Jilid 35

3.6K 42 1
                                    

"Mereka telah berkumpul menanti kita di ruangan belakang, nona. Maklumlah, menghadapi See-thian-ong yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati sekali. Kita masuk dari pintu belakang. Marilah..."

Kim Hong mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan ke samping gedung dan menuju ke pintu belakang. 

Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu dan mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya ada sedikit penerangan sehingga remang-remang. Sunyi sekali, tidak terdengar suara seorangpun di situ. Pria itu lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup, lalu berkata kepada Kim Hong.

"Nona, silakan masuk, mereka berkumpul di ruangan dalam," berkata demikian, Si Jangkung itu mempersilakan dan mengembangkan tangan kanannya.

Akan tetapi Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak bergerak dan berkata, "Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja."

Orang itu menarik napas panjang. "Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum percaya bahwa kami adalah sahabat-sahabat yang hendak menolong Ceng-taihiap. Baiklah, aku masuk lebih dulu."

Dia membuka pintu dan ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah kamar atau ruangan yang remang-remang dan kosong, akan tetapi di sebelah kanan terdapat sebuah lubong pintu yang kelihatan gelap. Karena melihat orang itu sudah melangkah masuk, Kim Hong juga ikut masuk. Akan tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu telah meloncat dengan cepat sekali ke arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat iapun meloncat, namun tiba-tiba pintu itu tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim Hong hanya terlambat dua detik saja. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya dari mana ia masuk tadi tertutup, tubuhnya sudah mencelat hendak keluar dari pintu itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di ambang pintu dan mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong yang hendak menerobos keluar.

"Desss...!" Tiga orang itu mengeluarkan teriakan keras dan tubuh mereka terjengkang, dari mulut mereka keluar darah segar!

Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi ketika gadis itu hendak meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan kedua tangan mendorongnya kembali. Kim Hong marah dan iapun menerima atau menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya.

"Dukkk...!"

Keduanya terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakangg sebaliknya Kim Hong juga terpental kembali tiga langkah ke dalam kamar dan... tiba-tiba saja kakinya terjeblos karena lantai itu telah bergeser dan lenyap! Karena kakinya tidak berpijak pada sesuatu, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah.

"Haiiiiittt...!" Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba tubuhnya yang sedang melayang ke bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas lagi.

"Dukk!" tubuhnya membentur lantai yang sudah tertutup kembali dan kini tubuhnya terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi.

Maklum bahwa ia telah terjebak, Kim Hong mengerahkan gin-kangnya dan dapat menahan luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua kakinya menyentuh lantai, ternyata di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga ia dapat mendarat
dengan selamat.

Gelap sekali tempat itu. Kim Hong bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah menginjak lantai ia cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah kamar yang luasnya kira-kita tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang jari di sebelah atas, dekat langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter. Ia meloncat dan mendorong
langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat dari baja yang amat kuat. Tidak ada pintu atau jendelanya! Mungkin pintu rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar. Akan tetapi ia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan baginya, karena selama ia masih hidup, ia tidak akan kehilangan harapan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi tempat itu terlalu gelap behingga ia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya sendiripun tidak nampak, apalagi benda lain. Dan tiba-tiba ia mencium bau yang harum dan keras.

Celaka, keluhnya karena ia tahu bahwa ada asap beracun dimasukkan ke dalam kamar itu. Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Ia tahu bahwa melawanpun tidak ada
gunanya, membuang tenaga sia-sia belaka. Kalau ia melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan beberapa jam saja, akhirnya ia akan tidak dapat lolos pula dari asap yang ia duga tentu mengandung obat bius itu.

Kalau ia melawan dan menahan napas sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik ia menyerah kepada keadaan yang tak mungkin dapat dilawannya lagi, untuk menghemat tenaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena itu, Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas lantai dan melemaskan tubuhnya, mengendurkan semua urat sarafnya agar jangan menegang. Karena ia merebahkan diri, maka asap itu agak lama baru mulai memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh.

Kim Hong yang sudah banyak mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan ia jatuh pingsan
dengan hati tenang.

***

"Cian Ling...!"

"Thian Sin, ah, Thian Sin...!" Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis.

Thian Sin mengelus rambut kepala itu, membiarkan Cian Ling menangis sejenak di dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang.

"Engkau kurus..." kata Thian Sin dan memang wanita itu nampak kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu.

"Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku... aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu... suhu menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku." Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar matasedih.

"Ah, maafkan aku, Cian Ling." Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian.

"Engkau menderita karena aku."

"Dan engkau agaknya sudah senang sekarang, ya? Lupa kepadaku dan sudah memperoleh gantinya?"

"Ah, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah engkau sudah menjadi isteri suhengmu? Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kaubicarakan denganku?"

"Apa pertemuan antara kita ini tidak kauanggap penting?"

"Memang, akan tetapi tentu ada yang lebih daripada itu yang hendak kausampaikan kepadaku."

"Aku diutus suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmu di Si-ning? Tentu bukan untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?"

Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Betapapun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang.

"Ah, engkau diutus menyelidiki aku akan tetapi mengapa engkau berterus terang begini kepadaku?" Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya.

"Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau telah meninggalkan aku, karena engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi... tapi... mana bisa aku mencelakaimu, Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku dan suamiku dan semua kaki tangannya telah siap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau hati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini."

"Cian Ling, kenapa kaulakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhumu dan suamimu...?" Than Sin bertanya, terharu juga.

"Aku... ohhh..." Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi.

Mereka saling berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan rangkulannya.

"Aku girang bahwa aku berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Biarpun engkau tidak mencintaku, namun engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita."

"Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan."

Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong dan para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai.

"Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Mereka itu, kalau maju bersama, lebih lihai daripada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang kini semakin tua menjadi semakin lihai. Engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kedatanganmu ini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?"

"Ya, sebaiknya katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhumu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku."

"Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?"

"Dia memang pantas ditentang, apalagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu."

"Ah, aku khawatir sekali!"

"Tak usah khawatir, aku dapat menjaga diri."

"Selamat berpisah." Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lalu terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam.

Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Di antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim Hong, ke dua adalah Cian Ling inilah. Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu berahi. Dia sendiri tidak tahu apakah terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapapun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya, hatinya dan pada saat inipun sudah membuktikan pembelaannya, setelah berkorban kedua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya.

Dia tahu bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biarpun See-thian-ong mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak!

Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, ia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tidak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan. Baiknya ia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tidak kalah dibandingkan dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini! Teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen di mana mereka bermalam.

Akan tetapi, ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat maupun pesan. Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu pergi meninggalkannya karena marah dan cemburu. Akan tetapi, buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, namun tidak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya.

"Engkau melihat nona?" tanyanya kepada pelayan itu.

"Tidak, tuan..."

Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu.

"Baiklah," katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, diapun memasuki kamarnya.

Akan tetapi cepat sekali diapun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut.

"Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamarnya..."

"Baik, kami akan menjemputnya," kata seorang di antara tiga orang itu.

Thian Sin cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan.

"Tok-tok-tokk!"

Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, barulah dia menjawab dengan suara mengantuk, "Siapa di luar?"

"Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu, Pendekar Sadis!"

Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Kalau See-thian-ong sudah berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan.

"Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja."

Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang di antara mereka mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi ketika melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk. Orang tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dan orang itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang.

"Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!" kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli. Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia menyeringai dan berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya.

"Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku."

"Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?" Sikap Thian Sin tetap tenang saja dan justeru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar.

Dua orang tinggi besar yang menanti dan berjaga-jaga di luar kamar itupun menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan agak gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apalagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Mereka bertiga kini menghadapi Thian Sin, siap dengan golok di tangan dan Thian Sin memandang dengan sikap tak acuh.

"Pendekar Sadis," kata seorang yang pertama tadi. "Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami menghadap beliau tanpa banyak ribut."

Thian Sin tersenyum. "Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga? Apa sukarnya bagiku?"

Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah sebelum menjawab, merasa sukar bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya.

"Kalau... kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi setelah matahari terbit, wanita itu akan mati..."

"Wanita...?" Thian Sin pura-pura bodoh.

"Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!" Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. "Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tidak akan kalah olehmu dalam menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Sedikit saja engkau mengganggu kami, kawanmu yang cantik itu besok sebelum matahari terbit, akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tidak berupa manusia lagi!"

Thian Sin masih bersikap tak acuh. "Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?"

Seorang di antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang menyeramkan, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan melemparkannya ke arah Thian Sin sembil berkata.

"Lihat ini!"

Thian Sin menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah sampai ke lutut. Celana Kim Hong! Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong. Dia merasa heran sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan musuh.

"Hemm, di manakah ia?"

Orang pertama tertawa, suara ketawanya seperti suara burung hantu, lalu berkata, "Pendekar Sadis, kami tidak begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau menghendaki ia selamat!"

Thian Sin berpikir sejenak. Diapun tahu bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya untuk memaksanya menyerah. Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang pasti tidak mengenal bahwa Kim Hong adalah Lam-sin, melainkan dialah yang dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam. Dan kini baru dimengerti bahwa So Cian Ling telah menipunya. Wanita itu, yang tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi menangis dengan air mata panas, hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk membuatnya meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu dapat menangkap Kim Hong untuk memaksanya menyerahkan diri.

Akan tetapi bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan? Hal ini tentu baru akan dapat diketahuinya kalau dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang dirobek itu, diam-diam dia bergidik. Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan kalau dia membunuh mereka ini dan tidak muncul sampai besok pagi, tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka.

"Baiklah, aku ikut dengan kalian!" katanya sambil bangkit berdiri.

"Ha-ha-ha, kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis," kata orang pertama.

"lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, karena di sana ada golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu."

"Kami harus melucutimu dulu," kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin dan mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga mengambil kipasnya dan suling bambunya.

Tiga benda itu dibawanya sendiri, pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang.

"Mari kita berangkat!" kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu.

Thian Sin berjalan di tengah-tengah mereka, seperti seorang di antara sahabat-sahabat saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan itu, Thian Sin melihat pengurus dan para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi melihat Thian Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak lega. Mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di dalam rumah penginapan ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang tunduk dan taat kepada datuk kaum sesat itu.

Dia memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang sikapnya kasar ini. Setelah mereka tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong oleh mereka.

"Setelah keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar Sadis. Ha-ha-ha!" kata orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya.

Hemm, mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar kota. Akan tetapi di mana? Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu ngeri untuk dibayangkan. See-thian-ong tidak percuma berjuluk datuk kaum sesat. Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakitkan hatinya.

Tiba-tiba Thian Sin merasa tengkuknya menjadi dingin. Menyakitkan hatinya! Itulah yang akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu akan dapat menduga bahwa dia mencinta Kim Hong, dan kalau demikian halnya, maka tidak mungkin kalau Kim Hong akan dibebaskan setelah dia menyerahkan diri. Bahkan sebaliknya gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu See-thian-ong akan menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya!

Mereka sudah tiba di luar pintu gerbang kota sekarang dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah muncul dan malam itu amat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi, diapit-apit sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata.

"Sudah waktunya untuk menutupi kedua matanya."

Mereka bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam dari saku bajunya.

"Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu agar kau... hukkk!" Orang itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti dan diapun terjengkang memegangi perut.

Dua orang kawannya terkejut sekali dan mereka berdua cepat mencabut golok. Akan tetapi Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih cepat daripada tangan mereka yang mencabut golok dan gerakan kedua orang itu terhenti setengah jalan ketika tubuh mereka terpelanting oleh tamparan-tamparan Thian Sin.

Mereka hanya pingsan dan tidak mati, karena memang Thian Sin belum hendak membunuh mereka. Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana Kim Hong ditahan. Thian Sin sengaja menanti sampai mereka berada di luar kota, di tempat sunyi, baru dia bergerak karena kalau dia bergerak di dalam kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang akan dapat menggagalkan usahanya menolong gadis itu.

Ketika tiga orang itu siuman mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki tangan mereka lumpuh sama sekali dan mereka berada di dalam sebuah gubuk tempat petani menjaga sawah. Thian Sin lalu menyeret seorang di antara mereka, yaitu orang ke tiga yang pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua orang kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut ketika kawan mereka itu diseret keluar dari dalam gubuk oleh Pendekar Sadis.

"Jangan takut," bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, "dia tidak mampu mengganggu kita, selama gadis itu berada di tangan ketua kita."

Orang yang codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis menjauhi gubuk dan berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan.

"Nah, sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!" kata Thian Sin, suaranya tetap halus dan tenang, bahkan terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman.

Si Codet menelan ludahnya, akan tetapi dia teringat akan teman Pendekar Sadis yang sudah berada di tangan See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah senyum yang merupakan senyum masam yang membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin buruk dan menyeramkan.

"Hemm, kaukira aku takut dengan ancamanmu? Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan kalau sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai mampus, dan sebelum itu dipermainkan dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat, Pendekar Sadis."

"Begitukah? Kita lihat saja nanti!" Thian Sin berkata dan dengan cekatan lalu melepaskan sabuk orang itu, mengikat kedua kakinya dan diangkatnya orang itu lalu dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon.

Ketika tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk dan orang itupun tergantung dengan kepala di bawah dan terpisah dari tanah kurang lebih satu setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon, kemudian dengan tenangnya lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung dengan jungkir balik itu.

"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" Si Codet itu berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak.

Thian Sin tidak menjawab, terus menyalakan api unggun dan asap mulai mengepul ke atas, membuat Si Codet itu terbatuk-batuk dan sesak napas. Dia mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi semakin takut ketika mulai merasakan hawa panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya. Dengan panik dia mengerti bahwa Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup! Dia mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan melihat sedikitpun tidak, melainkan menambah kayu bakar untuk membuat api unggun itu bernyala makin besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah, akan tetapi dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak.

"Ahhhhh... akhhh... aku... ah, lepaskan aku... Pendekar Sadis..."

Thian Sin sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Akan tetapi sebenarnya dia terus memasang pendengarannya dan memperhatikan semua teriakan yang keluar dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh dengan keringat, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya. Malah sudah ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api melainkan rambut itu mengering dan menghangus oleh panas dari bawah.

"Aduuhhh... panas... aughhh... dengar Pendekar Sadis... gadismu itu... berada di... pesanggrahan... auhhhhh, lekas turunkan... aku akan mengaku..."

Api unggun itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan bakarnya dikurangi dan tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala. Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu.

"Jelaskan, di mana ia ditahan?"

Si Codet itu membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu dibunuh oleh See-thian-ong kalau dia berani mengkhianatinya, kalau dia berani mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat keraguan ini Thian Sin berkata sambil mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan.

"Aku tidak mau tawar-menawar lagi kalau engkau tidak mau mengaku, api akan kubesarkan dan tidak ada apapun yang akan dapat mengubah keadaanmu!"

"Nanti... nanti dulu... ia... ia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik ketua kami..." Orang itu merintih dan menangis, tahu bahwa dia telah menentukan hukumannya sendiri.

Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat selamat karena andaikata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tidak akan mau mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan ketakutan. Akan tetapi, karena api unggun tidak begitu besar lagi dan biarpun masih mendatangkan panas dan asap namun tidak begitu menyiksanya lagi, diapun akhirnya menghentikan tangisnya, apalagi ketika melihat Pendekar Sadis meninggalkannya, memasuki pondok gubuk itu dan menyeret keluar seorang temannya, yaitu Si Jenggot Panjang.

Si Jenggol Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, mengerti bahwa Pendekar Sadis hendak menyiksa mereka untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka diapun mendahului dengan suara ketawa.

"Ha-ha, Pendekar Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tidak akan bicara, dan biar engkau membunuh kami sekalipun, engkau tidak akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami menghadap See-thian-ong!"

Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan cepat menggunakan golok besar milik seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sin-kangnya, cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu, lalu ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang memasuki lubang dalam keadaan telentang. Si Jenggot Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi ketika Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang menimbuninya dari kaki ke atas dan berhenti sampai di dada, tahulah dia bahwa pendekar itu hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak.

"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya gemetar.

Thian Sin menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang disengaja menimbuninya sampai ke dada saja membiarkan bagian muka itu terbuka.

"Katakan di mana adanya gadis itu!" katanya, suaranya halus dan tenang saja, namun mengandung sikap dingin yang mengerikan.

Orang pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat melihat semua yang terjadi itu dengan jelas, walaupun matanya sudah menjadi merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap. Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, suara ketawanya memang agaknya tidak takut mati.

"Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku? Pendekar Sadis, biar kaubunuh sekali kami bertiga tidak akan mengaku, dan tahukah engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak ikut bersama kami menghadap See-thian-ong! Ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan diperkosa beramai-ramai, diantri oleh lebih dari dua puluh orang di antara kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin ketua kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin sekali melihatnya. Ha-ha-ha!"

Thian Sin mengerutkan alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul menghancurkan kepala Si Jenggot ini. Akan tetapi dia menahan diri, lalu mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka Si Jenggot. Si Jenggot masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis, akan tetapi Thian Sin tidak peduli, walaupun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si Jenggot menyerah dan mau mengaku. Biarpun orang pertama sudah mengaku, namun Thian Sin masih belum puas, dan masih belum yakin benar hatinya. Orang-orang macam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja. Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya makin kurang ketika mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup dan Si Codet memejamkan matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup daripada harus mengaku itu.

Dia tidak menyesal telah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang, dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu. Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis daripada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiripun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus dan tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja!

Setelah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu bergunduk merupakan sebuah kuburan baru, Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk.

"A-ciang...!" Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah sambil memandang dengan mata melotot.

"A-ciang...! Apakah engkau bisa mendengarku?" Si Codet bertanya dengan hati ngeri.

Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andaikata temannya dapat mendengarnya sekalipun, tentu teman itu tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya. Si Codet tidak memanggil lagi ketika Thian Sin sudah mendatangi dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan tiga orang itu.

Orang ini memiliki kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu mirip dengan muka seekor monyet. Ketika Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan.

"Pendekar Sadis, apa yang kaulakukan terhadap dua orang temanku ini?" tanyanya.

Thian Sin tidak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sutenya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sutenya tadi tentu telah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sutenya itu belum mati, maka dia bertanya

"Tauw-sute, di mana Ciang-sute?"

Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba mata A-tauw itu terbelalak seperti orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan diapun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kepala yang penuh tanah itu kini keluar, matanya berkedip-kedip karena kemasukan tanah, mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula. Kiranya Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati dan ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah dan dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya.

Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, "Kau mau mengaku."

Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu memaki dengan suara seperti orang yang dicekik lehernya, "Jahanam kau!"

Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin. Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan seperti harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil.

"Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam untuk menyiksa temanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong dan seluruh anak buahnyapun akan kusiksa sampai mati semua. Dan kalian memperoleh giliran pertama!" kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. "Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu." Berkata demikian, tiba-tiba leher Si Muka Monyet itu telah dibelit sabuknya sendiri dan sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin telah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya!

Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya, sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar dan tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya. Thian Sin melepaskan ujung sabuk dan tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang.

"Nah, apa yang hendak kaukatakan?" katanya kemudian.

"Gadis itu... ia... ditawan... di pondok merah... dekat Telaga Ching-hai..."

Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasan. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu sudah menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya! Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudianmengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya untuk lari menuju ke Telaga Ching-hai!

***

Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, ia mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri dan ketika ia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika ia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah ia bahwa ia telah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius.

Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Ia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Ia tahu bahwa ia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa ia masih hidup sampai saat ini. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan mempunyai suatu rencana mengapa ia masih dibiarkan hidup. Dan selama ia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.

Pandang matanya menyatakan bahwa ia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Ia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana ia rebah miring. Kedua kakinya bebas, akan tetapi kedua lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah ia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi telah melukai kedua pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat. Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, ia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apalagi bermusuhan. Jelaslah bahwa ia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin.

Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan ia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya dan berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal ini yang dikehendaki oleh pihak musuh yaitu memancing datangnya Thian Sin. Ini berarti bahwa ia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa ia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sinlah yang terancam. Ia harus dapat lolos untuk memperingatkan Thian Sin!

Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di tepi pembaringan. Pertama-tama, ia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, ia masih akan mampu menjaga dan melindungi dirinya. Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya kedua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapapun juga, ia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Ia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu.

Akan tetapi, hal ini jauh lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Dengan pengerahan sin-kang, mungkin saja ia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu ia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan kalau sampai urat besarnya yang terluka, dapat berbahaya juga. Apalagi ketika ia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, ia memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tidak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidaknya harus ada tangan orang lain yang membukanya. Kim Hong bangkit dan memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka diapun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, dan mulailah ia menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat. Lebih dari dua jam ia bekerja, mengerahkan tenaga, dan hasilnya baru sedikit saja, baru mulai dapat merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh memakan banyak sekali tenaga dalam badan. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya dan Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi.

Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang kesemuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja ia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang akan dipancing dan dijebak, tentu ia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi ia menahan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Kalau mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek. Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah ia bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi.

Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya memiliki kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walaupun tingkatnya belum setinggi tingkat para suhengnya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia dan dua orang sutenya yang bertugas menjaga di situ memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong.

Si Jangkung tersenyum mengejek ketika melihat gadis itu agaknya hendak melawan namun tidak berdaya dan dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka di pergelangan lengannya.

"Tidak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?"

"Persetan dengan kalian!" bentaknya. "Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?"

Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.

"Nona manis, simpanlah kegalakanmu. Engkau sekarang telah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong."

"Ahhhhh...!" Dengan sengaja Kim Hong memperlihatkan kekagetannya dan juga memperlihatkan rasa takut.

Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut.

"Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu."

Kim Hong masih memperlihatkan sikapnya yang ketakutan dan iapun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali.

"Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?"

Ia disuruh berjalan di muka dan tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biarpun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin bahwa dengan kedua kakinya saja, ia akan mampu merobohkan tiga orang ini. Akan tetapi hal ini tidak ia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, ia tidak akan mau bertindak sembrono karena ia akan gagal kalau harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan kedua tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini ia harus mempergunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad.

Ruangan itu luas dan See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam ia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia memandang marah.

"Duduk!" bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai.

Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi ia menegakkan kepalanya memandang kepada See-thian-ong, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut kini. Baru sekarang ia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit hitam ini. Selama ia menjadi Lam-sin, ia baru mendengar nama saja dari "rekan" ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.

"Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?" Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.

Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis yang berpakaian mewah dan pesolek, sedangkan di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Ia dapat menduga bahwa tentu wanita ini murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik. Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tidak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.

Melihat So Cian Ling berada di situ, Kim Hong yang tadinya tidak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, "Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?"

See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya amat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapapun banyaknya arak memasuki perutnya.

"Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkaupun cukup manis. Siapakah namamu, nona?"

"Namaku Kim Hong!" jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya.

She Toan adalah she yang terkenal sebagai she keluarga kaisar, maka ia tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka ia she Kim dan bernama Hong.

"Nama yang manis seperti orangnya," kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. "Akan tetapi sayang, Nona Kim. Nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis."

"Apa maksudmu?" tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.

"Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya kalau Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,"

See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandang mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu. Dan memang sesungguhnyalah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Ia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suhengnya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja ia merasa iri sekali.

"Perempuan rendah," kata So Cian Ling. "dengarlah baik-baik. Kami telah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Kalau sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan sampai mati. Pertama-tama, engkau akan diserahkan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!"

Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, "Dan aku mati, habislah. Tapi engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, sampai engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik daripada nasibmu."

"Perempuan rendah!" Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.

"Cian Ling, jangan!" terdengar See-thian-ong berkata sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu mengangguk-angguk.

"Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuknya!" perintahnya kepada seorang murid, dan di antara murid-muridnya yang mengurung tempat itu segera maju dan membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil.

"Letakkan piring itu di depannya," perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini.

Kim Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti dan daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja ia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena ia tidak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar. Ia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Kalau menuruti hatinya, tentu saja ia lebih baik memilih mati daripada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa mereka ini, kecuali Cian Ling mungkin, amat membenci Thian Sin, karena itupun tentu saja membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat ia terhina, dan ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas. Kalau ia menolak suguhan ini, berarti ia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini amat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai ia kelaparan, ia akan lemas dan ilmu silatnyapun takkan mampu menolong tubuh yang kelaparan. Maka, Kim Hong lalu mendiamkan pikirannya sehingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, dan iapun lalu menekuk tubuhnya ke depan.

"Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!" kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan.

Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan seperti seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring dan perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanya merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu!

Biarpun agak sukar, piring itu kadang-kadang terdorong ke depan dan terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering dan ia ingin sekali minum.

"See-thian-ong, aku ingin minum," katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu "darahmu"!

"Ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!" kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali.

Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu dan sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lalu mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.

Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Dia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong dari tiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga

Pendekar SadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang