01 | Pesona Pertama

840 83 37
                                    


01
Pesona Pertama



Hal yang paling menyebalkan ketika orientasi mahasiswa baru adalah kegiatan baris berbaris di bawah sinar matahari dalam posisi siap dan para senior yang berseliweran diantara barisan sambil berteriak marah-marah pada semua hal yang bisa mereka komentari. Belum lagi, tugas-tugas yang harus dikerjakan di atas kertas folio bergaris, ditulis dengan tinta biru dan huruf tegak bersambung. Apa manfaatnya coba? Padahal, tugas-tugas itu kemudian hanya bakal dibaca sekilas, dicorat-coret sekenanya, lalu dikembalikan ke mahasiswa baru dengan tuntutan harus diulang dan diperbaiki untuk dikumpul keesokan harinya. Katanya sih ya, untuk menanamkan sikap disiplin dan rasa hormat kepada senior, juga pemanasan menghadapi tugas-tugas perkuliahan yang berlimpah. Tetapi bukankah sikap disiplin dan rasa hormat bisa ditanamkan dengan cara-cara lainnya? Hanya saja, tradisi ospek yang sudah melekat itu, turun temurun dan mengakar sebagai sebuah ajang bagi senior untuk mengenal adik tingkat lebih dekat, dalam tanda kutip, atau sebutannya, menggebet.

Sebenarnya, lumayan juga sih bagi mahasiswa-mahasiswa baru itu melihat para komisi disiplin yang meski galak-galak dan judes, beberapa ada yang cantik dan enak dipandang. Sering kok, beberapa mahasiswi yang membicarakan si senior A yang serem tapi bikin kesengsem, atau si senior B yang tinggi keren karena mukanya arab-arab gimana gitu, atau para mahasiswa-mahasiswa yang membicarakan si mbak senior C yang omongannya pedes banget tetapi pendek lucu menggemaskan, si mbak senior D yang meski medok tapi badannya bagus aduhai, dan sebagainya dan sebagainya. Masing-masing punya idola sendiri. Sementara para senior itu juga kadang membicarakan si X yang cantik, atau si Y yang lucu-lucu menggemaskan, atau si Z berondong manis. Kadang juga mereka membicarakan si P yang cupu dan gagap, si Q yang hitem mukanya bikin emosi, atau si R yang paling enak dikerjain karena gampang nangis. Masing-masing punya mangsa sendiri.

Siang itu di hari terakhir ospek, senior kampus semakin menjadi-jadi, marah-marah hanya karena seorang anggota kelompok ospek tercecer, gerakan yang tidak kompak, bahkan anak yang bersin pun kena komentar pedas. Tengah hari sudah lewat sejak dua jam lalu dan matahari sedang terik-teriknya jam 2 waktu Jogja. Untung saja, siang itu langit sedang baik. Awan-awan besar yang bergerak ditiup angin menghalangi sinar matahari yang terik. Bayangan bangunan kampus yang jatuh ke lantai lapangan basket di tengah fakultas tempat mereka ospek itu juga sedikit memberikan keteduhan. Bangunan-bangunan kampus Hukum yang berdekatan menciptakan lorong-lorong angin. Tapi agaknya siang, angin hanya mau lewat sedikit, hanya semilir saja. Cukuplah membuat semua mahasiswa baru yang bermandikan peluh itu sedikit merasakan sejuk, sementara senior yang tak henti-hentinya berteriak-teriak marah-marah, kata-kata mereka terdengar pedas di telinga. Tpi tak sedikit pula yang menganggap omongan para senior itu sambil lalu, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Beberapa menguap karena ngantuk atau bosan.

"Heh, berani-beraninya ya kamu menguap! Sini kamu yang rambut keriting maju ke depan!"

Semua anak diam sambil melirik ke arah maba berambut kriting. Maba itu terlihat pucat karena ditunjuk. Saat ia mau maju dengan takut-takut, ia malah kembali dimarahi.

"Bukan kamu, hoi!" teriak salah satu senior dari arah lain yang mendekat ke depan barisan.

Maba berambut keriting itu menghela napas lega dan mundur ke tempatnya.

"Kamu pura-pura tuli apa emang nggak bisa denger, heh! Dipanggil senior malah melengos."

"Kami itu manggil kamu, heh, rambut keriting yang dicempol. Sini cepat maju ke depan!"

Perempuan berambut ikal penuh yang ia ikat asal-asalan membentuk cempol berantakan itu akhirnya menoleh juga ke arah dua senior yang meneriakinya. Tadi ia tak merasa dipanggil karena kedua senior itu mengatainya keriting. Matanya yang besar dan sorot matanya yang tajam karena sudut luar matanya yang tertarik ke atas menatap kedua senior itu dengan tatapan malas, sedikit kesal karena sikap keduanya. Ia mengeratkan giginya di balik bibirnya yang penuh, sambil membatin bahwa dirinya harus tenang, dan tidak membuat keributan.

TEBING DAN GELOMBANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang