki-laki tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan sudah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya.

Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka biarpun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya. Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang mantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini datang dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan termasuk seorang wanita yang cantik dan manis. Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan malapetaka bagi keluarganya, karena seperti mudah diduga, Su Lo To tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Dan timbullah akalnya yang busuk! Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar tak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang anat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan telah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu. Dan Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, setelah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup!

"Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik," demikian katanya kepada Gak Song.

"Aku ingin menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka diapun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!"

Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka kalau Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menanti dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak dan orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap.

"Demikianlah, taihiap, selanjutnya taihiap melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tidak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri."

Thian Sin mengangguk-angguk. "Tapi, bagaimana seorang temanmu dapat berada di dalam perangkap itu?"

"Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar lagi. Dan binatang itu hebat sekali. Tusukan tombak tidak melukainya, dan dia bahkan berhasil menangkap sebatang tombak dan menarik tombak itu, membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi," Gak Song menarik napas panjang. "Dan... teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut kepada ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini..."

Thian Sin mengangguk-angguk. "Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?"

"Kami tadi tidak berani mempergunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang, dia tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap."

Pada saat itu terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka.

"Su Bwee...!" teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang cepat berlari maju menyambut wanita itu.

Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu manis dan pakaiannya, juga rambutnya, awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis.

"Apa yang terjadi?" Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut.

"Ia mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku... entah apa yang telah terjadi, taihiap..." Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju.

"Su Bwee, berhentilah menangis dan ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?" kata Gak Song.

Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya, menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis iapun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya.

"Ayah... bunuhlah saja saya..." tangisnya.

Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu diapun membentak, suaranya berwibawa.

"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan ceritakan apa yang telah terjadi!"

Su Bwee menceritaken dengan suara tidak jelas karena betapapun ia menahannya, tetap saja ia bicara sambil menangis sesenggukan. "Setelah ayah dan suami saya pergi... ketua kedatangan seorang tamu... dan untuk menjamu tamu itu... saya dan beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan... kemudian... ketua memaksa saya... uh-hu-huuh... dia... dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan... dan... uh-huu-huuh..."

Wanita itu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena ia sudah terguling dan roboh pingsan. Agaknya ia telah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka ia kehabisan napas dan juga kesedihan yang amat besar menghimpit perasaannya. Biarpun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, kepada Su Bwee ini.

Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanyat seolah-olah hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Laki-laki tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan diapun lalu berteriak dengan geramnya.

"Su Lo To, manusia jahanam! Berani menghinaku seperti ini?"

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. "He-he, kaulihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang berani menentangku!"

Dan muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan. Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To dan seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan.

Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri.

Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu telah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan kepalanya malah digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain? Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tiba dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan.

Sementara itu Gak Song yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya.

"Su Lo To manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu."

Gak Song mempergunakan tombaknya untuk menyerang. Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To tertawa. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan ketika tertawa, nampak giginya yang berwarna kuning menghitam.

Ketika mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring dan sekali sambar, dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan semakin kuat, kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia sudah menendang dan Gak Song tak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang.

Pada saat itu, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, juga menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak di tangan pemuda itu patah.

Sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya dan pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya.

"Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha, sudah bosan hidup, ya?"

Tiba-tiba terdengar gerengan yang dahsyat sekali. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan diapun mengerti, lalu tertawa girang. "Aha, si liar itu sudah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah kuberi hadiah pertama dia agar mudah menjadi jinak!"

Lalu dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. "Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!"

Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka sudah menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song dan puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap agar dibunuh oleh orang hutan!

Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar dua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya.

"Apakah engkau yang bernama Su Lo To?" tanya Thian Sin dengan suara halus.

Su Lo To mengernyitkan alisnya dan memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnnya.

"Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau bisa berada di sini?"

"Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan padamu! Jangan lepaskan dia!"

Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah.

Thian Sin tersenyum. "Aha, kiranya dua ekor srigala busuk telah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To memang cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!"


Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana dia dapat muncul secara tiba-tiba di sini? Bukankah dia telah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu. Maka, biarpun dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu.

Akan tetapi masih ada bekas kaki tangannya yang berhasil menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukan dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya. Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, seorang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya!

Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suhengnya yang telah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka. Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suhengnya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai dan dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sutenya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang. Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main.

"Keparat sombong!" Su Lo To membentak dan ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin.

Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri dan tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu menancap pada batang pohon sampai setengahnya!

"Hayo kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!" bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu.

Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tidak ada seorangpun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biarpun mereka amat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorangpun yang mau mengeroyok Thian Sin.

Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga girang melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu.

"Hemm, tidak ada seorangpun yang mau mentaati perintahku, ya? Baik, tunggu saja, setelah kubereskan dia, kalianpun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!" katanya menuding ke arah Gak Song.

Hatinya makin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu telah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, melihat wanita itu lenyap dari kamarnya ketika dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu. Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dapat dengan bebas memiliki wanita itu. Tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya.

"Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!" Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran.

Dia tahu bahwa kepandaian sutenya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sutenya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar.

"Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?" bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di depannya, dia lalu melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu.

Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dengan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka diapun mengerahkan sin-kangnya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan mengira bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengah mudah dan enaknya Thian Sin mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri. Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti ketika menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang!

Melihat betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah.

"Bagus, kiranya engkau mempunyai sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, sambutlah seranganku ini!"

Su Lo To sudah maju menerjang ke depan, kedua lengannya yang pendek besar itu bergerak aneh dan angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri, didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang itu. Mengerikan sekali. Thian Sin yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu, Torgan juga sudah menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang.

"Singgg...!" Pedang menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak.

Pemuda ini mengelak sambil mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan pada saat Su Lo To sudah menubruk maju lagi.

"Plakk!" Ujung lengan baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To.

Ujung lengan baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti ditusuki jarum-jarum panas! Tahulah dia kini mengapa sutenya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Maka diapun lalu mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok yang tadi tergantung di punggungnya. Golok tipis lebar yang berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung tubuh Thian Sin!

Melihat ini, Gak Song dan teman-temannya yang kesemuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebui sute oleh ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata, harus menghadapi pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini membuat Gak Song menjadi nekad.

"Mari kita bantu taihiap!" berkata demikian, diapun mencari tombak dan para pengikutnya juga bangkit dan siap melawan sampai mati.

"Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum membutuhkan bantuan!"

Ucapan Thian Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi juga menggirangkan hati Gak Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat Thian Sin masih berdiri tegak, diancam oleh dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya. Tiba-tiba terdengar Su Lo To membentak keras dan sinar goloknya menyambar dan mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sutenya yang juga amat membenci pemuda yang telah membuatnya terjungkal dari kursi kedudukannya di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar daripada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya merupakan seorang pengacau saja.

Thian Sin maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya, dia merupakan seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya. Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandinginya! Kiranya, dengan ilmu manapun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan itu.

Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji ilmu peninggalan ayahnya yang telah dilatihnya secara masak, di bawah bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di dalam pertapaannya itu.

Oleh karena itu, diapun segera menghadapi serangan-serangan dua orang itu dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan memang hebat bukan main ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas jurus ini. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sin-kang yang terkumpul melalui siulian menurut ajaran kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu.

Gerakan kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu mendekatinya, apalagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak dapat bertahan lagi dan terus terhuyung ke belakang!

"Hemm, dua ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!" Thian Sin membentak dan kini dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun dan tiba-tiba saja tubuhnya berjungkir-balik!

Dua orang lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh sekali dan sebelum mereka tahu apa yang telah terjadi, ujung kedua sepatu itu telah menendang dan membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut dan merekapun terpelanting dan jatuh!

Dua orang itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah bertemu dengan lawan sehebat ini. Mereka sudah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan tangan. Jarum-jarum dan paku-paku beracun bertaburan keluar dari tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum saja, tangan kirinya mencabut kipas dan dengan beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu runtuh. Bahkan bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki seperti mengenai baja saja dan runtuh tanpa menimbulkan luka. Dan sambil tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka.

Dua orang itu memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya, hendak melawan merasa takut!

"Engkau hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?" Thian Sin berkata, suaranya halus dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah lehernya yang sedikit berkeringat.

Su Lo To dan Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggeleng kepala. Mereka belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap di mana terdapat seekor orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tiba-tiba Thian Sin berseru,

"Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke sana!"

Kipasnya menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat. Dua orang yang sudah merasa jerih itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terdorong dan terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi.

Kiranya Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangan untuk menarik perhatian mereka ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sin-kang dan menendang ke arah mereka, tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu.

Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diseling seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu.

Thian Sin, Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali, pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan karena lubang itu terlalu sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga itu lebih tepat bergumul daripada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan. Akhirnya, setelah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki dan sebuah tangan, kemudian mereka mengerahkan tenaga menarik. Terdengar orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, akan tetapi akhirnya terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari lubang. Semua orang meloncat mundur dan tak lama kemudian, dua orang itupun melayang keluar dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan dan muka merekapun berdarah, sungguh menyeramkan sekali keadaan mereka.

Thian Sin tersenyum ketika menghadapi mereka. "Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku."

Dua orang itu saling pandang dan nampak terkejut. Mereka tadinya mengira bahwa setelah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu dan berkelahi mati-matian melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan mereka.

Karena merasa jerih, tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, "Taihiap... harap suka ampunkan kami..."

"Hemm, mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan engkau, Su Lo To, biarpun antara kita tidak terdapat permusuhan, akan tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja! Juga para wanita yang pernah kaupermarmainkan, dan saudara-saudara yang pernah kausiksa atau kaubunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, semua penjahat tentu akan membuat perhitungan denganku!"

Dua orang yang sudah merasa jerih itu, setelah saling memberi isyarat dengan pandang mata, tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang pula ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan terpencar agar seorang di antara mereka depat lolos! Melihat ini, Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan, sekali loncat saja dia sudah berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang itu terguling dan tak dapat bangkit kembali. Thian Sin langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh, akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tak lama kemudian Thian Sin sudah dapat mengejarnya.

Begitu mendengar gerakan dari belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu telah mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik dan mengirim serangan dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk menerkam seperti gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya, karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo To mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, dia akan dapat menghancurkan pemuda itu!

Akan tetapi, Thian Sin menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara "krek, krek!" dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu!

Thian Sin menendang dan lawannyapun roboh tak mampu bangkit lagi, hanya merintih karena terasa nyeri bukan main pada kedua pergelangan tangannya! Gak Song dan teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya.

Setelah melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian Sin dan berkata, "Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap dua orang ini?"

Thian Sin tersenyum. "Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada kalian untuk diadili!"

"Biar kubalaskan sakit hati isteriku!" Putera Gak Song berteriak dan dia sudah mencabut goloknya, lalu mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang sudah tidak mampu mengelak lagi.

"Plakk!" Golok itu terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini lalu mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song yang terbelalak heran dan kaget.

"Bukan begitu caranya menghukum orang jahat. Terlalu enak baginya kalau hanya langsung dipenggal lehernya. Dia ini merusak wanita, suka memperkosa wanita, nah beginilah hukumannya untuk itu!"

Nampak sinar berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana orang itu maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu telah menggunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To! Hanya seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan itu tanpa melukai kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang menusuk-nusuk jantung dan tubuhnya, berkelojotan.

"Dan dia sudah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!"

Kembali nampak sinar golok berkelebat dan kini yang menjadi sasaran adalah kedua tangan Su Lo To yang tahu-tahu telah menjadi buntung! Darah bercucuran dari kedua lengan yang kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To makin keras berkelojotan, mukanya penuh keringat dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang dan membusa.

Semua orang menjadi ngeri sekali menyaksikan ini, bahkan mantu Gak Song yang tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan dalam rangkulan suaminya. Gak Song sendiri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan Thian Sin itu!

"Nah, biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan kejahatannya. Dan sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!"

Dia menghampiri Torgan yang sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suhengnya itu.

"Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?"

Baru sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali melihat suhengnya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan, dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tak mampu lagi berkata-kata, hanya memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh dengan keringat dingin.

"Engkau tidak mau bicara? Padahal, di depan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang menganjurkan agar Raja Agahai ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok orang tuaku. Nah, pertama-tama mulutmu yang harus dihukum!" Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada.

Mulut itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya lenyap terbabat golok sehingga di bagian itu hanya nampak sebuah lubang hitam berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari tenggorokannya dan semua orang memandang dengan hati ngeri.

"Engkaupun harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!"

Golok itu berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya, hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu.

Thian Sin juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song dan kawan-kawannya lalu berkata, "Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak melakukan kejahatan lagi. Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini."

Gak Song menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya.

"Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap," Suaranya menggetar, tanda bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu.

"Dan kalian harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, oleh karena itu, kalau sampai kelak aku medengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!"

Putera Gak Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa ia sama sekali tidak bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya."

"Bagus kalau begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!"

Mendengar pertanyaan ini, Gak Song berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Kami semua sungguh tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh dari kota raja. Tentu saja dia sudah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han Houw."

"Apa maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?"

"Ada dua orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap."

Thian Sin mengangguk-angguk. "Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!"

Sekali dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang menjadi terkejut dan juga kagum bukan main. Sementara itu, dua tubuh yang sudah tidak keruan rupanya itu masih berkelojotan dan dari tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat ini, Gak Song menjadi tidak tega. Biarpun Su Lo To pernah melakukan banyak kejahatan dan menindas dia dan semua temannya, namun melihat tubuh itu berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega. Cepat dia menyambar dua batang tombak dan dengan gerakan kuat dia menancapkan tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung. Tewaslah kedua orang itu seketika juga dan Gak Song lalu memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang, bersama mayat teman mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu, beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang, karena mereka melihat masa depan yang cerah setelah Su Lo To tidak ada.

***

Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar di kota raja dan daerahnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah kalau para pejabat itu menindas rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak (baca Pendekar Lembah Naga).

Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, setelah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tidak ada lagi, pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apalagi setelah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah. Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tak mengenal puas. Kesenangan selalu mendatangkan, di samping kepuasan sesaat saja, juga keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka. Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tiada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci ataupun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, bagaimana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan?


Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu? Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, agar menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan.

Kalau kita mau mendalami hal ini, akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikirkan kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang, sedangkan yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku yang ingin senang selalu. Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tidak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan di dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan amat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.

Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu kalau timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini dan begitu yang kesemuanya tentu menuju ke arah satu, yaitu ingin bebas, ingin aman, ingin selamat, yang sebenarnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang. Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatan saja, tanpa aku si pengamat. Dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan.

Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apalagi di kota raja di mana perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar tingkat tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk. Kai-pang ini amat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai seorang yang dihormati dan disegani, padahal sesungguhnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk memperoleh sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, maupun orang-orang.

Tidak ada sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapapun juga. Selama suatu pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut pemberian atau sumbangan atau dermaan dan sebagainya, maka di dalam pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu. Mungkin sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya dinamakan sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali tidak rela! Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah yang bahkan pemberiannya tidak tidak menganggapnya pemberian atau sumbangan lagi, melainkan merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi.

Orang-orang Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan seperti lajimnya pakaian pengemis, akan tetapi sama sekali tidak butut atau kotor, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan terbuat daripada kain yang bersih dan baru. Dan mereka ini yang menjadi semacam "pelindung" dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk. Memang benar bahwa sejak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena mereka akan berhadapan dengan Hwa-I Kai-pang yang amat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja. Akan tetapi, tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para "pelindung" itu sendirilah yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, kalau para pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau menggertak dengan kasar, sebaliknya para "pelindung" itu melakukannya dengan
halus, dengan dalih melindungi, sumbangan dan sebagainya. Namun, apa bedanya bagi rakyat yang menderita rugi karenanya? Sama saja! Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman.

Inilah ciri dan penyalahgunaan kekuasaan dan hal ini terjadi semenjak jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanya terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula halus. Namun pada hakekatnya kekuasaan disalah gunakan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan diri sendiri. Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tidak mengherankan kalau seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara! Setelah kita melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka satu-satunya jalan bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tidak ikut memperebutkan kekuasaan lagi!

Para penjaga keamanan kota kini boleh tinggal enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan para perajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari toko-toko untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i Kai-pang! Betapapun juga, kini kota raja nampak aman dan tenteram dan Hwa-i Kai-pang seolah-olah menjadi semacam pasukan istimewa yang menjamin keamanan di dalam kota raja.

Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu. Pada suatu hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak memuji. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang membuka pertunjukkan silat untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keselio, juga menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya.

Permainan silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian dengan bertelanjang dada dan punggung, dia menghadap ke empat penjuru.

"Untuk membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan memperlihatkan betapa koyo itu dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat."

Puterinya mengambil sebatang toya kuningan, dan dengan toya ini, mulailah dara itu mengayun toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa ngeri juga. Biarpun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya menjadi matang biru.

Atas isyarat ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu berjalan berkeliling mendekati para penonton melihat keadaan kulit punggung dan dadanya itu dari dekat. Setelah itu, dibantu oleh puterinya dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu. Sambil membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali memperlihatkan kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya berubah menjadi banyak sekali, menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan.

Setelah dara itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada kulit dada dan punggung itu lenyap sudah.

"Cu-wi telah menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri, atau anak-anak cu-wi, terjatuh dan terluka atau membengkak. Harganya murah saja karena koyo ini adalah buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami tidak setiap hari lewat di kota raja ini..."

Dara itu membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum akan kemahiran ayah dan anak itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati. Sebentar saja seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang dan berkali-kali ia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli.

"Cu-wi sekalian telah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat lagi," kata si tukang koyo.

Akan tetapi tiba-tiba para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang pengemis baju kembang. Semua orang merasa khawatir karena biasanya kalau ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul keributan. Mereka itu adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sudah biasa berbuat ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka memasuki lingkaran itu dengan tersenyum mengejek.

Seorang di antara mereka yang pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari hidung ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran karena dia sebagai orang luar tidak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara galak, "Hei, tukang penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk berdagang di sini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?"

Menerima pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukan obat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar.

"Maaf, karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual koyo guna menyambung biaya perjalanan kami."

"Huh, enak saja bicara!" kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. "Siapapun juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak boleh sembarangan membuka pertunjukan di sini!"

"Kami telah terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami akan minta ijin lebih dulu," kata tukang penjual obat itu dengan sikap merendah.

"Mana ada aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo serahkan setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru bisa bicara tentang maaf!" kata Si Muka Codet.

Tukan obat itu mengerutkan alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata dengan suara keras, "Mana bisa? Keuntungan kamipun tidak ada setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?"

"Aha, nona, siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal dan biarpun membayar kepada kami setengahnya sekalipun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!" kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali.

Mendengar ini, kemarahan tukang obat itu tak dapat ditahannya lagi, "Harap ji-wi tidak main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau dan mengandalkan biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang mengambil keuntungan terlalu banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan di sini, maka kami telah melanggar dan harap ji-wi suka memaafkan. Biarlah kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi."

Berkata demikian, tukang obat itu yang belum tahu dengan pengemis macam apa ia berhadapan, telah menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka.

"Plakk!" Si Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu terlempar.

"Hemm, siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami, memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kaukira kami ini orang-orang kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini. Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kauganti saja dengan puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?"

Inilah penghinaan yang sudah jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang kang-ouw yang banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka diapun melompat maju dan bertolak pinggang.

"Sobat, aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah, jangan dikira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng pengemis macam kalian ini!"

Dua orang pengemis itu melotot. "Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?"  

Pendekar SadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang