Jilid 42

3.6K 43 0
                                    

"Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!"

Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, "Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan? Lahir dan batin, haruslah serasi, maju bersama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te."

"Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?" Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tidak ada rasa berat sedikitpun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal inipun terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega.

Dia tahu bahwa adiknya telah memperoleh seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai.

"Ayah dan ibu baik-baik saja, sungguhpun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, kini sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Kau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolongnya ketika terjadi keributan itu." Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja.

Tentu saja Thian Sin sudah tahu akan hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata, "Syukurlah kalau ia sudah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?"

Han Tiong menggeleng kepala dan memandang kepada adiknya. "Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang..."

"Eh, kenapa begitu?" Thian Sin bertanya kaget.

Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, lalu berkata, "Tadinya aku selalu meragu, adikku... mana mungkin aku hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Tapi sekarang, ah, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan."

"Hal penting apakah, Tiong-ko?" jawab kedua orang itu hampir berbareng dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.

"Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggung jawabkan perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!"

"Tiong-ko...!" Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.

"Tiong-ko, sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!" Kim Hong membantah. "Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!"

Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas. "Adik Kim Hong, biarpun aku tahu bahwa ilmu silatmu amat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis, sehingga Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Pula, jelas bahwa Sin-te ikut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, setelah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah pergi ke Kun-lun-pai, biar aku yang antar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana."

Thian Sin menggeleng kepalanya lalu memegang lengan kakaknya.

"Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami mengalah dan tidak membunuh seorangpun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?"

Han Tiong membalas pegangan adiknya. "Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian telah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tidak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biarpun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau terjadi ketidakadilan nanti, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!"

Thian Sin menjadi ragu-ragu dan menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu kemudian menggeleng kepala.

"Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!"

Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggungjawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apalagi harus ayah angkatnya ikut-ikut bertanggung jawab.

"Tiong-ko, ah, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?" Dia mengeluh sambil memandang kepada kakaknya dengan sinar mata sedih.

Han Tiong mengerutkan alisnya. "Adikku, ke manakah kegagahanmu? Lupakan engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa matipun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan membantu mereka yang hendak menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggungjawabkan pula perbuatan calon isterimu."

Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, apapun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tidak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi ketika dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, diapun maklum bahwa kalau dia menuruti kata-kata kakaknya, Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja.

"Tiong-ko, makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!" akhirnya Thian Sin berkata.

Han Tiong bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak. "Sin-te! Masih begitu lemahkah engkau? Sudah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu untuk dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!"

Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggeleng kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang amat disayangnya dan yang telah lama sekali baru saja dijumpainya kembali itu.

"Tidak, Tiong-ko. Aku tidak akan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkah diri kepada mereka."

"Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?"

Thian Sin menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tidak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah."

"Akan tetapi, engkau akan diadili!"

"Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah dapat dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya."

"Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai."

"Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku."

"Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?"

Thian Sin tersenyum. "Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan dapat mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau takkan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ah, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?" Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis!

Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu kini seakan-akan mencair semua kekerasannya dan menjadi lembek dan lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali.

"Kaupun tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku," katanya dengan suara serak penuh keharuan. "Akan tetapi engkaupun tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Kalau engkau berkeras tidak mau ikut aku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, dan akulah yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!"

Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka. Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa pertemuannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu. Kakaknya yang selama ini merindukannya, mencintanya, bahkan tidak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam.

Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Iapun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara. Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih.

"Engkau benar, Thian Sin. Kakakmu itulah yang terlalu lemah, mau mengalah saja terhadap orang lain. Pihak manapun juga, kalau mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina."

Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran, dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali..."

"Khawatir apa, Thian Sin?"

"Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali."

Kim Hong mengerutkan alisnya. "Lalu, apa yang akan dilakukannya?"

"Kita harus membayanginya, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat daripada kematian. Mari, kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya."

Kim Hong lalu mengangguk dan keduanya lalu bangkit dan lari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san. Para tokoh kang-ouw sudah mulai berdatangan ke Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar dan memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apalagi dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu.

Sehari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai telah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, ditemani oleh sutenya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu-tamu yang awal datang itu di ruangan tamu yang luas itu.

Di antara belasan orang tamu yang telah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) dan Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja.

Selain empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang dihormati dan disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai. Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar. Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pertapa ini pakaiannya seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi.

Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua. Keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu meriah namun pembicaraan terjadi dengan serius.

Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu dating sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal.

"Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali dan kamipun tidak berniat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan."

Suasana menjadi sunyi ketika semua orang mendengar penuturan itu dan diam-diam mereka semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada jaman itu, kiranya sukar dicari orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai! Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis dan kawannya, wanita muda itu.

"Sungguh aku belum mengerti benar, Toyu," terdengar Lo Pa San berkata.

Pendekar ini orangnya jujur, ramah dan adil, juga amat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan Kun-lun-pai sekalipun dia hanya menyebut toyu yang berarti sahabat saja, "Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona bernama Toan Kim Hong datang mencari supeknya sendiri. Apa yang terjadi antara mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri, kiraku merupakan urusan pribadi dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama sekali bukan menjadi hak kita untuk mencampuri."

Beberapa orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Mereka itu rata-rata adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak siapapun juga, kecuali pihak kebenaran dan keadilan.

"Siancai... apa yang dikatakan Lo-enghiong memang tidak keliru. Kamipun bukanlah golongan yang suka usil dan suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti telah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang tidak menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa Jit Goat Tosu telah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu takkan mungkin mampu mengalahkannya. Tapi mereka mendesak terus sehingga dia mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai. Sedangkan andaikata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekalipun, sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya. Apalagi hal itu terjadi menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai sendiri, dan yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan sebutan pendekar itu. Maka, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar."

Karena alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tidak senang mendengar sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam dalam menangani musuh-musuhnya, biarpun yang diberantasnya itu termasuk tokoh-tokoh sesat. Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat mereka merasa penasaran sekali.

Keadaan menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang amat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimanapun juga, mereka semua merasa kagum dan jerih mendengar betapa Pendekar Sadis telah berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka bicarakan.

"Cin-ling-pai harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu sanaknya? Tung-hai-sian terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan Cin-ling-pai." kata seseorang.

"Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang paling besar tanggung jawabnya," kata yang lain.

"Harap para saudara bersabar karena pinto juga telah mengundang mereka. Pinto kira, besok mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat dan pertimbangan mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapapun yang salah, biar keluarga sendiri tidak semestinya kalau dilindungi sehingga kejahatannya semakin merajalela," kata Kui Yang Tosu, sedangkan Kui Im Tosu hanya mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya.

Ketua Kun-lun-pai ini memang tidak suka banyak bicara. Tiba-tiba terdengar suara lantang, "Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!"

Semua orang menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana akan tetapi amat gagah perkasa sikapnya. Karena Han Tiong memang tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu.

"Para pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini. Kedatangan saya ini untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia dan tidak seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah."

Kui Yang Tosu sudah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang mata penuh selidik.

"Siapakah sicu yang muda ini?" tanyanya.

Han Tiong memandang kepada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai.

"Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?"

"Pinto adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?"

"Saya adalah kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong," jawab Han Tiong sederhana.

"Cia...? Adakah hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?"

"Dia adalah ayah saya."

Kui Yang Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut sekali. Kiranya pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera Pendekar Lembah Naga!

Mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan alisnya.

"Hemm, selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk."

"Terima kasih, totiang. Kedatangan saya bukan untuk menghadiri rapat para pendekar, melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai maupun Lembah Naga."

Makin dalam kerut di antara alis Kui Yang Tosu. "Orang muda, apa yang kaumaksudkan dengan pertanggungan jawab itu?"

"Apapun yang totiang kehendaki! Kalau adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum, nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah sepatutnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya, mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, bukan melindunginya, melainkan untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada perbuatannya yang dianggap bersalah."

"Pendekar Sadis bertindak amat kejam, perbuatan itu mencemarkan nama para pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa kejamnya!" kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. "Cia-taihiap, apakah hal itu tidak kau anggap bersalah?"

"Maaf, totiang. Salah atau tidak itu tergantung yang menilainya. Akan tetapi saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak kejam terhadap musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang amat mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya."

"Ha-ha, bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?" kata seorang di antara Shan-tung Sam-lo-eng.

Han Tiong memandang kepada pembicara lalu menjawab, "Hal itupun telah saya bicarakan dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain sehingga dia menganggap Toan Ong seorang manusia jahat, maka dibunuhnya. Setelah dia menyadari kekeliruannya, diapun sudah menghukum orang yang melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti adik saya sengaja membunuh orang baik-baik."

"Hemm, kalau menurut pendapatmu, Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap bersalah? Begitukah?" Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang.

"Sama sekali bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan membela atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman kalau memang dianggap bersalah."

"Omitohud...! Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!" Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata. "Akan tetapi, mana mungkin menghukum orang lain sedangkan yang berdosa boleh bebas? Apa gunanya itu? Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau biar bertobat sehingga tidak terulang lagi kejahatannya!" kata Thian Heng Losu ketua Bu-tong-pai. "Cia-taihiap, andaikata kami menghukummu sebagai orang yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu? Dia akan tetap saja menyebar kekejaman di dunia ini!"

"Tidak, locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang para locianpwe anggap tidak selayaknya."

"Bagaimana kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan, harus dijatuhi hukuman mati?" Lo Pa San yang juga kagum kepada pemuda ini bertanya, memancing.

"Saya sudah bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja kalau perlu saya tidak akan menolak untuk dihukum mati, kalau memang itu dapat menebus kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak mengganggu dia, Cin-ling-pai atau Lembah Naga!"

Bukan main hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan memandang kepada Han Tiong dengan heran. Biasanya kalau seseorang mencinta adiknya, tentu adik itu dibelanya dan dilindunginya, kalau perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya, bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh putera Pendekar Lembah Naga ini.

"Tiong-ko, engkau tidak boleh mewakili hukumanku!"

Teriakan ini mengejutkan semua orang dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah berdiri di ambang pintu ruangan itu, di belakangnya berdiri pula seorang gadis cantik yang bersikap angker. Han Tiong terkejut melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong, akan tetapi juga wajahnya segera berseri gembira karena dia mengira bahwa tentu Thian Sin dan Kim Hong sudah sadar dan datang untuk menyerahkan diri mempertangungjawabkan perbuatan mereka. Maka diapun berseru dengan girang sekali, "Ah, Sin-te dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini adalah orang-orang bijaksana!"

"Tidak, Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan yang hadir di sini semua mendengar baik-baik bahwa semua perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim Hong adalah tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!" Pendekar Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali.

Juga Kim Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu dengan mudah.

Melihat lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu menjadi marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang tingkatnya tinggi dan sudah tua pula.

"Pendekar Sadis, ternyata engkau selain kejam juga sombong sekali!" teriaknya sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan diapun sudah melompat ke depan. "Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang sangat kejam. Engkau tidak mau mengaku salah dan menantang siapa yang hendak menangkapmu? Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!"

Thian Sin tersenyum mengejek. "Menangkap dengan senjata terhunus? Locianpwe, engkau ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku mencabut golok, sikap seperti ini lalu apa namanya? Apakah ini yang disebut manis budi dan lunak tidak kejam?"

Wajah Lo Pa San menjadi merah dan tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok adalah karena dia sendiri sudah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang. Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba salah dan diapun segera menyimpan kembali goloknya.

"Orang muda, kaukira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong? Kalau tadi aku mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira engkaupun akan memegang senjata."

Thian Sin tersenyum lebar, "Ingat, locianpwe, kalau sampai terjadi bentrok antara kita, penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja mencabut senjata? Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita berkelahi, bukan aku."

"Sombong! Lihat serangan!"

Lo Pa San adalah seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi dan bukan sembarang pendekar. Jarang dia keluar dari rumah mencampuri perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi ketika pantai Po-hai pernah dibikin tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea dan Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah beraninya menentang dan mengadakan pembersihan, memimpin para pendekar muda dan dia baru berhenti berjuang setelah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke lautan. Namanya menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh julukan yang menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Tentu saja selain ilmu goloknya yang amat terkenal, pendekar ini juga memiliki ilmu silat tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Begitu menyerang, kedua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan cengkeraman bertubi-tubi seperti cakar garuda. Memang kakek berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah mengalami banyak perubahan, dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol sehingga selain mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi.

Agaknya Dewa Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang dikatakannya tadi. Akan tetapi Thian Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang memiliki sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang pernah dipelajarinya dari neneknya. Akan tetapi, dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekalipun dia sudah merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Menghadapi serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin lalu mainkan Thai-kek Sin-kun yang amat kokoh kuat daya tahannya, dan selama beberapa belas jurus lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali.

Melihat ini, Hui-to-sian terkejut dan juga marah. Dia mengeluarkan gerengan keras dan kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang dilakukan secara beruntun dan berantai. Cepat sekali gerakan pendekar ini, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Diam-diam Thian Sin juga terkejut dan memuji.

Pendekar ini benar-benar tangguh dan tidak boleh dipandang ringan. Kalau dia melanjutkan perlawanannya dengan Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak dan tanpa mampu membalas. Gerakan lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan gerakan ilmu silatnya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja. Maka ketika lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan tangannya untuk menangkap kaki lawan. Melihat ini, Huito-sian menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, tangan kirinya secepat kilat mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya.

"Plak!" Thian Sin menangkis sambil mengerahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi ternyata tusukan dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan kakek itupun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata bersinar-sinar.

"Celaka, ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!" katanya dan diapun sudah menyerang lagi dengan hebatnya.

Mendengar ucapan lawan, Thian Sin tidak mau lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng, bahkan dia merasa malu untuk mempergunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu silat yang mujijat itu.

"Haiiiiitt...!" Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya.

Hui-to-sian terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka diapun menanti serangan, mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang mendorong itu tiba-tiba dekat.

"Desss...!" Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian terlempar dan terdorong ke belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat membuka kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sin-kang pada kedua kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda.

Akan tetapi tubuhnya terguncang hebat dan keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah! Semua pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan.

"Siancai...! Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang tua mencoba kelihaiannya!" Sambil berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi yang bentuknya bundar, terbuat daripada bambu akan tetapi sebetulnya di balik anyaman bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu selain dapat dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai sebagai senjata yang amat berbahaya.

Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, tiba-tiba Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, "Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang amat tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sastrawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?"

Liong Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apalagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar. Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak kalau diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu.

Maka, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, biarpun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia juga seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk.

"Eh, nona... siapa yang mengeroyok! Biarpun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri untuk melawannya?" katanya membantah.

"Majunya memang seorang diri, akan tetapi kalau Thian Sin dilawan secara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ada batasnya. Apa artinya locianpwe menang kalau menangnya itu karena dia sudah kelelahan melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?"

Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya diketahuinya dari berita saja. Melihat sikap dan wajah pemuda itu, dia sama sekali tidak mempunyai hati membenci, karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah.

"Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu... aku tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan..."

Kim Hong tersenyum. "Tidak perlu sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe hendak melakukan kewajiban sebagai seorang tamu dan sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Dan locianpwe juga menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?"

Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka diapun mengangguk dan berkata, "Benar... benar sekali, nona."

Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya.

"Nah, ketahuilah, locianpwe, yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah aku! Jit Goat Tosu adalah supekku, juga musuhku dan karena akulah maka dia membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita main-main sebentar!"

Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tidak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu. Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang pernah menjadi Lam-sin dan yang telah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!

"Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!"

Memang pandai sekali Kim Hong. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu agar tidak mundur kembali. Gadis ini tidak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, kalau sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimanapun juga, ialah yang menyebabkan Thian Sin dihadapi oleh para pendekar untuk diadili!

"Nona muda, kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis agaknya. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkaupun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai."

"Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe dan semua orang di sini tidak menantang, kamipun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!"

Bocah ini sungguh tekebur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah seorang yang memiliki kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau setidaknya lebih tinggi daripada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan!

"Nona muda, jagalah seranganku ini!" bentaknya halus dan diapun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak.

Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong segera mengenal ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Maka cepat iapun mengelak. Akan tetapi gerakan kakek itu ternyata cepat dan otomatis karena begitu dielakkan pukulan pertama itu Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar ke arah leher Kim Hong.

Kembali Kim Hong mengelak, mempergunakan gin-kangnya yang memang istimewa itu sehingga sekali tubuhnya berkelebat sambaran caping itupun tidak mengenai sasaran dan kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya.

"Plak-plak-plak!" Tiga kali berturut-turut ia menampar dan tiga kali pula kakek itu dapat menangkis.

Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali, akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sin-kangnya sendiri seolah-olah besi bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tidak menimbulkan bekas apa-apa. Tahulah dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, namun sesungguhnya merupakan sin-kang tingkat tinggi yang selain dapat dipergunakan untuk melawan sin-kang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai menyambut senjata lawan. Maka kakek ini berlaku hati-hati, akan tetapi diapun cepat mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan kedua kakinya yang mengirim tendangan-tendangan berantai. Kakek ini terkenal sekali dengan langkah-langkah Cap-sha-seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke manapun lawan menyerang tubuhnya dan menghindarkan dengan menggunakan langkah-langkah ajaib itu. Dan hebatnya, dengan langkah-langkah itu, bukan hanya dia pandai menghindarkan serangan, bahkan juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu.

Setelah lawan mempergunakan langkah-langkah ajaib, terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping, Kim Hong menjadi repot juga. Belum pernah ia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat berputar dengan cepatnya dan mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan berdesing-desing dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek itu benar-benar luar biasa sekali. Bahkan keunggulannya dalam hal gin-kang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat!

Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban serangan tiba-tiba yang tidak tersangka-sangka datangnya itu. Biarpun ia sudah membalas dengan serangan-serangan dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dan langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan.

"Srattt..." tiba-tiba nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya.

Dua batang pedang hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar, yang segulung menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula. Akan tetapi, tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin dan ia tidak mau kalau sampai pedangnya melukai apalagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu ia sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan berbalik ia kini mendesak dengan ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba ia melihat bayangan caping menyambar ke arah kepalanya. Ia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras. Lawannya hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba sanggul rambut Kim Hong terlepas, dan gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan tangan lawan!

"Tukkk! Ahhhhh...!" Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah mengira akan serangan hebat ini dan tahu-tahu pergelangan tangannya sudah tertotok, membuat jari-jari tangannya yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari pegangannya. Ketika dia hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalangnya. Terpaksa dia meloncat mundur dan caping itu menggelinding di atas tanah.

Kakek itu menarik napas panjang dan berkata, "Sungguh luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini mengakui keunggulanmu!"

Kim Hong menyimpan sepasang pedangnya dan menjura sambil tersenyum. "Terima kasih, locianpwe telah mengalah, dan akupun tidak ingin bermusuh dengan siapapun juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tidak berani mengangkat diri sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikitpun niat jahat dalam hatiku." Dan iapun mundur.

Thian Sin meloncat maju ke depan. "Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami terhadap para penjahat, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan tetapi, kami telah datang ke sini untuk mempertanggung jawabkan semuanya, bukan untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, kalau masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju, selagi aku berada di sini!"

Kata-kata ini cukup keras dan wajah kedua orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka telah dikalahkan oleh dua orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum diadili, kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi dan mengalahkan tamu-tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti menghina Kun-lun-pai pula! Mereka sudah bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu, Han Tiong sudah meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin.

"Bagus sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba kauperlihatkan bagaimana engkau akan membunuh aku!" Setelah berkata demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu Jari), tujuh kali berturut-turut.

"Tiong-ko... jangan...!" Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tidak mau melawan, tentu dia akan terkena totokan-totokan maut itu kalau saja tidak tiba-tiba Kim Hong menarik lengannya dari belakang.

"Tiong-ko... jangan mengangkat tangan terhadap diriku..." Thian Sin meratap, suaranya terdengar penuh kepiluan.

"Agaknya hanya kalau aku menyerahkan nyawa kepadamu maka engkau akan puas!" kata Han Tiong dan dia sudah menerjang lagi.

"Dukkk...!" Kim Hong yang menangkis.

"Bagus, kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!" kata Han Tiong kepada kedua orang itu.

Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu dipergunakan oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang.

"Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin, mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis."

Sebelum Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu, suaranya lantang, sikapnya menantang,

"Benar sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku berjumpa dengan Pendekar Sadis, telah kuenyahkan Lam-sin dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan. Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!"

Thian Sin yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia menarik tangan Kim Hong sambil berkata, "Sudahlah, Kim Hong. Mari kita tinggalkan orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tidak ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kusangka akan begini jadinya di antara kita. Maafkan, Tiong-ko..."

Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik tangan Kim Hong, diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu.

Kui Yang Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, "Kejar mereka!"

"Tahan...!" Tiba-tiba Han Tiong berteriak dan diapun sudah melompat ke depan dan menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain.

Semua orang memandang kepadanya dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya.

"Cia-taihiap, apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?"

Han Tiong menggelengkan kepalanya. "Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan tentang Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum datang, rapat belum diadakan, keputusan belum diambil, apakah totiang kini sudah hendak melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?"

Semua orang terkejut dan Kui Im Tosu berseru, "Siancai... siancai... siancai...! Sute, kesabaran harus diutamakan, hati boleh panas akan tetapi kepala harus dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat besok."

Kui Yang Tosu merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, "Siancai... pinto mohon maaf..."

Sambil menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia membutuhkan nasihat orang-orang tua dan dia mengharapkan kedatangan ayahnya dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tidak mungkin dapat mempertanggung jawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri tadi.

***

Pada keesokan harinya, makin banyak pendekar datang memenuhi undangan Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dihadiri oleh kurang lebih lima puluh orang tokoh-tokoh utama dari dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar. Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat datangnya ayah ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam pertemuannya dengan adiknya itu.

Mendengar penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Dia teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw dan dia beberapa kali bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka. Kemudian dia berkata, "Ahh, dia mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat itu terpendam dalam-dalam di sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja."

Isteri Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. "Lam-sin? Aih, bagaimana Thian Sin memperoleh jodoh datuk kaum sesat?"

"Akan tetapi menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin telah berubah menjadi seorang gadis, Toan Kim Hong keturunan seorang pangeran yang amat lihai ilmunya. Asalkan ia benar-benar sudah sadar dan mengubah jalan hidupnya, tidak ada halangannya," kata Cia Sin Liong.

"Bukan main!" kata pula Bhe Bi Cu. "Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan Lian Hong kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!"

"Dan gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang cocok bagi Thian Sin." Kata suaminya.

Han Tiong mengerutkan alisnya, "Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itupun cantik jelita. Agaknya segalanya memang tidak mengecewakan jika ia menjadi jodoh Sin-te, hanya saja... ah, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke jalan sesat, agaknya akan sukarlah untuk mengatasi mereka kalau mereka bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te sudah maju pesat sekali, ayah, dia sudah mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon isterinya itupun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan merupakan pasangan yang mungkin sukar dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja."

Pendekar SadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang