P.R.E.L.U.D.E.

894 90 17
                                    


00
P.R.E.L.U.D.E.



Ada satu tempat yang sering Janu datangi ketika ia sedih dan benar-benar ingin menyendiri dari banyak orang, termasuk menghindari teman-teman dekatnya. Tempat itu berjarak sekitar 1 jam perjalanan naik motor dari kota kecil di timur laut Jogja, menyusuri jalan diantara bukit-bukit batu kapur, hingga sampai ke hadapan laut lepas di sebuah tebing tinggi dengan sebuah pohon besar di muka pantai mencengkeram karang-karang hitam. Ia sering menghabiskan waktunya sesorean di sana. Duduk sambil merokok dan menanti senja, dan memandangi laut yang tiada habis-habisnya.

Kadang pula, ketika ia sedang mencoba menghibur dirinya, maka Janu mengajak Anggit yang tak banyak bicara atau juga Pram yang lebih banyak omong, atau keduanya itu sembari membawa botol-botol tuak dan sekresek kacang rebus. Semalaman mereka akan mengobrol kesana kemari sambil menghabiskan botol-botol minuman keras yang mereka bawa. Sampai pada titik dimana kesadaran dan kejujuran membaur dan banyak hal ditumpahkan di hadapan laut.

*

Diambang tahun kedua perkuliahan mereka, Janu sadar bahwa banyak hal akan berubah dan semua itu tidak dapat dihindari. Di kota kecil itu, hanya tinggal mereka bertiga, Janu, Pram dan Anggit yang tersisa. Jay yang individualis itu memilih untuk pindah ke Bandung tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Surya yang suka berbuat konyol itu pun kini sudah menjadi terlalu serius. Dan Tama yang tomboy itu pun kini melemah menjadi wanita. Lagi-lagi seperti ketika masa SMP dan awal-awal masuk SMA, mereka hanya bertiga. Mereka selalu bertiga. Lalu Lintang, satu-satunya wanita di antara mereka bertiga. Yang bagi masing-masing ketiganya begitu penting, sebagai wanita yang mereka cintai dalam artian mereka sendiri-sendiri.

Entah sudah berapa lama setiap malam Minggu trimas kenthir itu memiliki rutinitas berkemah di tempat favorit Janu. Sudah lama mereka tidak bermain basket di lapangan basket kompleks di belakang rumah Janu. Tapi malam itu lain! Karena Lintang akhirnya mau ikut dengan mereka. Padahal ia paling anti dengan kegiatan outdoor yang menguras tenaga dan merepotkan itu. Tapi karena ketiga orang itu menjamin segala hal yan berbau pekerjaan berat akan dikerjakan ketiganya dan Lintang hanya tinggal mengikuti mereka, maka Lintang setuju.

Malam larut dan sudah lewat berganti hari. Lintang tengkurap di dalam tenda sambil menyemil makanan ringan yang tadi mereka bawa. Pram tiduran di tikar di samping kiri tenda. Tangannya terlipat menjadi bantal kepalanya. Ia memikirkan sesuatu sambil menatap langit yang bertaburan bintang. Milky way terlihat membujur dari selatan ke utara, hampir-hampir menyentuh horizon di kejauhan. Deburan ombak terdengar begitu bertemu dengan tebing karang di bawah sana. Di kejauhan gemuruh laut dan angin bercampur jadi satu. Malam yang bagus untuk nelayan. Sementara, Janu dan Anggit duduk di tikar yang di gelar di sisi kanan tenda, asyik bermain remi berdua. Di seberang tenda Lintang, ada api ungun kecil sudah mulai padam hanya tinggal bara yang menjentik-jentik.

"Aku sudah memutuskan." Kata Pram tiba-tiba. Lintang berhenti menyemil dan menatap Pram yang belum berubah dari posisinya tadi. Janu dan Anggit ikut menoleh.

"Aku akan mendaftar kuliah lagi. Aku akan masuk ISI." Kata Pram mantab. Matanya berkilat-kilat memantulkan cahaya penerangan yang berasal dari emergency lamp yang diletakkan di tengah lingkaran mereka yang terbuka ke arah laut.

Sesaat hening, masing-masing mencerna kalimat Pram. Anggit tersenyum pada dirinya sendiri. Ia meletakkan kartu remi di tangannya.

"Aku juga sudah memutuskan untuk kembali belajar ndalang di tempat kakek Tama." Kata Anggit. Janu dan Lintang menoleh bersamaan. Mereka tidak pernah tahu alasan sebernarnya mengapa Anggir berhenti belajar ndalang. Mereka tidak pernah tahu, tidak akan pernah tahu. Pram melirik ke arah Anggit dan keduanya saling bertukar senyum.

"Hah, kenapa kalian tiba-tiba mengungkapkan hal macam gini, sih?" kata Lintang agak panik dan merubah posisinya yang semula tengkurap kini duduk bersila. Ia menyibakkan rambut ke belakang telinganya dengan gugup.

Janu menatap emergency lamp di depannya.

"Sebenarnya, sudah satu semester ini aku ikut latihan tim basket anak Hukum."

"Hah?" tanya Lintang seperti salah dengar. Ia tahu Janu paling anti dengan masalah birokrasi yang merepotkan.

"Aku berniat untuk mencoba main basket di dalam tim." Lanjut Janu.

Pram mendengus jengah. "Akhirnya kau punya keberanian untuk berkonfrontasi dengan masalah birokrasi masalah senioritas dan struktur dalam organisasi,  yang katamu entah dulu kapan kau benci itu."

Janu tersenyum mengejek ke arah Pram.

"Kalau gitu, aku pun sama." Kata Lintang buru-buru. Ia merasa agak tidak terima teman-temannya itu memutuskan melakukan hal-hal baru tanpanya. Ia juga ingin ikut melakukan debut. Pram, Janu dan Anggit menatap Lintang dengan pandangan terkejut dan merasa terhibur, menanti Lintang mengatakan sesuatu yang keren.

"Aku, aku, aku akan melakukan debut! Lalu aku akan dapat pacar yang keren selama kuliah." Kata Lintang dengan polosnya.

Janu dan Pram pecah tawanya. Mereka terbahak-bahak karena ucapan Lintang. Sementara Anggit hanya tersenyum simpul.

"Apaan sih! Kalian kok gitu. Nyebelin banget! Tu, lihat tu si Anggit aja nggak ngetawain sampai segitunya." Kata Lintang ngambeg.

Janu memegangi perutnya yang sakit karena kebanyakan tertawa. Ia melirik Anggit yang nyengir ditatap seperti itu oleh Janu. Anggit sebenarnya hanya bingung bagaimana ia harus menanggapi kalimat Lintang itu. Apalagi di bagian Lintang ingin dapat pacar yang keren selama kuliah. Rasa-rasanya ia miris melihat dirinya sendiri yang tak dianggap sebagai laki-laki oleh Lintang. Diam-diam, keinginannya selama masa kuliah bertambah satu. Membuat Lintang melihatnya sebagai seorang laki-laki.

"Lhah si Anggit tu sebenernya menahan tawanya. Tu lihat aja senyumnya yang mengejek." Kata Janu kemudian kembali tertawa.

Lintang melirik kesal ke arah Janu lalu beralih ke Anggit.

"Nggit, emang beneran yang diomongin Janu?" tanya Lintang. Yang ditanya pun cuma bisa nyengir sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal karena bingung harus menanggapi apa.

Pram dan Janu pun semakin keras tawanya. Sementara Lintang semakin menjep karena sikap teman-temannya itu.


*

Ada yang berderik
ketika layar perahu terkembang.

Badai mungkin akan segera datang.


[ ]

TEBING DAN GELOMBANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang