Akan tetapi, biarpun bulu tengkuknya terasa dingin, kepalanya terasa berat dan seperti membengkak besar, Thian Sin kembali mengusap tengkuknya dan dia malah maju menghampiri! Agaknya "hantu" itu menjadi penasaran melihat pemuda ini tidak ketakutan seperti orang-orang lain yang pernah melihat dan mendengarnya, maka suara melengking itu menjadi semakin nyaring menyeramkan, dan tengkorak yang bergantungan pada pohon itu juga bergoyang-goyang lebih keras lagi, seolah-olah hendak terbang dan menubruknya.
Thian Sin tidak berhenti dan terus menghampiri, dan pada saat itu, terdengar teriakan parau menyeramkan dari atas pohon dan dari atas itu melayanglah sesosok tubuh tinggi besar hitam seolah-olah bayangan itu hendak menyerbu Thian Sin. Pemuda ini menghentikan langkahnya dan siap sedia menyambut terkaman bayangan tubuh tinggi besar yang tidak kelihatan jelas dalam keremangan cuaca itu, akan tetapi... tubuh itu berhenti di tengah udara dan tergantung-gantung. Kiranya bayangan tubuh manusia yang bergantung diri atau digantung orang!
Thian Sin meloncat dan tangannya menyambar, maksudnya untuk menolong orang yang tergantung itu dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung orang itu putus dan diapun sudah memondong tubuh itu ke bawah. Akan tetapi ternyata tubuh itu hanyalah sepotong kayu besar yang diberi pakaian! Mengertilah dia bahwa ada yang mempermainkannya dan kalau ada yang main hantu-hantuan maka tentu yang main-main itu adalah manusia!
Karena suara itu datang dari atas pohon, maka Thian Sin lalu meloncat lagi, kini menerjang ke tengah daun-daun pohon yang rindang itu. Ada pedang menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tangannya, Thian Sin dapat membuat pedang itu terpukul ke samping dan orang yang memegang pedang itu tidak kuat menyambut terjangan Thian Sin. Sambil mengeluarkan teriakan orang itu terjatuh dari atas pohon!
Suara berdebuk keras membuktikan bahwa orang itu tidak mempunyai ilmu gin-kang yang baik dan tubuhnya telah terbanting keras ke atas tanah. Thian Sin mengikutinya dan melompat turun, lalu menghampiri tubuh yang menggereng kesakitan itu. Kirinya dia seorang laki-laki setengah tua yang mengerang kesakitan dan napasnya empas-empis karena tadi dia telah terkena pukulan tangan sakti Thian Sin yang mengenai dadanya ditambah lagi dia terbanting roboh ke atas tanah yang mematahkan beberapa tulang iganya.
"Hemm, mengapa kau menakut-nakuti orang?" Thian Sin membentak.
Orang itu sukar sekali menjawab karena dia menderita sakit bukan main dan napasnya tinggal satu-satu,
"...agar... tempat ini menjadi tempatku... tanpa diganggu orang... dan... dan... orang-orang yang ketakutan...meninggalkan barang-barangnya..." Orang itu tidak dapat bicara terus karena kepalanya terkulai dan tewas.
Pukulan Thian Sin tadi memang hebat sekali, dilakukan karena menduga bahwa ada lawan tangguh bersembunyi di dalam pohon. Thian Sin menarik napas panjang dan sejenak dia berdiri termenung. Orang ini mati karena kesalahan sendiri, dan pula, memang orang itu bukan orang baik-baik, agaknya menakut-nakuti orang selain untuk membuat orang takut datang ke tempat itu, juga agaknya untuk memperoleh barang-barang orang yang lari ketakutan.
Betapapun juga, orang ini telah berjasa baginya, telah memberikan sebuah tempat persembunyian yang baik sekali. Maka malam itu juga Thian Sin menggali lubang dan mengubur jenazahnya. Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia.
Hampir seluruh manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga dinamakan kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini? Kalau kita mau mengamatinya dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum tiba, sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan menyusahkan diri kita. Kalau tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan keadaan yang belum ada ini, maka rasa takutpun tidak akan ada.
Orang yang takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena penyakit itu, orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentu belum kehilangan pekerjaan, orang yang takut akan kematian tentu belum mati. Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang ditakutinya itu. Maka dari itu, apabila menghadapi setiap persoalan, setiap peristiwa, kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, tindakan kita tentu akan lebih tepat.
Seperti halnya Thian Sin, ketika menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak membayangkan hal-hal yang mengerikan, melainkan dengan waspada dia mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi keadaan yang bagaimanapun juga.
Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya, karena kita tidak mengenalnya. Benarkah itu? Kalau kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan timbul karena kita tidak mengenalnya. Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita tentang setan, anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang setan, tidak mungkin akan takut!
Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita, karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu! Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut?
Senja itu Thian Sin kembali ke tempat persembunyiannya yang sunyi itu. Seperti biasa kalau dia hendak beristirahat di tempat ini, dia tidak langsung memasuki kuil. Dia tahu bahwa pada waktu itu, dia telah menanam banyak sekali bibit permusuhan dan pasti banyak orang pandai yang akan mencarinya dan mencelakainya. Oleh karena itu, dia selalu hati-hati dan ketika dia tiba di tempat sunyi itu, diapun tidak langsung memasuki kuil tua. Dia mengambil jalan memutar, lebih dulu mengelilingi kuil itu untuk melihat kalau-kalau ada orang bersembunyi. Ketika dia mulai memutari kuil, tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis perlahan yang datangnya dari arah belakang kuil di mana terdapat pohon besar yang menakutkan itu. Hemm, apakah ada orang gila lain lagi yang hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Ataukah ada orang pandai yang datang untuk membalas segala perbuatannya terhadap orang-orang jahat selama beberapa pekan di kota raja ini?
Dengan hati-hati Thian Sin lalu pergi ke belakang kuil, dan diapun terheran-heran melihat ada sesosok tubuh wanita berlutut di bawah pohon besar itu, tak jauh dari tengkorak yang masih tergantung, dan menangis terisak-isak! Hemm, apakah ini? Perangkap? Thian Sin bersikap hati-hati sekali dan dengan kepandaiannya, dia berloncatan jauh dan mengelilingi pohon itu dari jauh untuk melihat kalau-kalau kehadiran wanita itu merupakan perangkap untuknya. Akan tetapi sunyi saja. Tidak ada orang lain kecuali wanita itu sendiri yang masih menangis. Maka diapun tidak curiga lagi dan cepat menghampiri, lalu setelah berdiri dekat diapun menegur halus.
"Siapakah engkau? Mengapa kau menangis di sini?"
Wanita itu nampak terkejut dan mengangkat muka memandang. Thian Sin melihat sebuah wajah yang cukup manis, dengan usia kurang dari tiga puluh tahun dan wanita itu segera bangkit berdiri dan menghadapi Thian Sin dengan sikap marah.
"Kenapa engkau menggangguku? Pergilah! Urusanku tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!"
Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak mau pergi, bahkan dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Hemm, engkaulah yang menggangguku, engkaulah yang harus pergi dari sini. Tempat ini adalah tempatku. Kau siapa dan apa maksudmu..."
"Persetan denganmu!" bentak wanita itu, yang segera menerjang dan memukulnya!
Thian Sin melihat gerakan orang yang paham ilmu silat, bahkan pukulannya cukup cepat dan keras. Dia menangkap lengan yang memukulnya itu dan sekali memutarnya, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Akan tetapi, dengan nekat wanita itu bangkit lagi dan menyerang lagi, kini menendang dengan tendangan cepat dan kuat ke arah pusar. Thian juga menangkap kaki itu dan mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terbanting lebih keras lagi! Wanita itu menangis lagi.
"Hu-huuuh... kau... kamu manusia kejam... !" Dan iapun menghampiri pohon di mana sudah terpasang selendangnya, sehelai selendang yang diikatkan ujungnya di cabang, dekat tempat tengkorak bergantung, kemudian wanita itu meloncat, memegang selendang yang tergantung itu dan memasang ujungnya pada lehernya, kemudian melepaskan kedua tangannya sehingga lehernya tergantung!
Thian Sin terkejut sekali, akan tetapi dia berdiri dan tetap tersenyum. Ah, wanita itu tentu hanya hendak menggertak saja, pikirnya. Wanita seperti itu tentu bisa saja mempergunakan akal, pura-pura gantung diri untuk menarik perhatiannya, atau mungkin juga ada udang di balik batu. Siapa tahu wanita itu hendak menjebaknya. Maka diapun diam saja, bahkan bersedakap dan berdiri memandang sejenak, kemudian membalikkan tubuhnya dan memasuki kuil!
Wanita itu sejak menggantung diri tadi memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata tajam dan kini tubuhnya berkelojotan, lidahnya terjulur keluar, matanya melotot, akan tetapi ia tetap tidak mau mempergunakan kedua tangannya untuk menahan selendang. Kalau dikehendakinya, tentu saja ia dapat mempergunakan tangannya untuk menahan selendang dan melepaskan lehernya dari gantungan itu. Akan tetapi agaknya keputusannya sudah bulat dan ia memilih mati di tempat gantungan itu, berdekatan dengan tengkorak orang yang dahulu telah menggantung diri sampai mati di situ dan yang arwahnya kabarnya menjadi setan di tempat itu.
Setelah tubuh itu tidak berkejojotan lagi, barulah Thian Sin berloncatan keluar dari kuil menuju ke pohon itu. Dengan mudah saja dia menurunkan wanita itu dari tempat gantungan, memondongnya memasuki kuil di mana telah dinyalakan sebatang lilin. Dia biasa tidur di lantai yang ditilami jerami kering dan seilmut. Direbahkannya tubuh itu ke atas selimut dan dia memeriksanya. Memang wanita itu telah pingsan. Cepat dia mengurut leher itu, menotok beberapa jalan darah dan memaksa bibir itu terbuka dan dituanginya beberapa teguk air dari guci airnya.
Tak lama kemudian wanita itu membuka mata, mengeluh dan nampak bingung.
"Su... sudah matikah...?" akan tetapi ia melihat wajah Thian Sin dan cepat ia memukul sambil meloncat bangun.
Thian Sin menangkap tangan itu.
"Tenanglah. Aku menyelamatkanmu dari kematian dan engkau malah hendak memukulku?"
"Kenapa kau menurunkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati. Ah, aku ingin mati saja! Aku ingin mati...huh-huuuhh..." dan wanita itupun menangis lagi, mengguguk.
Thian Sin merasa kasihan. Tadinya dia merasa curiga, akan tetapi setelah melihat betapa wanita itu sungguh-sungguh hendak membunuh diri, dia merasa kasihan dan timbul keinginannya untuk menolong wanita yang merasa berduka dan lebih baik memilih mati itu.
"Katakanlah kepadaku, mengapa engkau ingin mati? Kalau ada rasa penasaran, beritahukan padaku dan aku akan menolongmu."
Wanita itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada wajah Thian Sin, lalu menangis lagi.
"Tak mungkin..." isaknya. "Biarpun engkau dapat mengalahkan aku, akan tetapi seorang pemuda pelajar macam engkau ini mana mungkin dapat menandingi Toan-ong-ya?"
Diapun menangis lagi. Diam-diam Thian Sin tertarik. Dia sudah pernah mendengar nama ini. Toan-ong-ya adalah seorang pangeran tua yang kabarnya tidak aktip lagi dalam pemerintahan, akan tetapi orang itu terkenal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, memiliki ilmu silat cukup tinggi, dan terutama sekali, amat dermawan dan dikenal baik oleh para tokoh persilatan. Pangeran tua yang dikabarkan kaya raya dan gagah itu bagaimana kini dapat membuat seorang wanita muda yang manis ini menderita dan ingin membunuh diri?
"Ceritakanlah, jangankan Toan-ong-ya, biarpun raja neraka sekali, kalau kuanggap cukup memenuhi syarat untuk dibasmi, akan kubunuh dia!" katanya dengan nada suara yang serius dan halus, namun mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma.
Wanita itu masih menangis, membuat Thian Sin menjadi jengkel juga.
"Ceritakanlah dan aku akan membantumu. Kalau engkau tidak mau, nah, pergi dari sini dan kalau kau mau bunuh diri, silakan, akan tetapi jangan di tempatku sini!"
Wanita itu menghentikan tangisnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sin.
"Benarkah taihiap sudi menolongku, membalaskan dendam sakit hatiku yang sedalam lautan?"
"Ceritakanlah apa yang terjadi," potong Thian Sin.
"Pangeran terkutuk itu telah membunuh ayahku, suamiku, lalu memperkosaku dan memaksaku menjadi selirnya. Aku tak tahan lagi dan hendak membunuhnya untuk membalas kematian ayahku dan suamiku, akan tetapi dia terlalu kuat bagiku dan aku malah dihinanya... sampai aku melarikan diri dan pergi ke tempat yang terkenal ada hantunya ini untuk membunuh diri..."
Thian Sin mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menelan dan menerima saja cerita sepihak macam ini.
"Mengapa ayahmu dan suamimu dibunuh oleh pangeran itu?"
Wanita itu lalu bercerita yang kadang-kadang diselingi isak. Ia bernama Louw Kim Lan, sudah beberapa tahun lamanya menjadi isteri dari seorang pemburu she Gak yang pekerjaannya memburu binatang buas berdua dengan ayahnya. Mereka berburu di hutan-hutan sebelah utara kota raja dan mereka telah mendapatkan seorang langganan yang baik, yaitu keluarga Pangeran Toan itulah. Pada suatu hari, ketika Kim Lan membawa kulit binatang hutan untuk dikirimkan ke rumah Toan-ong-ya, kebetulan sekali pangeran tua itu sendiri yang menerimanya dan agaknya pangeran yang terkenal kaya raya dan dermawan akan tetapi juga terkenal suka bermain-main dengan wanita-wanita cantik itu agaknya tertarik kepada Kim Lan yang manis.
Kim Lan dibujuk dan diancam, bahkan Sang Pangeran itu mempergunakan kekerasan untuk menahannya di dalam istananya dan akhimya Kim Lan tak dapat melawan dan terpaksa harus menyerahkan diri kepada pangeran tua yang juga adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai itu. Suaminya dan ayahnya yang sudah lama menjadi teman berburu suaminya, jauh sebelum ia menikah dengan pemburu itu, malam-malam datang menyelidiki dan dalam pertempuran melawan Toan-ong-ya, keduanya roboh tewas. Selanjutnya, Kim Lan diambil sebagai selir oleh pangeran itu. Ketika malam tadi Kim Lan mencari kesempatan untuk membunuh pangeran itu dengan racun ia ketahuan dan biarpun ia diampuni, namun ia diusir pergi dari istana.
"Demikianlah, taihiap. Apa dayaku sebagai seorang wanita lemah? Biarpun aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi mana mungkin aku menandingi Toan-ong-ya? Baru melawan para pengawalnya saja aku tidak akan mampu. Karena putus harapan dan penasaran, aku mengambil keputusan untuk mati dan menyusul ayah dan suamiku saja!"
Kim Lan mengakhiri penuturannya dan menangis lagi. Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya.
"Baik, malam ini juga Toan-ong-ya akan kubunuh, akan tetapi engkau harus ikut untuk membuktikan kebenaran ceritamu!" katanya.
Wanita itu terkejut dan menggeleng kepala.
"Tidak... tidak... mana aku berani ke sana?"
"Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu. Aku berjanji, takkan ada orang yang dapat mengganggumu seujung rambutmu pun. Mari!"
Dengan terpaksa, akan tetapi juga penuh harapan, wanita yang bernama Kim Lan itu lalu berlari menuju ke dalam kota raja. Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja, Thian Sin memondongnya dan membawanya melompati tembok kota raja yang tinggi itu, membuat Kim Lan menahan napas dan juga kagum bukan main. Setelah mereka turun di sebelah dalam tembok itu, Kim Lan berkata.
"Ah, sekarang aku percaya bahwa taihiap tentu akan dapat membantuku menghadapi pangeran terkutuk itu!"
Thian Sin tidak menjawab, melainkan menurunkan Kim Lan dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke istana pangeran itu. Suasana sudah sunyi karena waktu telah mulai menjelang tengah malam. Dengan mudahnya mereka tiba di sebelah belakang tembok yang mengurung istana Pangeran Toan itu. Di sini, kembali Thian Sin memondong tubuh Kim Lan dan meloncat ke atas pagar tembok, lalu mereka, atas petunjuk Kim Lan, turun ke dalam taman di belakang istana. Dari sini, Kim Lan menjadi penunjuk jalan. Dengan berindap-indap mereka memasuki bangunan yang besar dan megah itu, melalui pintu-pintu rahasia kecil yang dikenal baik oleh Kim Lan. Setelah memeriksa dengan berindap-indap, akhirnya mereka tiba di luar sebuah ruangan tamu di belakang, di mana pangeran itu suka menerima tamu-tamunya yang penting atau sahabat-sahabat baiknya. Dan ruangan itu masih terang, berarti bahwa Sang Pangeran masih berada di situ, dan terdengarlah lapat-lapat suara orang bicara di balik pintu ruangan itu.
"Dia berada di dalam ruangan menjamu tamunya..." Kim Lan berbisik di dekat telinga Thian Sin.
Thian Sin mengangguk dan balas berbisik, "Aku akan naik dan mengintai dari atas, engkau harus dapat membuktikan ceritamu kepadaku tadi, baru aku akan turun tangan."
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thian Sin telah lenyap dari depan wanita itu. Ditinggal seperti ini, Kim Lan terkejut dan gelisah. Akan tetapi ia percaya bahwa pemuda itu pasti mengintai dari atas dan ia harus dapat meyakinkan hati pemuda itu akan kebenaran ceritanya tadi, dan kalau pemuda itu turun tangan, ia yakin bahwa musuh besarnya pasti akan dapat terbunuh dan dendamnya akan terbalas secara memuaskan sekali!
Ia memberi kesempatan beberapa waktu agar pemuda itu dapat menemukan tempat pengintaian yang baik. Setelah lewat beberapa waktu, barulah ia mendorong pintu ruangan itu dan masuk ke dalam ruangan. Perbuatannya ini mengejutkan tiga orang laki-laki yang sedang duduk menghadapi meja dan bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Mereka menghadapi cawan dan guci arak dan beberapa macam makanan kering. Tadinya pangeran tua itu mengira bahwa ada pelayan lancang yang memasuki ruangan, akan tetapi ketika dia melihat siapa yang masuk, alisnya berkerut dan dia bangkit berdiri dengan muka merah karena marah.
"Hemm, perempuan rendah budi! Engkau berani datang lagi ke sini?" bentaknya.
Dari atas atap yang sudah dia lubangi, Thian Sin mengintai. Dia melihat bahwa yang berdiri dan membentak itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi dan masih gagah, nampak berwibawa namun sikapnya halus sebagai tanda bahwa kakek ini adalah seorang terpelajar tinggi. Mudah baginya untuk menduga bahwa orang inilah yang dimaksudkan oleh Kim Lan, yaitu Toan-ong-ya, Pangeran Toan yang terkenal itu.
Dari teguran itu maklumlah dia bahwa memang benar pangeran itu mengenal baik kepada Kim Lan. Dia melihat Kim Lan menjatuhkan diri berlutut.
"Ong-ya... saya tidak percaya paduka begini kejam! Sesudah membunuh ayahku, suamiku, dan setelah sekian lama saya melayani paduka, kini paduka hendak mengusirku begitu saja!"
"Hemm, engkau tak mungkin lupa akan perbuatanmu yang hina! Engkau hampir berhasil membunuhku dengan meracuni minumanku, dan engkau mengatakan aku yang kejam? Hayo pergi dari sini, jangan engkau injak lagi tempat ini!"
"Tapi... tapi saya mencoba meracuni paduka karena paduka telah membunuh ayahku dan suamiku..."
"Ayahmu dan suamimu mencari mampus sendiri! Sudahlah, pergi kataku!"
Dari atas, Thian Sin mendengar ini semua dan percayalah dia akan kebenaran cerita Kim Lan. Pangeran itu tidak menyangkal telah membunuh ayah dan suami wanita itu, dan Kim Lan juga sudah mengaku telah mencoba meracuni Sang Pangeran, persis seperti yang diceritakan oleh wanita itu kepadanya tadi. Marahlah Thian Sin. Membunuh ayah dan suami orang, memperkosa isteri orang, dan hal ini dia tidak sangsi lagi melihat bahwa Kim Lan begitu berbakti dan mencinta suaminya sehingga mau meracuni pangeran itu, dan sekarang hendak mengusir wanita itu begitu saja. Jelas bahwa pangeran itu bukan seorang baik-baik!
Dia melihat bahwa dua orang tamu pangeran itu ternyata adalah dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa, yang seorang bertubuh tinggi besar berpakaian seperti petani, sikapnya polos dan gagah, sedangkan yang kedua adalah seorang berjubah hwesio berkepala gundul, berusia sebaya dengan petani itu, yaitu kira-kira empat puluh tahun. Namun dia tidak peduli. Kalau mereka akan mengeroyoknya, terserah, pikirnya. Maka diapun segera menerobos atap dan melayang turun ke dalam ruangan itu.
"Yang berkedudukan mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang, yang kaya-raya mempergunakan hartanya untuk memperbudak orang, yang kuat mempergunakan kepandaiannya untuk bersikap sewenang-wenang, seorang pangeran membunuh dan memperkosa orang seenak perutnya sendiri. Ahah, sungguh dunia sudah penuh dengan manusia-manusia jahat yang harus dibasmi!"
Sementara itu, melihat munculnya seorang pemuda yang menerobos masuk dari atas, maklumlah Pangeran Toan bahwa orang ini tentulah sekutu dari Kim Lan, maka dia sudah mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke arah muka Thian Sin sambil membentak, "Siapakah engkau yang berani memasuki rumah orang tanpa ijin?"
Thian Sin tersenyum. "Hemm, biarpun engkau seorang pangeran yang kaya raya, apa kaukira boleh membunuh orang tanpa ijin?" Lalu sambil melangkah maju dia menyambung, "Kenalilah, aku adalah wakil orang-orang yang kaubunuh."
Tangannya sudah bergerak menampar ke depan dengan cepat dan kuat. Melihat ini, sang pangeran cepat menggerakkan pedangnya membacok ke arah tangan yang menampar itu. Akan tetapi tamparan itu memang hanya serangan pancingan saja dari Thian Sin. Ketika pedang membacok, dia membuka tangannya dan menerima pedang itu dengan tangan terbuka! Melihat kenekatan lawan ini, Sang Pangeran sendiri sampai terkejut karena tangan itu akan buntung bertemu dengan pedangnya. Akan tetapi dia kecelik, karena pedang itu terhenti dan sudah digenggam oleh tangan Thian Sin dan begitu pemuda ini menarik dan mengirim tendangan ke arah lengan yang memegang pedang, Sang Pangeran tidak mampu mempertahankannya lagi dan pedang itu telah dapat dirampas oleh lawan!
Selagi pangeran itu terkejut dan terheran, menjadi bengong karena selama hidupnya belum pernah dia menghadapi kelihaian seperti itu, Thian Sin sudah berseru, "Sekarang terimalah hukumanmu!" Pedangnya menyambar seperti kilat.
"Tranggg...!" Pedangnya bertemu dengan tongkat yang dipegangnya oleh hwesio itu.
Kiranya hwesio itu telah menangkis pedang dengan tongkatnya dan dari getaran pedangnya, Thian Sin tahu bahwa hwesio ini tidak boleh dipandang ringan.
"Omitohud... harap jangan terlalu ganas, orang muda!" kata hwesio itu.
"Persetan dengan kamu! Aku tidak ada urusan denganmu!" bentak Thian Sin sambil terus menerjang Sang Pangeran yang sudah melangkah mundur.
Hwesio itu menerjang dengan tongkatnya untuk melindungi, akan tetapi tiba-tiba pedang itu membalik dan berkelebat menyambar ke arah leher hwesio itu, lalu bertubi-tubi menyerangnya. Hwesio itu terkejut sekali dan sambil memutar tongkatnya diapun meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Sin untuk menubruk ke depan dan sebelum Sang Pangeran dapat mengelak, pedang itu telah menyambar seperti kilat.
Sang Pangeran mengeluarkan jeritan mengerikan dan nampak darah muncrat dari bawah perutnya karena pedang itu telah menyambar ke arah alat kelaminnya! Pangeran itu terhuyung lalu roboh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap ke arah bagian yang terbabat pedang tadi.
Peristiwa ini sedemikian cepatnya sehingga hwesio dan petani itu sejenak memandang bengong dan dengan muka pucat. Kemudian mereka berdua marah bukan main.
"Penjahat kejam, apa yang kaulakukan?" bentak mereka dan keduanya lalu menyerang Thian Sin dengan gerakan yang amat kuat dan cepat.
Hwesio itu menyerang dengan tongkatnya, sedangkan orang yang berpakaian petani itu telah menyerangnya dengan sebatang golok. Gerakan Si Petani ini tidak kalah tangkas dan kuatnya dibandingkan dengan hwesio itu. Melihat gerakan mereka, Thian Sin terkejut juga karena dia mengenal gerakan dari ilmu silat partai Siauw-lim-pai. Dia mengelak ke kanan kiri dan tongkat bersama golok itu telah menjadi gulungan sinar yang terus mengejarnya. Thian Sin tahu bahwa lawannya tangguh dan bahwa dia harus bertindak cepat kalau tidak mau keburu datang pasukan pengawal. Dari luar sudah terdengar ribut-ribut. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun, kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah yang hebat dan tahu-tahu tangannya sudah berhasil mendorong kedua orang lawan itu sampai mereka terhuyung ke belakang. Dua orang itu terkejut bukan main karena mereka juga mengenal Thai-kek Sin-kun, akan tetapi mereka tidak mengenal tenaga serangan yang amat dahsyat tadi.
"Kau... kau Pendekar Sadis!" teriak orang yang berpakaian petani.
"Omitohud... yang ini tidak patut dinamakan pendekar, melainkan Penjahat Sadis!" kata Si Pendeta.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!" kata Thian Sin dan cepat dia menyambar tubuh Kim Lan yang berdiri di sudut dengan wajah khawatir, lalu hendak berlari keluar.
"Penjahat kejam jangan lari!" bentak Si Petani dan diapun sudah meloncat dengan cepatnya menerjang Thian Sin sambil menggerakkan goloknya.
"Plakk! Tranggg...!" Golok itu terlempar dan Si Petani itu jatuh terpelanting ketika Thian Sin menyambutnya dengan pukulan Pek-in-ciang.
Melihat pukulan yang mengeluarkan uap putih itu Si Hwesio yang tadinya juga mengejar, terkejut dan cepat dia menolong temannya yang roboh pingsan, memeriksanya dan baru merasa lega ketika melihat bahwa temannya itu tidak tewas, melainkan terguncang hebat oleh pukulan itu sehingga menjadi pingsan.
Hwesio ini juga mengenal pukulan Pek-in-ciang, semacam pukulan sakti yang kabarnya hanya dimiliki oleh pendekar Yap Kun Liong, seorang locianpwe yang bertapa di Bwee-hoa-san dan yang kabarnya sudah tidak mencampuri lagi urusan dunia.
Para pengawal berserabutan masuk, akan tetapi Thian Sin dan Kim Lan sudah tidak nampak lagi bayangannya. Mereka lalu menolong pangeran itu, akan tetapi terlambat karena pangeran itu telah tewas dengan anggauta kelaminnya terbabat buntung! Dengan hati penuh duka hwesio dan petani itu membantu keluarga pangeran itu untuk berkabung dan kematian Pangeran Toan ini benar-benar mengejutkan semua orang dan bahkan sempat menggegerkan dunia kang-ouw, terutama para tokoh persilatan di sekitar kota raja.
Pangeran ini dikenal sebagai seorang yang amat akrab dengan tokoh-tokoh kang-ouw, terkenal sebagai seorang budiman dan dermawan. Memang dia terkenal pula sebagai seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik. Namun hal ini bukan merupakan kejahatan apalagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa mempunyai banyak selir muda yang cantik. Pula, tidak pernaht erdengar pangeran ini menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi selirnya.
Oleh karena itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan, apalagi ketika para tokoh itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis yang terkenal sebagai pembasmi yang kejam terhadap orang-orang jahat, dan bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduhnya berbuat kejahatan.
Para tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis, yang sudah merasa marah dan menentang, tidak setuju akan kekejaman-kekejaman itu walaupun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini menjadi marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis itu kini telah menyeleweng dan menjadi Penjahat Sadis!
Ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis itu. Pendekar Sadis tidak pernah mengakui namanya dan julukannya itupun adalah pemberian orang kepadanya karena sepak terjangnya yang mengerikan. Datangnya seperti setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya, suka bersajak dan membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, suka menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi sekali tangannya bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat mengerikan!
Belum pernah para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan merekapun merasa muak dan menentang keras. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang yang mengaku Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia! Pendekar bukanlah orang yang kejam, walaupun pendekar selalu menentang kejahatan. Bahkan seorang pendekar harus menentang kekejaman, bersikap adil tanpa kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat sewenang-wenang.
Bahkan dua orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan dan bahkan menjadi saksi kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak terjang Pendekar Sadis kepada para pemimpin Siauw-lim-pai.
Sementara itu, Thian Sin juga merasa menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua orang yang melihat gerakannya dapat diduga tentu tokoh-tokoh Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela Toan-ong-ya, berarti mereka membela fihak yang salah, pikirnya. Dengan cepat dia membawa lari Kim Lan dari istana pangeran itu. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama saja dengan mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia telah keluar dari kota raja dan menuju ke kuil yang gelap dan sunyi itu.
Setibanya di luar kuil, dia menurunkan tubuh Kim Lan dan berkata, "Nah, sudah terbalas dendammu, sekarang pergilah kau."
Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Thian Sin.
"Taihiap... aku merasa berterima kasih sekali kepadamu... dan biarlah aku menyerahkan diriku kepada taihiap untuk membalas budi aihiap..."
"Hemm, pergilah dan jangan kauganggu aku lagi!" kata Thian Sin.
"Tapi... tapi, taihiap, ke manakah aku dapat pergi? Kalau bertemu dengan kaki tangan dan teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan ditangkap dan dibunuhnya. Taihiap, mengapa taihiap menolong aku setengah-setengah?"
Thian Sin mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang dikatakan oleh wanita itu memang ada benarnya.
"Habis, apa maumu?" tanyanya, agak bingung juga.
"Taihiap, biarlah selama taihiap berada di sini aku menemani taihiap, aku akan melayani taihiap... dan apapun yang taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati."
Thian Sin tidak menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Untuk mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin karena tentu wanita ini akan tertimpa malapetaka kalau bertemu dengan orang-orang yang mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan menggemparkan kota raja dan para penjaga keamanan tentu akan mencari wanita ini. Maka diapun lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia hendak membuat api unggun, dia telah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap, telah membuat api unggun, kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah pemuda itu.
Thian Sin melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher dan tangan cukup bersih dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tidak berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda pula.
"Tidak mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini," tiba-tiba pemuda itu berkata sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering.
Kim Lan memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan menghampiri duduk di atas jerami dekat dengan Thian Sin.
"Engkau hendak pergi, taihiap? Ke mana? Lalu aku... aku bagaimana...?"
Sambil rebah itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini? Dan tiba-tiba dia bertanya, "Kim Lan, apakah yang harus kulakukan denganmu? Aku mempunyai banyak urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus. Aku telah membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh besarku yang sampai kini belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu di sini."
"Mencari musuhmu, taihiap? Siapakah yang kaucari? Siapa tahu aku dapat membantumu menemukannya."
Ucapan ini mendatangkan harapan pada Thian Sin.
"Benarkah? Yang kucari itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri di kota raja, akan tetapi sampai kini belum juga dapat kutemukan."
Wanita itu nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali.
"Tok-ciang Sian-jin...? Tok-ciang... ah, pernah aku mendengar nama itu, taihiap!" Dan iapun mendekat dan jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa tegang dan girang.
Pemuda itu merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Benarkah? Engkau tahu di mana dia?" tanyanya.
Kim Lan mengangguk-angguk.
"Sekarang aku teringat. Mendiang suamiku pernah mengirimi kulit harimau yang dipesan oleh ketua Pek-lian-kiuw di lereng Tai-hang-san, di dusun yang disebut Dusun Tiong-king. Ya, suamiku pernah bercerita bahwa di situ terdapat seorang kakek yang berjuluk Tok-ciang... yang kuingat hanya Tok-ciang begitu saja, entah Tok-ciang Sian-jin atau Tok-ciang siapa. Suamiku mendengar julukan itu dari percakapan antara para anggauta Pek-lian-kauw ketika dia menantikan pembayaran."
"Bagus sekali!" Thian Sin berseru dengan girang. "Engkau mau membantuku?"
"Tentu saja, taihiap. Setelah apa yang kaulakukan untukku, biar harus berkorban nyawapun untukmu aku bersedia melakukannya!"
"Aku akan mencari harimau dan engkau boleh menawarkan kulitnya ke orang Pek-lian-kauw, dengan demikian engkau dapat menyelidiki di mana adanya orang yang berjuluk Tok-ciang Sian-jin apakah dia itu benar Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam atau bukan."
"Baik, taihiap, dengan senang hati. Dan lebih dari itu... kalau engkau menghendaki... aku... aku akan senang sekali menemanimu tidur..."
Wajah itu masih sempat menjadi merah ketika mengatakan hal ini dan matanya mengerling tajam, mulutnya tersenyum. Memang sejak pertemuannya yang pertama dengan pemuda itu, Kim Lan sudah tergila-gila oleh ketampanan wajah Thian Sin, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Pendekar Sadis ini. Thian Sin tersenyum, lalu meraih dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Tentu saja dia tidak menolak penawaran diri seorang wanita semanis Kim Lan, apalagi karena sudah beberapa lamanya dia tidak pernah menyentuh wanita.
***
Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) sebenarnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan sebuah perkumpulan politik yang menentang pemerintah. Memang para pemimpinnya terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak aseli lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulah penentang pemerintah yang kuat. Biarpun sudah sering kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, namun perkumpulan ini selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana. Kekuatannya terletak kepada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk perkumpulan ini melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama dan janji-janji. Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat. Pek-lian-kauw pandai menggunakan bujuk rayu, memanfaatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat yang merasa tidak puas terhadap pemerintah yang memang pada waktu itu amat buruk.
Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat yang menindas rakyat dengan berbagai jalan. Kekeliruan pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah selalu gagal, karena pemerintah hanya mengejar dan berusaha membasmi akibatnya saja tanpa mempedulikan sebabnya. Timbulnya ketidak puasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada keadaan rakyat itu sendiri. Biarpun ribuan kali perkumpulan semacam itu dibasmi, namun selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas, tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah dan merongrong pemerintah.
Pek-lian-kauw selalu menghasut di dusun-dusun, rakyat miskin dengan mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya,ditindas, dan menonjolkan pula betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini, yang ditambahi pula bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata untuk menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar, terhadap pemerintah.
Kemiskinan rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan semacam Pek-lian-kauw itulah. Rakyat yang kecewa atau tidak puas akan keadaan hidupnya, merupakan makanan empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut. Oleh karena itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama saja dengan membabat rumput pada daunnya saja. Karena akarnya masih, maka dalam waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh lagi, bahkan lebih subur mungkin. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya daripada terkecoh oleh akibatnya, tentu akan lebih memperhatikan akarnya daripada mengacuhkan rumputnya.
Sebabnya atau akarnya terletak kepada kesengsaraan atau kemelaratan rakyat jelata. Kalau pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di gunung-gunung, kalau pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang miskin dengan pendapatan yang memadai, sehingga semua rakyat dapat memperoleh sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si miskin tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas dan diganti orang-orang yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang dan tidak kecewa. Nah, kalau sudah begini, maka tanpa diberantaspun, perkumpulan-perkumpulan macam Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Rakyat tentu akan terbuka matanya bahwa perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk mempergunakan kekuatan mereka, kekuatan rakyat, untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan beberapa gelintir pemimpin perkumpulan itu sendiri tentu saja. Dan rakyat tentu akan menentangnya.
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang diserbu oleh putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan Cin-ling-pai, dia merasa tidak aman hidupnya. Dia masih merasa ngeri kalau membayangkan kelihaian putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan diapun mengerti bahwa pemuda yang mengandung sakit hati atas kematian ayah bundanya itu tentu akhirnya akan mencarinya. Maka larilah dia, setelah Jeng-hwa-pang dibasmi, ke kota raja di mana dia mempunyai banyak sahabat dan dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada orang mencarinya maka dia mulai merasa tenang.
Akan tetapi, kemudian terdengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis karena kekejamannya membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sian-jin teringat kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia sudah dapat menduga bahwa agaknya Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang pernah menggegerkan dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu! Dan diapun menjadi panik dan ketakutan, apalagi ketika dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang telah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan. Makin yakinlah hatinya bahwa pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin dan diapun tahu bahwa pemuda itu tentu akan mencarinya, tentu tahu pada akhirnya bahwa diapun menjadi satu di antara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw.
Tok-ciang Sian-jin merasa tidak aman lagi tinggal di kota raja dan diapun lari ke satu-satunya tempat yang dirasanya aman baginya, yaitu ke sarang Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan Pek-lian-kauw. Setelah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang Pek-lian-kauw dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai teman, hatinya menjadi tenteram juga. Betapapun juga putera Sang Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan bantuan Pek-lian-kauw, bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan kalau pemuda itu berani muncul, dia tentu akan berusaha agar pendekar itu dikeroyok dan tewas seperti mendiang ayahnya.
Sarang Pek-lian-kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tidak jauh dari daerah kota raja itu memang merupakan tempat yang amat baik bagi perkumpulan ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian pemerintah, maka perkumpulan itu tidak mendirikan sebuah benteng, melainkan mempergunakan sebuah dusun untuk menjadi sarang mereka. Mereka mendirikan rumah-rumah di antara penduduk dusun, dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi di antara rumah-rumah ini terdapat hubungan rahasia dan setiap saat tempat itu terjaga oleh anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia.
Para penduduk dusun Tiong-king itupun kesemuanya telah dipengaruhi dan biarpun mereka masih merupakan penduduk dusun biasa, namun sesungguhnya mereka itu telah menjadi anggauta-anggauta yang setia dari Pek-lian-kauw yang menjanjikan perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak "perjuangan" Pek-lian-kauw berhasil.
Pada suatu pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan karena ia membawa kulit harimau dan mengatakan bahwa wanita itu adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yaitu pemburu yang biasa menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka ia diterima tanpa banyak kecurigaan. Bahkan Kim Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap kepada Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua cabang Pek-lian-kauw di daerah itu.
Adapun pusat Pek-lian-kauw masih berada di selatan, di Propinsi Hok-kian. Thian-hwa Lo-su ini adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sian-jin, dan dia memimpin Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan bantuan lima orang sutenya. Dengan hadirnya Tok-ciang Sian-jin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan berarti memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang daerah itu menjadi semakin kuat.
Pada waktu itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sutenya dan juga Tok-ciang Sian-jin hadir pula. Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu Pek-lian-kauw yang bernama Giok-lian-cu, seorang tosu tinggi kurus yang mukanya seperti tikus akan tetapi matanya amat berwibawa dan memang tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang cukup kuat. Giok-lian-cu ini datang membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk memperingatkan para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha menarik dukungan rakyat.
"Bagaimana dapat dikatakan kami kurang berusaha?" Thian-hwa Lo-su membantah. "Kami setiap hari sudah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang menjadi pengikut kami. Seperti di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki maupun wanita, semua mendukung gerakan kita!" Dia merasa agak penasaran kalau dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang giat atau tekun bekerja.
"Siancai... harap Lo-heng jangan salah mengerti dan dapat menyelami apa yang dimaksudkan para pimpinan kita," kata Giok-lian-cu sambil tersenyum.
Kalau tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka itu memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya disisakan beberapa helai kumis jarang.
"Coba Lo-heng jawab, selain berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk, apakah juga kawan-kawan di daerah ini berusaha untuk mencegah dan menghalangi adanya kemakmuran rakyat? Apakah ada usaha untuk mengacaukan pembagian air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai agar ikan-ikan banyak mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung sehingga rakyat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?"
Para pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama mereka menerima "gemblengan" di pusat belum pernah mereka mendengar akan usaha seperti itu.
"Tapi mengapa? Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin? Mengapa kita harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk...?"
"Ha-ha-ha, agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, karena dengan demikian, dengan adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan, kekacauan dan ketidakamanan, maka semakin besar pula rakyat akan tidak puas dan membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, dan kalau sampai panen gagal dan kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar maka menjatuhkan hukuman. Ini lebih mudah untuk mendorong rakyat untuk memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita."
Para pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa kagum akan siasat baru yang dibawa oleh rekan ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di wilayah kekuasaan mereka menjadi semakin melarat, dan kalau perlu mereka akan membasmi hartawan-hartawan yang suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni tanaman-tanaman agar mati sebelum mengeluarkan hasil.
Akhirnya mereka itu minum arak dari cawan mereka sambil berseru, "Hidup Pek-lian-kauw! Demi kemakmuran rakyat kalau pemerintah telah digulingkan dan Pek-lian-kauw yang berkuasa!"
Rapat pimpinan dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu. Dan biarpun para pimpinan Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tidak pernah pantang makan barang berjiwa maupun minuman keras. Bahkan merekapun tidak pernah pantang bersenang-senang dengan wanita. Karena itu, dalam perjamuan itupun terdapat beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari dusun-dusun yang telah menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis melayani mereka makan minum.
Para gadis yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi kekasih mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw. Gadis ini merasa seolah-olah mereka itu terpilih dan merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian indah dan emas permata. Karena itu, dalam melayani mereka makan minum gadis-gadis itupun bersikap genit-genit, apalagi terhadap tamu itu, walaupun pendeta tamu itu tak dapat dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita.
Pada pagi hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw menjamu Giok-lian-cu, tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncul Kim Lan yang menawarkan dua gulungan kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw. Anggauta Pek-lian-kauw yang mengenal suami wanita ini dan bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan kulit binatang buas, segera membawa Kim Lan masuk ke ruangan di mana mereka sedang berpesta, apalagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat manis.
Melihat anggautanya datang membawa seorang wanita yang tidak mereka kenal, Thian-hwa Lo-su mengerutkan alisnya.Betapa sembrono anak buahnya itu.
"Siapa yang kaubawa menghadap ini?"
"Maaf, suhu, ia adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi si pemburu yang pernah menjual kulit binatang buas ke sini,dan ia sekarang membawa dua gulung kulit harimau..."
Kecurigaan segera lenyap dari sepasang mata ketua Pek-lian-kauw itu dan kini dia memandang dengan penuh perhatian, juga dengan pandang mata lembut ketika melihat betapa wanita itu memiliki wajah yang manis dan pakaiannya yang ketat itu menonjolkan tubuh yang padat dan menggairahkan. Juga pandang mata wanita itu mengandung kerling tajam, tanda bahwa wanita itu tidak berdarah dingin. Dan terutama sekali, baru sekarang tuan rumah ini melihat betapa pandang mata tamunya berkilat. Kalau tadi tamunya menghadap para pelayan itu dengan sikap tak acuh dan jemu, kini kedatangan wanita itu membangkitkan gairah tamunya. Dan memang, dibandingkan dengan gadis dusun yang sudah terbiasa melayani mereka dan bersikap genit-genit itu, wanita penjual kulit harimau ini jauh lebih unggul, baik dalam hal kemanisan wajah, kepadatan tubuh yang nampak menyembunyikan kekuatan dan kehangatan, maupun dalam sikap yang nampak alim.
"Ah, jadi engkau adalah isteri Hok-houw-kwi? Pinto mengenal baik suamimu itu. Apa, sudah mendiang? Duduklah nyonya muda, duduklah dan ceritakan kapan suamimu itu meninggal dunia," kata Thian-hwa Lo-su dengan sikap ramah.
Kim Lan menolak dengan sikap malu-malu, akan tetapi setelah dibujuk oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang lain akhirnya duduklah ia di sebuah kursi, setelah ia menarik kursi itu agak menjauh dari meja dan dari para tokoh Pek-lian-kauw yang sedang duduk menghadapi masakan di atas meja yang panjang dan lebar itu. Diam-diam ia mengerling ke arah mereka dan dengan mudah ia dapat mengenal Tok-ciang Sian-jin seperti yang didengarnya dari Thian Sin. Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh, masih nampak kuat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya pucat agak kehijauan, sepasang mata yang sipit seperti terpejam, dan jubahnya kuning. Yang berwajah dan bertubuh seperti itu hanya orang ini, maka tentu inilah Tok-ciang Sian-jin, pikirnya. Pendeta yang selalu menatapnya, yang tinggi kurus pula, mukanya seperti tikus, tentu bukan Tok-ciang Sian-jin. Maka, iapun cepat mencurahkan perhatian kepada tugasnya dan setelah duduk, ia diam saja menundukkan mukanya yang manis.
"Ceritakanlah, nyonya, bagaimana suamimu meninggal? Apakah meninggal ketika memburu binatang buas? Sudah lama sekali dia tidak pernah mengirim kulit binatang ke sini," desak pula ketua cabang Pek-lian-kauw itu sambil tersenyum melihat betapa Si Muka Tikus itu nampak makin tertarik setelah mendengar bahwa suami wanita ini telah meninggal dunia.
Didesak demikian, tiba-tiba saja sepasang mata Kim Lan yang bening itu menjadi basah dan ia menjawab dengan suara gemetar memancing rasa iba, "Suami saya... dan ayah saya... telah dibunuh oleh si keparat Pangeran Toan."
Ia sengaja memaki nama pangeran itu karena iapun tahu bahwa orang-orang Pek-lian-kauw ini amat membenci kaum bangsawan, hartawan, dan juga pemerintah.
"Toan-ong-ya...?" tanya ketua cabang Pek-lian-kauw itu dan semua orang memandangnya dengan penuh perhatian.
"Benar, totiang," kata wanita itu sambil menahan isaknya.
"Ahhh...! Tapi bukankah pangeran keparat ini baru-baru saja dibunuh oleh Pendekar Sadis? Demikian yang kami dengar!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata dan diam-diam Kim Lan bergidik mendengar suara ini, suara yang mengandung getaran yang mengguncangkan jantungnya. Pendekar Sadis telah memberi tahu kepadanya bahwa pendeta ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
"Saya juga sudah mendengar akan hal itu dan saya bersyukur karenanya. Siapapun yang membunuhnya, sakit hati saya akan kematian suami dan ayah saya telah terbalas!" katanya dan ia dapat membuat suaranya terdengar lega dan bersyukur.
"Eh, nyonya muda, kau belum menceritakan mengapa suamimu dan ayahmu dibunuh oleh pangeran itu, dan kapankah terjadinya hal itu?"
"Ayah saya dan suami saya dibunuh oleh kaki tangan pangeran itu, kurang lebih empat bulan yang lalu karena...karena... ketika saya diutus suami saya menjual kulit harimau ke sana, pangeran itu hendak memaksa saya menjadi selirnya... saya melarikan diri, dikejar kaki tangan pangeran itu. Ayah dan suami saya membela, akan tetapi mereka dibunuh dan saya berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Setelah mendengar pangeran keparat itu dibunuh orang barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya lagi."
Semua orang mengangguk-angguk. Akan tetapi ketua cabang Pek-lian-kauw itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Kalau mereka sudah mati, bagaimana engkau bisa memperoleh dua gulung kulit harimau ini?"
Hemm, ketua perkumpulan ini cerdik juga, pikir Kim Lan. Ia harus berhati-hati, karena kalau sampai bocor rahasianya, tentu ia akan mati tanpa dapat menghindarkan diri dari bahaya maut lagi.
"Setelah mendengar pangeran keparat itu tewas, saya berani keluar lagi dan bersama teman-teman pemburu yaitu bekas teman-teman suami saya, saya lalu melanjutkan pekerjaan suami saya. Kami berhasil menjebak dua ekor harimau dan karena kami memburu di hutan-hutan yang berdekatan dengan tempat ini, yaitu di lereng Tai-hang-san sebelah barat, saya lalu teringat kepada pesan suami saya untuk menjual hasil buruan, terutama kulit harimau ke dusun Tiong-king, di mana katanya ada ketua perkumpulan yang suka membelinya."
"Hemm, dia mengatakan ketua perkumpulan? Perkumpulan apa?" tanya ketua Pek-lian-kauw dengan kaget.
"Saya tidak tahu namanya, totiang, hanya dikatakan bahwa di dusun ini saya boleh minta menghadap ketuanya untuk menawarkan kulit-kulit ini. Maka saya berani datang ke sini karena menurut keterangan suami saya dahulu, para pendeta di sini berani membayar mahal dan juga bahwa mereka... semua manis budi dan gagah perkasa."
"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba pendeta muka tikus itu tertawa. "Sayang suamimu telah meninggal nyonya, kalau belum,tentu aku akan suka berkenalan dengan dia."
Melihat sikap tamunya, ketua cabang Pek-lian-kauw tertawa.
"Lo-te, kalau suaminya sudah meninggal, masih ada isterinya, bukankah boleh juga untuk berkenalan?"
Mereka semua tertawa, kecuali Tok-ciang Sian-jin. Pendeta ini memang sejak dahulu tidak suka kepada wanita. Dia lebih suka untuk mengajak seorang pria tampan menemaninya tidur. Dan mendengar bahwa suami dan ayah wanita ini terbunuh oleh Toan-ong-ya yang baru saja terbunuh oleh Pendekar Sadis, dia tidak merasa enak hati sungguhpun dia tidak dapat menghubungkan wanita ini dengan Pendekar Sadis.
"Nyonya muda, jangan khawatir. Dua gulung kulit harimau itu tentu akan kami beli dan kami akan membayar berapa saja harga yang kauminta. Akan tetapi, mengingat bahwa mendiang suamimu adalah sahabat baik kami, maka engkaupun merupakan sahabat baik kami dan engkau kami anggap sebagai seorang tamu yang terhormat. Mari masuk dan minum bersama kami, nyonya!"
Dan kepada para pelayan itu Thian-hwa Lo-su berteriak agar disediakan mangkok, sumpit dan cawan bersih.
"Ah, mana saya berani, totiang... ? Saya... tidak seharusnya saya..."
"Nyonya, kami dengan sungguh hati menghormatimu sebagai isteri bekas sahabat dari Thian-hwa Lo-su, mengapa engkau hendak menolaknya? Apakah engkau tidak mau menerima kebaikan kami?" Tiba-tiba pendeta yang bermuka tikus itu berkata sambil tersenyum penuh arti.
Sekali pandang saja Kim Lan yang sudah berpengalaman itu maklum apa yang berkecamuk dalam benak kepala yang seperti kepala tikus itu dan di dalam hatinya iapun tersenyum puas. Memang inilah yang dicarinya. Tanpa dapat mengait seorang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw dengan kecantikannya, mana mungkin ia akan dapat menyelidiki tentang keadaan Tok-ciang Sian-jin itu? Dan Si Muka Tikus ini agaknya bukan seorang yang berkedudukan rendah, buktinya dia dapat bicara seolah-olah dia berkuasa di situ.
Mendengar ucapan tamunya ini, Thian-hwa Lo-su girang sekali. Terbuka jalan baginya untuk meyenangkan hati tamunya dan hal ini amat perlu karena dengan demikian maka tentu orang penting ini akan membuat laporan baik ke pusat tentang dirinya.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh beruntung sekali, nyonya, telah menyenangkan hati tamu agung kami. Perkenalkanlah, Lo-te ini adalah Giok-lian-cu, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan engkau tidak akan rugi berkenalan dengan dia."
Dengan lagak seorang wanita "baik-baik", Kim Lan akhirnya menerima ajakan makan minum itu dengan sikap malu-malu. Akan tetapi setelah makan minum beherapa cawan arak, wanita ini mulai tersenyum manis sekali kepada Si Muka Tikus. Wajahnya yang manis menjadi kemerahan, senyumnya makin lebar, tidak malu-malu lagi seperti tadi sehingga kalau tersenyum nampak deretan gigi putih rapi dan kadang-kadang nampak ujung lidahnya yang merah meruncing.
Giok-lian-cu, tosu Pek-lian-kauw yang seperti juga rekannya, biarpun sudah memakai pakaian pendeta namun masih menjadi hamba nafsu yang amat lemah, sudah menjadi tergila-gila kepada Kim Lan. Seorang janda yang sudah empat bulan ditinggal suaminya! Tentu saja bayangan ini lebih menarik daripada wanita-wanita dusun yang melayani mereka makan minum itu, yang biarpun tidak bersuami, namun setiap malam melayani para pimpinan Pek-lian-kauw ditempat itu secara bergilir.
Dan Kim Lan pandai jual mahal, bersikap seperti seorang wanita yang belum tahu apa-apa, dan hanya dengan bujukan dan seperti orang setengah terpaksa karena takut akhirnya ia membiarkan diririya digandeng dan setengah ditarik-tarik oleh tosu muka tikus itu memasuki kamar tamu yang sudah disediakan untuknya oleh para rekan-rekannya. Para tosu pimpinan cabang Pek-lian-kauw mengiringi mereka berdua yang masuk kamar itu dengan ketawa gembira, membuat Kim Lan mudah saja menjadi merah mukanya, yang sesungguhnya bukan merah karena malu-malu, melainkan karena marah!
Namun semua ini harus dilakukannya. Betapapun juga, ia harus berkorban untuk Pendekar Sadis. Bukan hanya karena pendekar itu telah mampu membalaskan sakit hatinya terhadap Pangeran Toan, melainkan juga karena ia amat takut kepada pendekar yang luar biasa kejamnya itu, dan disamping rasa takut, juga ia tunduk dan tergila-gila kepada pemuda itu setelah beberapa hari lamanya ia menjadi kekasih pemuda yang lihai, gagah dan juga kejam dan aneh itu. Ia sudah berjanji untuk membantu, untuk menyelidiki tempat persembunyian Tok-ciang Sian-jin dan tentang keadaan di sarang Pek-lian-kauw, dan satu-satunya jalan baginya untuk dapat berhasil tentu saja hanya dengan mengorbankan dirinya dan menggunakan kecantikannya untuk memikat hati seorang pimpinan Pek-lian-kauw.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Sadis
Fiksi UmumLanjutan "Pendekar Lembah Naga" serial Pedang Kayu Harum. Tokoh Utama : Cia Sin Liong Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar...