06
SombreAda yang mengganggu pikiran Janu sejak malam itu. Seolah ia tak bisa menghilangkan bayangan tatap mata tajam yang dilayangkan kepadanya. Mata yang gelap segelap langit berawan badai. Janu menghentikan permainan gitarnya saat tiba-tiba senar terakhir putus. Janu menghela napas dan setengah melempatkan gitarnya ke atas tempat tidur. Ia bangkit dari duduknya di kaki tempat tidur dan berjalan ke arah meja belajarnya, meraih rokok dan bergegas keluar kamar sambil menyelipkan sebatang rokok di bibirnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia menangkap pantulan dirinya sendiri di dalam satu-satunya cermin di sebelah pintu masuk kamar kosannya. Ia menatap gelap matanya sendiri, membandingkannya dengan warna badai yang membayanginya.
Di luar kamar kosan, selasar depan kamarnya yang ada di lantai dua itu menghadap ke halaman samping, berbatasan langsung dengan halaman tetangga sebelah, rumah pemilik kos. Ia menyulut rokok yang terselip di bibirnya sembari melamun.
"Wih, Jan, tumben ra metu? -Tumben, nggak keluar?- " ujar teman sekosan yang tinggal di sebelah kamarnya. Janu menoleh dan mendapati temannya sibuk membawa bungkusan di kedua tangannya.
"Males, bro." Jawab Janu, tapi pandangannya teralih kepada bungkusan yang dibawa sang teman. Janu mengacungkan dagunya kepada bungkusan yang dibawa teman samping kamarnya itu sambil menyesap rokok yang ia selipkan.
"Oh, biasa, cah-cah ameh rene. -Temen-temen mau kesini.- "
Janu terkekeh sembari melepas rokoknya. "Walah, mesti to rep poker po remi yo. -Wah, pasti mau main kartu poker atau remi ya.- "
"Ha mbok melu wae, ra ono gawean to kowe? -Ikut aja, kamu kan nggak ada kerjaan, Jan?- "
Janu menggeleng ringan sembari melemparkan senyum kecil.
"Wis, mengko gabung wae. -Udah, ntar nyusulin aja.- "
Janu melihat temannya itu memasuki kamar sebelah yang dibiarkan terbuka. Memang, semua penghuni kos-kosan biasanya tidak pernah membiarkan pintu kamar tertutup ketika mereka semua berada di kos-kosan. Makan, tidak heran jika percakapan di deretan kamar di lantai bawah bercampur dengan degup lagu rock classic yang diputar dari kamar di ujung tangga. Bosan, Janu memalingkan mukanya untuk mengamati pemandangan di balik tembok tetangga sebelah.
Rumah Mila entah mengapa selalu menjadi tempat pertama Tasya untuk melarikan diri dari keadaan rumahnya. Ia ingat kejadian tak mengenakkan pagi itu yang melibatkan perdebatan kecil antara ia dan ayahnya. Ya, selalu saja interaksi keduanya tak pernah lebih baik daripada saling mendiamkan di meja makan.
Tasya pagi itu masih bersiap-siap di kamar ketika bundanya mengetuk pintu kamar si gadis.
"Tasya, kamu mau berangkat jam berapa nak? Ini sudah siang lho. Ayo buruan sarapan." Ujar sang bunda membuat Tasya menoleh meski sedikit panik juga memasuk-masukkan barang yang mau ia bawa.
"Emangnya mas Bima udah jemput? Kok cepet banget. Ini baru juga jam 7 kurang 15." Ujar Tasya jadi lebih panik. Tapi ketika ia menoleh, ia mendapati sang ibu berdiri dan menyandarkan tubuhnya di kusen pintu sembari bersedekap, merasa heran dengan kamar Tasya yang super berantakan. Banyak buku-buku yang tak tertata rapi di meja belajar, juga baju-baju yang tak jadi dipakai di atas tempat tidur. Tasya nyengir kuda melihat sang bunda menatapnya meminta penjelasan atas kekacauan yang terjadi di kamarnya itu.
"Iya bunda, Tasya akan beresin nanti sepulang kuliah." Ujar Tasya merasa dihakimi oleh pandangan bundanya.
Monica, perempuan berumur di akhir 30an itu, mendengus pasrah, mau bagaimana lagi. Anak perempuan satu-satunya itu paling tidak suka jika kamarnya dibereskan oleh ibunya bahkan oleh mbok Tumini yang sudah bersama keluarga mereka sejak Tasya belum lahir.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEBING DAN GELOMBANG
Teen FictionBanyak orang bilang bahwa laut mampu menghisap semua kegelisaan orang-orang yang mengadu kepadanya. Mungkin juga sama seperti ia yang menyukai tempat itu lebih dari siapapun yang pernah berkunjung ke sana. Tak ada yang tak laut ketahui tentang dirin...