Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin mulai nampak berat sebelah. Terjadi perubahan yang menampakkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Setelah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa lawannya kini sungguh amat tangguh, jauh lebih lihai daripada satu setengah tahun yang lalu. Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh amat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dengan asing sama sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri daripada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam.
Dia tahu bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia telah mempelajari secara yang salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa kalau dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri. Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau, dia teringat akan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu dan mau tidak mau kadang-kadang dia tanpa disengaja teringat dan mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung dan sudah dua kali dia terkena tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walaupun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu.
See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, sejak dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi setelah kini bertanding lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapapun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat!
"Singgg...!"
Demikian kuatnya dia menyambar dan menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang. Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda inipun maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo-pang-hoat, maka biarpun tersenyum mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya untuk dapat menghindarkan diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tidak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.
Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan bahwa dia mampu menggungguli See-thian-ong dengan mudahnya, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosongpun dia mampu menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut.
Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong sibuk sekali dan pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir.
Melihat ini, Cian Ling tidak dapat tinggal diam saja. Biarpun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat ia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, ia masih setingkat lebih lihai daripada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong itu. Ia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan kalau bekerja sama, kini kerja sama mereka kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan memutar pedangnya. Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka iapun menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan. Bantuan Cian Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena mereka sudah dapat menyusun barisan. Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu.
Melihat isterinya yang juga sumoinya itu telah terjun ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa gurunya terdesak hebat tadi, dan kini setelah gurunya mempergunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu, Ciang Gu Sik lalu mempersiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang amat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
See-thian-ong kini mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih amat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan diapun maklum bahwa sekali ini, kalau dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi dia sendiripun agaknya takkan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat. Maka, setelah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, diapun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali dan menubruk ke depan, tongkatnya menyambar-nyambar ganas, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang tanpa mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras.
Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinya memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin!
"Dukkk...!"
Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan terguling-guling, akan tetapi karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, pukulan itu tidak melukainya.
"Desss...!"
Pada detik berikutnya, pundak Thian Sin disambar ujung joan-pian, membuat bajunya robek dan juga kulit dan sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa dia masih melihat menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong tadi, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya, dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu mengenai pundaknya.
Ciang Gu Sik memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada saat Thian Sin menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhunya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu ditinggalkan kekuatan sin-kang karena baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak dapat melindungi pundaknya yang terjuka oleh senjata itu. Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik, akan tetapi murid See-thian-ong yang cerdik ini sudah meloncat jauh ke belakang sehingga terbebas dari serangan Thian Sin.
Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri dan membuat dia marah.
Seperti kita ketahui, Cian Ling tadi ikut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong dan ketika melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suhengnya, wanita ini menjadi khawatir sekali. Betapapun juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian dan berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik. Kini, melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan suaminya itu masih siap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti tadi, Cian Ling menjadi marah dengan tiba-tiba.
Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan hebat, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang. Tanpa banyak cakap, Cian Ling meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang telah dapat mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lalu menyerbu ke dalam medan perkelahian yang lain itu bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, melainkan untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung suaminya dari samping! Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu untuk menyerang dirinya, maka dia tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu menusuk dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak lalu terbelalak memandang kepada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya.
Peristiwa yang tak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba See-thian-ong menubruk ke depan dan memukul Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang! Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya. Cian Ling kena terpukul dadanya dan wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan diapun terguling roboh tak jauh dari isterinya.
"Cian Ling... kenapa kau... kau membunuhku...?"
"Suheng... maaf... aku cinta padanya..."
Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas dan pedang Gin-hwa-kiam dan diserangnya See-thian-ong dengan hebatnya. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya dan membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan mati-matian.
Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya sudah sejak tadi ia mampu merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu barisan mereka yang dianggapnya cukup hebat itu, dan pula, ia tadi melihat bahwa kekasihnya tidak memerlukan bantuannya. Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, iapun maklum bahwa kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi, tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin akan terkena serangan mendadak dari Gu Sik sehingga terluka pundaknya. Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu dan lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apalagi sekarang Cian Ling tidak membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas seketika. Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat gerakannya dan berturut-turut tiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itupun roboh dengan jantung tertembus pedang!
Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya dan mengambil kembali sepasang pedangnya. Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka iapun mengambil senjata rahasia ini. Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih dapat melawan dengan tidak kurang kuatnya daripada tadi.
"Thian Sin, mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!" kata Kim Hong dengan suara gembira.
Thian Sin meloncat ke belakang. Tentu saja kalau dilanjutkan, akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu ingin sekali mencoba kepandaian datuk barat!
"Maju dan cobalah macan tua ompong ini!" katanya.
Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang.
See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya telah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini sedemikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin!
"Tranggg!" See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, lalu membentak, "Benarkah engkau Lam-sin?"
Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu.
"Lam-sin sudah tidak ada, yang ada aku Toan Kim Hong!" katanya sambil menyerang lagi.
Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata.
"Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!"
"Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa, aku sekarang bukan lagi Lam-sin, melainkan gadis biasa saja Toan Kim Hong yang ingin mencoba sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!"
"Bagus, bocah sombong mampuslah!" Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya.
Dia tidak percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka biarpun nanti dia akan kalah, kalau dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya mengapa kakek itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya.
Thian Sin kini menghampiri Cian Ling dan memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkejut sekali melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, ia tersenyum.
"Cian Ling...!" Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk menolongnya.
"Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?"
"Thian Sin... aku... aku cinta padamu... aku tidak tahan melihat engkau terancam... dan aku... tidak dapat hidup... tanpa engkau..."
Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan kepada gadis ini. Bagaimanapun juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguhpun dia suka sekali kepadanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling?
"Ciang Ling..." Thian Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Lalu dia menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, diapun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya. Maka timbul kekhawatirannya dan diapun bangkit berdiri.
"Thian Sin..."
Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini.
"Kau... kau cinta padanya...?"
Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini dan diapun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walaupun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itu yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling.
"Ah... ia... ia bahagia... aku... aku... iri kepadanya..."
Napas gadis itu tinggal satu-satu dan Thian Sin memandang dengan hati kasihan.
"Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!" Dia membesarkan hati gadis itu.
Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. "Thian Sin... maukah engkau mengantar kematianku dengan sebuah ciuman..."
Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba dan diapun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, dan kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan napas terakhir pada saat dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah.
Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tidak sempat mengelak, maka dia menangkis dan "desss...!"
Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
"Eh... kau sudah gila...?"
"Engkau yang gila, bukan aku!" bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang pedangnya! Thian Sin menangkis beberapa kali, lalu meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata gin-kang dari gadis ini yang paling hebat dan dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong! Kini See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang dari Kim Hong yang marah-marah itu membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan mendesak Thian Sin dengan tongkatnya.
Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah menggunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul.
"Desss...!"
Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang dan diapun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat.
"Engkau telah menghinaku!" bentak Kim Hong kepada pemuda itu.
Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya.
"Eh, kenapakah...?" Lalu dia teringat dan dia tersenyum. "Eh, apakah engkau... marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi? Kau tahu, ia... ia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman, ia sudah mati, harap kau tidak cemburu!"
"Siapa cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampuspun aku tidak peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Kalau memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!"
Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka diapun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong!
"Hemm, kalian tidak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku akan mati di depanmu!"
Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan... terdengar suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi! Kiranya See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tidak dapat melarikan diri. Maka, daripada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri!
Thian Sin mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tidak melihat lagi Kim Hong di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit, meninggalkannya.
"Kim Hong...!" Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu.
Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkah bekas. Akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong dan anak buahnya. Akan tetapi tempat itu telah menjadi sunyi sekali. Kebakaran telah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tidak seorangpun berada di tempat itu. Juga ketika dia memasuki pondok besar yang kebakaran itu, tidak nampak seorangpun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong telah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong.
Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama dunia kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu. Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu. Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan mampu mengalahkan See-thian-ong bahkan mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu, membunuh Si Datuk dan semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka.
Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuhnya dan para muridnya itu mestinya amat menggirangkan hati Thian Sin. Akan tetapi, ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau girang, bahkan merasa gelisah dan bingung. Semua ini, dia tahu, disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit. Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian dan kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah ini disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia bertemu dan berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu?
Thian Sin mengeraskan hatinya. Kalau Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, diapun tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apapun! Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, kalau seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan hubungan itupun putus sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biarpun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu.
Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu saja kalau Kim Hong tidak ingin bertemu dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang lebih dari kesemuanya itu, Kim Hong memiliki gin-kang yang lebih tinggi daripada dia sehingga andaikata ia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri dia tidak akan mampu mengejar dan menyusulnya.
Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, diapun lalu pergi menuju ke Tai-goan. Dia telah berhasil menundukkan dua di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong telah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itupun merupakan musuhnya, dan sekali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong.
Akan tetapi perjalanannya sekali ini terasa kosong dan tidak menyenangkan. Pernah dia merasakan hal yang mirip dengan perasaannya sekarang ini, yaitu ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han Tiong, kakak angkatnya, daripada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan terpencil, dan timbullah perasaan kesepian yang menimbulkan rasa iba diri dan merasa dirinya sengsara.
Rasa kesepian bukan hanya melanda dalam hati orang seperti Thian Sin, melainkan pernah dialami oleh hampir seluruh manusia di dunia ini. Suatu perasaan kosong, perasaan betapa hidup ini terpencil dan sendirian tanpa ada arti yang mendalam. Kita melihat betapa kita dipermainkan oleh suka duka, lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak susahnya daripada senangnya.
Kesenangan-kesenangan yang mula-mula menggembirakan hati, makin lama menjadi semakin hambar tanpa arti. Kita mencari yang lebih! Semua kesenangan kita jangkau, akan tetapi setelah terdapat lalu kehilangan artinya, menjadi hambar dan kembali kita terbenam ke dalam kekosongan. Dan kita teringat bahwa pada suatu saat semua ini akan berakhir, tanpa arti sama sekali, seolah-olah kita ini hanya seperti angin lalu, hidup ini seperti segumpal awan yang melayang di angkasa kemudian lenyap untuk digantikan oleh gumpalan-gumpalan awan lainnya. Rasa kesepian ini mengundang rasa takut, khawatir akan masa depan kita, akan hari kemudian kita, baik hari kemudian ketika kita masih hidup maupun sesudah mati. Kita takut menghadapi kekosongan ini dan kita selalu berdaya upaya untuk mencari sesuatu yang ada isinya, untuk dapat menghibur hati kita. Kita takut berhadapan dengan rasa kesepian, maka kitapun lari ke apa saja yang kiranya dapat menghibur kita, dapat mengusir rasa kesepian itu, yang dapat membuat kita lupa akan rasa kesepian yang menakutkan. Namun, pelarian diri, hiburan-hiburan itu hanya membuat kita lupa sebentar saja dan rasa kesepian akan datang lagi menekan hati, membuat kita gelisah dan tidak dapat tidur, dan kalau sudah tidur terisi oleh mimpi-mimpi buruk.
Apapun yang kita lakukan untuk mengusir rasa takut dan kesepian, akhirnya hanya akan memperkuat benih rasa takut dan kesepian itu sendiri yang akan terus mengejar-ngejar kita. Dan kita tidak mungkin selalu memenuhi diri dengan hiburan-hiburan untuk melupakannya. Sekali waktu kita pasti berada seorang diri dalam batin, walaupun banyak orang mengelilingi kita, dan rasa kesepian itu akan semakin mencekik, mendatangkan rasa nelangsa, merasa sengsara dan iba diri.
Rasa kesepian ini pasti timbul secara menakutkan kalau kita membayang-bayangkan masa depan kita, membayangkan masa tua di mana kita takkan banyak berguna lagi bagi dunia, di mana kita tidak akan dibutuhkan lagi oleh orang lain, ketika tidak ada orang yang mengacuhkan kita, tidak ada orang yang memperhatikan dan mencinta kita lagi.
Rasa takut dan kesepian timbul kalau kita membayangkan betapa kita akhirnya akan terpisah dari semua yang kita senangi, kita akan bersendirian! Sendirian! Tidak ada siapa-siapa yang mempedulikan kita, tidak ada siapapun yang mencinta kita!
Kalau kita mau waspada, kalau kita mau menghadapi rasa kesepian yang mendatangkan rasa takut itu, menghadapinya dengan terbuka, tanpa melarikan diri melainkan kalau kita menyelidiki dengan penuh kewaspadaan, membuka mata memandangnya dengan cermat, maka akan nampaklah bagaimana rasa takut itu, bagaimana kepalanya dan bagaimana ekornya. Rasa takut akan kesepian timbul dari bayangan yang kita ciptakan sejak kecil, bayangan berupa si aku yang selalu ingin ada dan berkuasa. Si aku inilah yang merasa ngeri kalau-kalau dia tidak ada lagi, kalau-kalau dia lenyap dari keadaannya. Dan si aku ini hanyalah bayangan belaka, ciptaan dari pikiran yang ingin mengulang pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi pengalaman yang tidak menyenangkan.
Kalau kita tidak melarikan diri, kalau kita menghadapi rasa kesepian yang mendatangkan rasa takut itu, rasa iba diri itu, kalau kita menghadapinya dan memandangnya tanpa berusaha untuk menekan atau mengendalikan, tanpa mengutuk dan membelanya, melainkan mengamatinya saja penuh kewaspadaan, maka pengamatan yang waspada penuh perhatian itu sendiri yang akan menghentikan rasa takut dan rasa kesepian ini. Asalkan kita tidak terkecoh oleh si aku yang licik itu, asalkan yang mengamati bukanlah si aku itu pula, karena kalau yang mengamati itu adalah si aku, maka akan timbullah pula keinginan agar rasa takut itu lenyap! Dan keinginan dari si aku inilah justeru yang memperkuat adanya rasa takut itu sendiri, karena rasa takut rasa kesepian itu bukan lain adalah si aku itu juga!
Dan kalau rasa takut akan kesepian itu sudah tidak ada lagi, maka berada sendirian bukan lagi merupakan kesepian, melainkan keheningan. Dan keheningan bukanlah rasa kesepian. Keheningan merupakan sesuatu yang amat mendalam, yang amat luas, yang mencakup seluruh alam, di mana getaran cinta kasih mencapai puncaknya, di mana sinar cinta kasih bercahaya tanpa halangan sesuatupun.
Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan peasaan kosong dan sunyi. Dia sering kali membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya. Dia telah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia bersikap kejam hanya terhadap para penjahat!
Dia memang sudah berniat untuk membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu di dunia ini, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa semua tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, kalau semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan!
Sungguh dangkal sekali jalan pikiran pendekar muda ini. Sayang! Akan tetapi, dalam pikiran kitapun amat seringnya muncul pendapat yang sama seperti pendapat Thian Sin ini. Bagi kita, yang dinamakan "adil" adalah kalau yang berbuat jahat itu dihukum berat, dan menurut pendapat kita, kalau semua penjahat dihukum berat, maka tidak akan ada lagi kejahatan di dunia ini! Kita lupa bahwa kejahatan tak terpisahkan dari manusia itu sendiri, dan selama manusia belum dapat hidup waras lahir batin, maka kejahatan akan selalu timbul.
Kalaupun seluruh manusia yang jahat di dunia ini dibasmi sehingga yang bersisa hanya tinggal dua orang saja, namun selama dua orang ini belum waras dalam arti yang seluas-luasnya, maka mungkin saja timbul kejahatan di antara kedua orang ini! Kejahatan adalah bentuk kekerasan yang didasari keinginan menyenangkan diri sendiri.
Diri sendiri ini bisa saja diperluas menjadi teman sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, aliran sendiri, bahkan bangsa sendiri. Dan mungkinkah membasmi kejahatan, yang merupakan suatu bentuk kekerasan, dengan jalan kekerasan pula? Sama saja dengan mencoba untuk mengakhiri perang dengan peperangan!
Juga Thian Sin mengenangkan hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama dia berdekatan dengan wanita adalah dengan Bwe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang merupakan cinta pertamanya. Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya. Kemudian muncul Loa Hwi Leng, puteri anggauta Jeng-hwa-pang itu yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang telah berhubungan sangat akrab dengan dia, lebih daripada wanita-wanita lain sebelumnya.
Dan ada pula Bin Biauw, puteri Tung-hai-sian itu yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena di situ hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul pula Ang Bwe Nio, anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dia buntungi hidungnya karena telah mengkhianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin.
Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu berahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, mereka semua itu mendatangkan duka setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperisterinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperisteri dara itu gagal. Apakah terhadap Lian Hong itu cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu berahi. Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu menjawab!
Tai-goan adalah kota kedua sesudah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Hoang-ho. Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka tentu saja hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota lain menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air.
Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota di dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat melalui air dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Hoang-ho, amatlah luasnya. Karena hubungan dengan daerah dan kota-kota lain amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali.
Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, sudah mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke daerah kota raja! Dan tentu saja berita itu telah pula terdengar Pak-san-kui!
Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan. Dia memiliki banyak perusahan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang adalah miliknya, atau kalaupun milik orang lain, tentu berada di bawah kekuasaannya.
Datuk kaum sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong. Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh kang-ouw dan para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar).
Ketika mendengar terbunuhnya See-thian-ong dan murid-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu. Dia teringat kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Biarpun selama ini, semenjak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga.
Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah orang muda, dan amat mudahnya bagi seorang pemuda untuk memperoleh kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Maka diapun lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.
"Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah Si Pendekar Sadis, dan kalau benar demikian, sudah tentu dia pada suatu hari akan muncul di sini," kata Pak-san-kui.
"Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, takut apa? Dahulupun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua, dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, dan kalau kita mengerahkan lagi sepasukan orang-orang pilihan, tentu kita akan dapat membekuknya! Kita berlima saja kiraku akan cukup untuk membekuknya, betapapun lihainya. Bukankah benar demikian, suheng?"
Pak-thian Sam-liong mengangguk. "Benar sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri sudah setingkat, apalagi kalau kita berlima maju bersama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya atau membunuhnya."
Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya, legalah hati Pak-san-kui.
"Betapapun juga, kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu," katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat menyatakan kesanggupan mereka.
"Wi Hong," katanya kepada puteranya. "Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun, undang dia ke sini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan."
"Baik, ayah." Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya.
Siong-ciangkun atau Komandan Siong adalah komandan yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan maupun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan baik sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya. Diapun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan keamanan di Tai-goan itu dan untuk menghadapi Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun.
Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak membayangkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian Sing, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan dia tidak lupa untuk memberi bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan mengadakan penjagaan ketat.
Seratus orang anggauta pasukan pilihan dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh komandan ini dan mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang, terutama sekali menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang memasuki kota.
Hanya repotnya bagi para petugas itu adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis, dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki yang bengis.
Dan Pak-san-kui sendiripun belum berani menentukan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal itupun baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Diapun tidak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis? Dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang telah menjadi musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan bahwa Pendekar Sadis bukanlah Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seorang yang berbahaya dan belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.
Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa hanyak halangan. Para anggauta pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja!
Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka biarpun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun diapun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri. Maka sebelum pergi ke tempat lain, dia lebih dahulu mencari-cari tempat yang baik unluk bersembunyi atau bermalam.
Dia tidak mau bermalam di rumah penginapan karena biarpun dia dapat menggunakan nama palsu, tentu dalam waktu beberapa hari saja Pak-san-kui akan mengetahui tempat itu. Dan hatinyapun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang pekerjaannya sebagai kuli mengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu di tempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam tikar rombeng.
Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin terganggu kenalan-kenalan maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap agar jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberitahukan kepada siapapun juga. Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu.
Setelah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki daerah kota yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja sudah menimbulkan selera, maka diapun memasuki rumah makan itu.
"sore, kongcu." Seorang pelayan menyambutnya dengan manis. "Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?"
Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa dia ingin makan di loteng, pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Tiba-tiba, setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia mendengar suara Kim Hong!
"Kenapa, kongcu?" Pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya melihat pemuda itu berhenti.
"Aku tidak senang di ruangan loteng, kausiapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam dengan arak di mejabawah, di sudut jauh dari pintu keluar," kata Thian Sin.
"Baik, kongcu," kata pelayan itu yang segera turun kembali.
Thian Sin pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan loteng itu, akan tetapi hanya melongok saja dan dia melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng, berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin berdebar dan terasa panas ketika dia mengenal pemuda itu. Andaikata dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik yang-kim yang terletak di atas meja itu. Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan pesolek yang ke mana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga merupakan senjatanya yang ampuh itu? Dan Kim Hong duduk semeja dengan pemuda itu, bercakap-cakap dan tertawa-tawa penuh keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal Siangkoan Wi Hong sebagai seorang penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang amat lihai! Cepat diapun turun tangga loteng itu dan memilih tempat duduk agak ke dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui pintu depan.
Ketika pelayan itu datang membawa masakan yang dipesan, Thian Sin segera membayarnya sekali agar nanti dia dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau sudah selesai makan. Dia makan perlahan-lahan, sama sekali tidak terasa enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seolah-olah dia masih mendengar suara Kim Hong bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan makin dipikir, hatinya menjadi semakin panas.
Baru saja dia selesai makan, dia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka bersentuhan, seperti hendak bergandengan tangan, akan tetapi lalu terlepas lagi. Akan tetapi yang sedikit itupun cukuplah bagi Thian Sin untuk menimbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti "ada apa-apa" antara mereka itu. Dan merekapun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sudah menanti di luar restoran tadi. Thian Sin meninggalkan mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan, dan keluar dari rumah makan.
Dengan tenang diapun lalu membayangi kereta itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara. Cuaca sudah mulal gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya kereta berhenti di depan sebuah rumah penginapan! Mereka berdua itu menginap dalam sebuah rumah penginapan yang mewah! Makin panas hati Thian Sin dan diapun menyelinap ke dalam gelap dan dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka berdua turun dari kereta, dan bercakap-cakap sebentar.
Agaknya, dari jauh dia dapat menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk lebih dulu berangin-angin di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka masuk. Siangkoan Wi Hong nampak tersenyum di bawah lampu depan pekarangan itu, lalu keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah penginapan dan di sebelah kirinya.
Thian Sin tetap membayangi mereka dan menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman itu sampai dia dapat mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang saling berhadapan, dekat kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan lampu gantung. Suasana di taman itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak terdapat lain orang kecuali mereka berdua.
"Nona Toan, engkau sungguh cantik seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali dapat berjumpa dan mengenalmu, nona." terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra.
Kim Hong tertawa, ketawa ditahan yang sudah amat dikenal oleh Thian Sin itu.
"Engkau juga gagah dan tampan sekali, Siangkoan-kongcu, dan akupun gembira dapat berkenalan denganmu."
"Ah... benarkah apa yang kaukatakan itu, Kim Hong? Bolehkah aku memanggil namamu?"
"Tentu saja benar, dan engkau boleh memanggil namaku."
"Kim Hong... aku suka sekali kepadamu... belum, aku belum dapat mengatakan cinta karena baru beberapa hari kita berkenalan, akan tetapi aku... aku suka sekali padamu."
"Hemm, akupun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali..."
"Kim Hong..." Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan merangkulnya. Kim Hong tidak menolak, bahkan mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong untuk menciumnya. Mencium bibirnya dengan mesra dan lama sekali.
"Keparat jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!" Teriakan ini keluar dari mulut Thian Sin yang sudah meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, tidak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dada dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui itu.
Seketika dua orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing, dan Siangkoan Wi Hong menyambar yang-kimnya dan membalik. Wajahnya menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah berdiri di bawah lampu, wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan.
"Thian Sin...!" Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah.
"Bagus, engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak mati penasaran!" Thian Sin berkata dan secepat kilat dia menerjang ke depan dengan serangan maut.
Akan tetapi Siangkoan Wi Hong bukanlah orang lemah dan dia sudah menggerakkan yang-kimnya untuk menangkis.
"Dukkk...!"
Dan terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia terdorong mundur, terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi, terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu.
"Dess...!"
Thian Sin terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka saling pandang. Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat kilat gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya dan menyerang Thian Sin kalang-kabut! Tentu saja Thian Sin cepat mengelak. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Begini marahkah Kim Hong kepadanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau harus memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Maka diapun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu untuk menangkis.
Sementara itu Siangkoan Wi Hong girang sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang telah tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian silat yang lihai, maka diapun lalu memutar yang-kimnya dan membantu Kim Hong.
"Pendekar Sadis, jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku sekarang!" Kim Hong membentak.
Bentakan ini diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa heran sekali mendengar gadis itu menyebutnya Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh pemuda itu, dia merasa serba salah. Kalau dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau melukai gadis itu. Maka diapun lalu meloncat ke dalam kegelapan dan melarikan diri.
"Lekas lapor ayahmu, aku akan mengejarnya!" kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan diapun telah meloncat dengan cepat untuk melakukan pengejaran.
Bagaimanakah Toan Kim Hong dapat bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di Tai-goan dan telah berkenalan dengan akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho. Ketika itu, seperti yang telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang hutan. Yang-kimnya selalu dibawanya, tergantung di punggung sedangkan tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia cepat mengejarnya. Kijang itu masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup ke dalam semak-semak, kalau didekati meloncat lagi.
Wi Hong sudah melepaskan anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet betis binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat lagi larinya. Akan tetapi akhirnya Siangkoan Wi Hong dapat mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu kebingungan. Wi Hong memasang anak panah pada busurnya dan siap untuk membidikkan anak panahnya.
Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terpelanting! Wi Hong terkejut bukan main dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang. Siangkoan Wi Hong terpesona dan memandang dengan melongo.
"Hemm, apa yang kau pandang?" bentak gadis itu sambil memandang dan bertolak pinggang.
Siangkoan Wi Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gendewanya, lalu menghampiri.
"Ah, kukira ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona... eh, manusia biasa?"
Wanita itu adalah Kim Hong dan mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum. Pemuda tampan ini sungguh mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya.
"Kalau aku bukan manusia, apakah kaukira aku setan atau siluman?"
Siangkoan Wi Hong memandang ke kanan kiri. "Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini tiba-tiba tewas sebelum kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini... cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi terdapat... eh, siluman-siluman yang pandai mengubah diri menjadi wanita cantik melebihi bidadari, seperti...eh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar Tiu-ong!"
"Hemm, apa kau tidak dapat membedakan antara manusia dan siluman?" Kim Hong menanggapi, tidak marah disangka siluman karena cara pemuda itu mengatakannya sama sekali tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji.
Semakin gembiralah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu mau menanggapinya, maka dia lalu pasang aksi, pura-pura memikat dan mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah berseri.
"Ah, aku ingat! Dalam dongeng kitab kuno tentang siluman-siluman yang menyamar sebagai wanita cantik, terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang... ah, sebelumnya maaf, nona. Kata kitab itu, kalau siluman rase atau rubah menyamar sebagai wanita, satu hal tidak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita cantik penyamaran siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu saja aku tidak dapat membuktikan pada dirimu..." dia berhenti untuk melihat reaksi gadis itu.
Akan tetapi Kim Hong masih tersenyum saja, dan agaknya tidak nampak marah sama sekali. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong menjadi semakin girang dan berani.
"Akan tetapi ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu, nona. Kata kitab itu, seorang wanita penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda yaitu pertama, karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita yang telah mati, maka lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya keluar bau rubah yang khas. Nah, kalau aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau aku boleh mendekatimu tentu aku akan segera dapat membedakan apakah nona seorang manusia biasa ataukah sebangsa siluman."
Kim Hong tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu berseri. Ia juga merasa gembira oleh sikap pemuda itu. Maka ia menyingsingkan lengan baju sebelah kiri dan menyorongkan lengan kirinya itu kepada Wi Hong sambil berkata dengan senyum, "Nah, periksalah."
Siangkoan Wi Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang berkulit begitu mulus, putih dan lembut, halus dan seperti lilin diraut. Diapun melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyentuh, bahkan setelah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat itu dengan sepasang matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya, dan melihat bibir nona itu tetap tersenyum, jari-jari tangannya lalu melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra!
Kim Hong menarik lengannya dengan gerakan halus sambil berkata dengan senyum, "Bagaimana, dingin seperti mayatkah?"
Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan memandang dengan mata berseri.
"Ah, sama sekali tidak, sebaliknya malah, begitu hangat, halus dan lunak... ah, dan yang tercium olehku hanya keharuman seperti bunga setaman...!"
Kim Hong tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang.
"Hemm, engkau seorang perayu! Siapakah engkau?"
Siangkoan Wi Hong menjura. "Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku sedang berburu di hutan ini dan mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai. Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepas anak panah... eh, tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncul nona. Siapakah nona dan bagaimana seorang wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi terpencil seperti ini?"
"Namaku Toan Kim Hong..."
"Nama yang indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan...? Ah, apakah ada hubungan dengan keluarga pangeran...?"
Kim Hong mengangguk.
Siangkoan Wi Hong menjura lagi.
"Ah, maaf, maaf...! Kiranya nona adalah seorang puteri yang berdarah bangsawan! Sungguh sikap saya layak dihukum..."
Kim Hong menarik napas panjang. "Sudahlah, urusan kebangsawanan itu dahulu, sekarang aku adalah orang biasa saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi menikmati keheningan tempat ini, aku melihat seekor kijang. Karena perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sambitan jarumku."
Wi Hong terbelalak. "Apa...? Membunuh kijang dengan sambitan jarum saja? Agaknya tak masuk akal...!"
"Siapa bilang kalau tidak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu menembus otak," jawab Kim Hong.
Mendengar jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran. Sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa jarum hanya merupakan senjata rahasia ringan yang hanya dapat dipergunakan dari jarak dekat, dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya. Akan tetapi gadis ini mampu membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan jarum, bahkan tanpa memeriksa lagi gadis itu dapat memastikan bahwa jarumnya telah menembus antara mata kijang itu dan sampai ke otak! Hal ini kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Dan jarum itupun tentu mengandung racun yang amat hebat.
Untuk meyakinkan hatinya diapun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa kagumnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang itu, antara kedua matanya, terdapat luka kecil kemerahan yang mulai membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia menjura dengan hormat.
"Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!"
"Ah, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Sebaliknya, akupun pernah mendengar namamu dan melihat yang-kim di pundakmu tadipun aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang amat terkenal itu putera dari Locianpwe Pak-san-kui, bukan?"
"Tepat sekali, lihiap."
"Ah, jangan sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja."
"Baiklah, kalau begitu biar kusebut engkau Toan-siocia." Siangkoan Wi Hong lalu memanggul bangkai kijang itu.
"Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati daging kijang ini. Akan kusuruh masak daging ini di rumahku. Silakan, nona."
Demikianlah, dua orang itu berkenalan dan Kim Hong mengunjungi rumah pemuda hartawan itu. Sebaliknya Wi Hong juga sering mengunjungi hotel di mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Dalam waktu beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Sadis
General FictionLanjutan "Pendekar Lembah Naga" serial Pedang Kayu Harum. Tokoh Utama : Cia Sin Liong Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar...